Gaduh Pergantian Kapolri
Bambang Widodo Umar ;
Guru Besar Sosiologi Hukum UI;
Pengamat Kepolisian
|
KOMPAS, 21 Juni 2016
Kegaduhan politik jelang pergantian Kepala Polri selalu
muncul sejak reformasi 1998. Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru hal itu tak
pernah terjadi.
Tercatat, sejak dikeluarkannya Tap MPR No VI/MPR/2000,
Polri secara resmi lepas dari TNI (baca: ABRI), pergantian Kapolri selalu
diwarnai riak-
riak kegaduhan besar maupun kecil di lingkungan internal maupun
eksternal kepolisian. Pergantian Kapolri dari Jenderal (Pol) S Bimantoro ke
Jenderal (Pol) Chaeruddin Ismail, hingga pergantian Kapolri dari Jenderal
(Pol) Sutarman ke Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, yang didahului kegagalan
Komisaris Jenderal Budi Gunawan jadi Kapolri meski dia telah lolos fit
and proper test yang diselenggarakan DPR (IGM Dirgayu A Wibawa,
2016).
Kegaduhan itu, antara lain berupa Kapolri tidak bersedia
diganti karena dianggap tidak mau mendukung Dekrit Presiden; pimpinan polwil
kampanye untuk memilih calon presiden; calon Kapolri yang diusulkan Wanjakti
Polri tidak disukai Presiden, juga secara tersembunyi kasak- kusuk tim sukses
calon Kapolri, dan lain-lain. Kegaduhan-kegaduhan itu menunjukkan indikasi
bahwa organisasi Polri belum solid dan mudah terombang-ambing oleh
kepentingan politik, di sisi lain kaderisasi calon pemimpin Polri belum kuat.
Mencermati hal itu, sebaiknya elite politik dan elite
polisi jangan hanya mengimbau agar masyarakat tak gaduh, tetapi memikirkan
pula mengapa setiap pergantian Kapolri gaduh, heboh atau ribut. Tentu masih
ada masalah. Jika dipahami, Polri itu adalah "alat negara", bukan
alat politik, apalagi alat partai. Sebagai alat negara, tugasnya melindungi
semua pihak di negara ini.
Mengapa mesti gaduh
Pekerjaan polisi itu adalah penegak hukum, pembina
ketertiban, dan keamanan masyarakat. Seperti pendapat Jenderal Pol (Purn)
Chairuddin Ismail (dalam Lazuardi, 2001) yang menyatakan bahwa: "Urusan politik adalah urusan
orang-orang politik. Polisi tidak boleh melakukan politik praktis. Kebijakan
politik lahir dari lembaga-lembaga tinggi negara, seperti eksekutif,
legislatif, petinggi partai, dan polisi hanyalah berurusan dengan masalah
ketertiban sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan itu. Tak lebih.
Jadi, tak
benar jika polisi disebut-sebut sebagai alat politik ataupun menjadi alat
kekuasaan." Demikian pula pendapat Kusnanto Anggoro (2016), "Calon Kapolri seharusnya memang
tidak bersandar pada partai politik ataupun sebaliknya."
Pada era Orde Lama maupun Orde Baru, strukturisasi
kekuasaan eksekutif sangat kuat. Semua perangkat institusi kenegaraan
terkendali secara efektif melalui institusi kepresidenan. Presiden tidak ikut
campur tangan secara langsung dalam memilih calon Kapolri. Pemilihan
Kapolri dilakukan secara cermat melalui proses panjang merit system yang
ketat dan terukur oleh lembaganya sendiri, Presiden tinggal tanda tangan,
sehingga perebutan pengaruh secara terbuka antarelite politik terhadap Polri
tidak terjadi.
Reformasi yang bergulir sejak 1998 telah mengubah sistem
ketatanegaraan RI. Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang diatur pada
Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Proses ini menunjukkan dengan
jelas bahwa pemberhentian dan pengangkatan Kapolri lebih banyak ditentukan
oleh proses politik antara eksekutif dan legislatif daripada Polri sendiri
sebagai ajang pergantian Kapolri.
Celakanya lagi, dalam sistem ketatanegaraan yang belum
terstruktur dengan baik, terikut pula elite-elite polisi menceburkan diri ke
dalam kancah politik praktis. Mencermati mekanisme tersebut, dimungkinkan
kegaduhan itu disebabkan oleh faktor strukturisasi kepolisian di Indonesia
juga bisa jadi karena faktor individual calon Kapolri.
Masih seperti dulu, realitas politik bisa mengalahkan
realitas hukum. Berdiri di tengah-tengah arus kontradiksi tersebut tidak
banyak yang bisa dilakukan Polri. Dilema yang merantai lembaganya merupakan
fakta bahwa kekuasaan yang bersifat universal sekaligus medial berubah jadi
temporal ketika elite politik mencabik-cabik menjadi serpihan kepentingan
yang dipakai sebagai pembenaran pandangannya, dan ia berubah jadi lateral
ketika elite politik menerjemahkan dalam bahasa yang sesuai dengan kepentingan
kelompoknya. Yang terjadi kemudian, kekuasaan itu jadi tidak lebih dari
pernyataan yang sarat simbolik, tidak utuh, dan celakanya diimplementasikan
di organisasi Polri pada pola kaderisasi kepemimpinan polisi.
Kembali ke khitah polisi
Dalam UU No 2/2002, "asas" (sifat dasar)
kepolisian di Indonesia tidak dirumuskan secara tegas. Pernyataan sifat dasar
suatu institusi itu sangat penting karena hal itu menunjukkan ciri atau
karakternya. Jika Tri Brata yang berarti polisi sebagai: (1) abdi utama
daripada nusa dan bangsa; (2) warga negara teladan daripada negara; dan (3)
wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat merupakan asas kepolisian
Indonesia, hal itu seharusnya dinyatakan dalam undang-undang kepolisian.
Belum dirumuskannya hal itu merupakan kerawanan dikaitkan
dengan kewenangan Polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri
(diskresi). Kerawanan tersebut dapat menggiring organisasi kepolisian
menjadi agent of political stabilisation atau alat kekuasaan
ketimbang sebagai penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat
yang ujung-ujungnya menguntungkan segelintir elite politik.
Masalah tersebut berpeluang lebih luas-jika dikaitkan
Pasal 8 (1) UU Kepolisian yang meletakkan posisi Polri di bawah
Presiden-terhadap kemungkinan digunakannya polisi sebagai alat kepentingan
politik Presiden, atau jadi kekuatan yang memonopoli penggunaan kekerasan
yang sah secara politis. Apalagi dalam hal pengangkatan dan pemberhentian
Kapolri yang diatur pada Pasal 11 (1) UU No 2/2002 harus lewat persetujuan
DPR, sangat mungkin memberi peluang terhadap politisasi Polri dan mendorong
individu-individu polisi untuk ikut-ikutan berpolitik praktis.
Di tengah beban berat Polri membangun keseimbangan
kemampuan dalam tugas pokoknya melindungi, mengayomi, dan membimbing
masyarakat, ia harus pula loyal kepada pemerintah maupun elite politik
lainnya secara bersama-sama. Polri seperti terjebak ke dalam dua hal: secara
struktural pada mekanisme yang menghambat kebebasan dalam menjalankan
fungsinya sebagai penegak hukum, pembina ketertiban, dan keamanan masyarakat;
secara personal untuk mencapai karier individu-individu polisi melakukan
pendekatan ke lembaga politik yang dapat mendukung kariernya.
Presiden Jokowi telah mengambil jalan tengah melalui
pertimbangan profesional dalam menentukan calon Kapolri. Mencermati analisis
di atas, kiranya mekanisme pemilihan itu perlu dibenahi, dikembangkan, dan
dijaga secara kuat oleh Polri agar tidak mudah institusinya digoyah siapa
pun. Untuk itu, pemilihan calon Kapolri sebaiknya dipercayakan kepada
eksekutif melalui lembaga pembantu Presiden (menteri), disertai kontrol
efektif Kompolnas yang perlu dibenahi. Jika Polri mampu membangun mekanisme
"kaderisasi kepemimpinan" yang solid, diharapkan menghasilkan
calon-calon pimpinan Polri yang berkualitas dan bercirikan Tri Brata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar