Paul Pogba
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 19 Juni 2016
Paul Pogba, pemain
sepak bola Perancis berdarah Guinea. Kawan setimnya, Bacary Sagna (berdarah
Senegal), N'Golo Kante (berdarah Mali), Patrice Evra (kelahiran Senegal), dan
Blaise Matuidi (ayah berdarah Angola). Tim kesebelasan Jerman pun beragam
wajah. Di sana ada Sami Khedira (ayah berdarah Tunisia) dan Shkodran Mustafi
(berdarah Albania). Di tim Swiss ada Shani Tarashaj dan Granit Xhaka,
keduanya berdarah Albania.
Itulah sebagian wajah
Eropa. Tetapi, banjir pengungsi dari kawasan Timur Tengah, terutama Suriah
dan negara-negara Afrika Utara, menjadi ujian nyata dari politik
multikulturalisme negara-negara Eropa. Ide tentang masyarakat multikultural sudah
menjadi kebijakan publik resmi di sejumlah kultur Barat. Ide itu dapat
dikatakan mewakili upaya kaum liberal demokrat untuk mempromosikan kesamaan
etnis dan atau rasial.
Chris Barker (2014)
menyatakan, yang menjadi premis dasar dari multikulturalisme adalah tentang
bagaimana menunjukkan toleransi terhadap keanekaragaman praktik-praktik
budaya dalam konteks negara-bangsa. Oleh karena, konsekuensi logis dari
pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari politik pengakuan. Sebagai kelanjutannya, akibat logis yang
masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang
dalam identitasnya yang unik.
Membiarkan orang lain
berkembang menjadi diri mereka sendiri, itu prinsip dasar multikulturalisme.
Para pemain sepak bola itu menjadi warga negara Perancis atau Jerman, tetapi
tetap dengan kealbanian mereka, dengan kesinegalan, atau keangolaan, atau
kemalian mereka. Jadi, memaksa orang lain menjadi kita, atau menghambat orang
lain menjadi orang lain, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang
berarti antimultikulturalisme.
Jadi apa itu
multikulturalisme? Meminjam pendapat Syed Hashim Ali (1999) yang dikutip Zuli
Qodir, "Multikulturalisme adalah kondisi masyarakat di mana kelompok
kebudayaan, keagamaan, dan etnis hidup berdampingan dalam sebuah bangsa
(negara). Multikulturalisme juga berarti bahwa realitas itu terdiri dari
banyak substansi yang mendasar. Multikulturalisme juga merupakan keyakinan
bahwa tidak ada sistem pemahaman tunggal atau pandangan tentang realitas yang
dapat menjelaskan seluruh realitas kehidupan."
Dengan demikian jelas
bahwa multikulturalisme bertujuan luhur untuk mengekspresikan rasa hormat
terhadap sekaligus perayaan atas perbedaan. Seperti ditegaskan Chris Barker,
di sini ada toleransi. Toleransi itu, menurut Gus Dur, bukan sekadar
membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya; sekadar tidak
melarang, sekadar tidak menghambat; sekadar tidak mengganggu, atau sekadar
tidak merecoki orang lain menjalankan serta menghayati identitas kulturalnya.
Tetapi, masih menurut
Gus Dur, toleransi itu harus berarti membela kelompok massa saja, terutama
minoritas, yang dihambat melaksanakan identitas kulturalnya. Bahkan,
mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya
secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu
dan menghambat kelompok lain.
Seperti dikatakan
Chris Barker, Gus Dur pun berpendapat bahwa multikulturalisme harus berarti
semakin mengakui kelompok lain dalam perbedaan. Dan, yang tidak kalah penting
(juga disebut oleh Chris Barker), mendorong kelompok lain menjadi dirinya
sendiri.
Semestinya
multikulturalisme ini merupakan istilah yang paling merepresentasikan
gambaran tentang Indonesia. Dibandingkan negara-negara lain, negara-negara di
Asia, bahkan termasuk Amerika Serikat dan Eropa yang kini menjadi tujuan para
pengungsi, tidak ada ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan realitas
Indonesia selain merupakan negara yang plural, majemuk dalam arti yang
sesungguhnya (ada begitu banyak suku dan etnis, bahasa, dan agama di negeri
ini). Tetapi, sayangnya, kenyataan seperti itu masih sering diingkari dalam
praktik kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain,
kadang kala multikulturalisme bagaikan pedang bermata dua: di satu sisi itu
merupakan kekayaan, berkah Ilahi, tetapi juga bisa menimbulkan bencana (di
mata mereka yang berpandangan sempit), merenggut nyawa. Indonesia pernah
mengalami, negara lain pun, seperti Rwanda; sejumlah negara Timur Tengah,
termasuk Suriah; Myanmar; dan beberapa negara Eropa, seperti Bosnia. Dalam
kasus ini, nyawa manusia melayang akibat konflik sosial, etnis, dan religius.
Rasanya, masa depan
Indonesia pun tidak bisa diukur atau bahkan ditentukan oleh seberapa banyak
pembangunan fisik dilakukan, seberapa banyak berhala modernisme tersedia,
tetapi lebih bergantung pada kualitas hubungan antar-komponen masyarakat yang
aneka ragam ini.
Itulah juga yang kini
sedang dihadapi negara-negara Eropa dengan banjirnya pengungsi, bahkan juga
Amerika Serikat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar