Selamat Datang Reformasi Polri
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS;
Dosen Tetap Sekolah Staf dan
Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri
|
KOMPAS, 21 Juni 2016
Sejak reformasi
politik, baru kali ini pencalonan Kepala Kepolisian Negara RI oleh Presiden
disambut gegap gempita oleh hampir semua kalangan. Harapan dan dukungan
seakan membanjir. Mulai dari kalangan internal Polri, Wakil Presiden, mantan
Presiden, partai politik, DPR, koalisi masyarakat sipil, hingga media.
Presiden Joko Widodo pun mendapat pujian berbagai pihak karena dengan
perhitungan dan intuisi politiknya secara cerdas memenuhi kerinduan
masyarakat mendapatkan calon Kapolri yang dianggap paling unggul, par excellent.
Pilihan terhadap
Komisaris Jenderal Tito Karnavian dianggap sangat tepat. Prestasinya
gemilang, diawali sebagai perwira lulusan terbaik tahun 1987 yang mendapatkan
penghargaan bintang Adhi Makayasa, sampai dengan tiga kali kenaikan pangkat
yang dipercepat. Ringkasnya, ia unggul karena mempunyai tiga ciri utama:
tanggap (kompeten, cerdas, dan profesional); tanggon (berkarakter); tangguh
(tegas dan kukuh pendirian); trengginas (kemampuan melaksanakan tugas secara
prima dalam berbagai medan dan situasi).
PDI Perjuangan awalnya
tersengat pencalonan tersebut, tetapi segera surut dan manut dengan irama
publik. Hal itu tentu tidak dapat dilepaskan dari sikap kenegarawanan dan
kepekaan Megawati Soekarnoputi yang semakin menghargai martabat kepresidenan
Joko Widodo.
Namun, tugas yang
diemban Tito juga tidak ringan: melakukan reformasi Polri. Berbagai survei
akhir-akhir ini menunjukkan, penilaian kinerja dan kepercayaan masyarakat
terhadap Polri cukup rendah. Selama belasan tahun banyak isu dan gagasan
mengenai reformasi Polri yang telah menjadi wacana publik, tetapi gagal
dilakukan. Pada tataran makro, reformasi Polri terkait posisi Polri dalam
konteks mewujudkan keamanan nasional. Namun, gagasan tersebut tidak dapat
diwujudkan karena terjadi silang sengkarut dengan tugas dan tanggung jawab
lembaga pemerintahan lain, terutama TNI.
Gagasan konsep
keamanan nasional juga sudah cukup lama menjadi perdebatan publik, tetapi
gagal menjadi regulasi akibat dari tarik-menarik berbagai politik
kepentingan. Secara lebih spesifik pembenahan Polri terkait dengan struktur
dan fungsi Polri, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, penggunaan TNI oleh
Polri dalam keadaan khusus, kejelasan hubungan TNI dan Polri (khususnya
penataan kewenangan), membumikan gagasan besar pelibatan pemolisian
masyarakat (community policing),
dan membangun profesionalisme Polri.
Berbagai harapan juga
disampaikan publik kepada calon Kapolri: menindak segala bentuk intoleransi
dengan kekerasan, melindungi hak kebebasan berekspresi, membangun budaya
polisi yang manusiawi, mengutamakan perlindungan serta pengayoman masyarakat,
mengatasi berbagai persoalan lebih persuasif dan dialogis, mengantisipasi dan
mengatasi persoalan terorisme lebih proporsional, meningkatkan kapasitas
peralatan dan sumber daya manusia ke arah lebih profesional, menghormati
aspek hak asasi manusia, dan sebagainya.
Tugas raksasa tersebut
memerlukan waktu karena sudah masuk ranah tataran politik yang rumit. Wilayah
yang sarat dengan pertarungan kepentingan. Kapolri baru sangat memerlukan
dukungan politik. Namun, reformasi Polri dapat dimulai dari ungkapan jujur
calon Kapolri yang dikutip oleh harian Kompas (21/6) dalam rubrik Pojok, yang
menyatakan dengan tulus masalah utama internal kepolisian adalah mental dan
budaya korupsi.
Oleh karena itu,
agenda mendesak adalah pembenahan internal Polri. Untuk mewujudkan agenda
urgen tersebut, mungkin salah satu rujukan yang dapat dijadikan referensi
adalah disertasi Muradi di Universitas Queensland, Australia. Tesis tersebut
telah diterbitkan oleh Routledge (2014): Politics
and Governance in Indonesia, The Police in the Era of Reformasi. Kajian
ini mempunyai kekhususan karena secara gamblang mengungkapkan suasana
kebatinan internal Polri berkenaan dengan mental dan budaya korupsi di kepolisian.
Muradi berhasil menyajikan data yang valid dan analisis yang tajam serta
rinci mengenai kedua fenomena tersebut. Kabar-kabur, rumor, grundelan, serta
desah kegalauan internal Polri dan masyarakat mengenai perilaku Polri secara
sistematis tersusun rapi menjadi analisis yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
Temuan tesis tersebut
selain membahas dan memberikan solusi mengenai hubungan Polri dan TNI,
menengarai pula reformasi Polri harus dimulai dari isu yang paling hulu
(ujung), yaitu pendidikan. Isu ini dapat dicermati dalam membahas imbalan
dalam perekrutan dan pendidikan (kickback
in police recruitment and education). Selain itu, persoalan akut dan
mendesak disebutkan adalah politisasi polisi di tingkat lokal dan praktik
ekstorsi (the police budget and
extortion).
Modal utama melakukan
pembenahan internal adalah keterbukaan Polri dalam menerima masukan, mulai
dari menghargai lembaga tersebut sampai dengan kritik yang amat pedas.
Misalnya, buku tersebut akhir tahun lalu dibedah di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK) dan mendapatkan sambutan yang hangat, positif, dan
konstruktif dari para perwira polisi yang menghadiri peluncuran buku
tersebut. Oleh sebab itu, Kapolri baru yang mendapatkan dukungan dari
berbagai kalangan tidak perlu ragu-ragu melakukan penataan internal lebih
dahulu sebagai bagian dari reformasi Polri yang menyeluruh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar