Anggaran 2017, Realistis atau Tetap Ambisius?
M Fajar Marta ;
Wartawan; Editor; Kolumnis
|
KOMPAS.COM, 16 Juni
2016
Dalam dua tahun
pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, perencanaan anggaran amat
kedodoran. Sebelum-sebelumnya, realisasi anggaran, baik itu pendapatan maupun
belanja, tidak pernah di bawah 94 persen dari target. Bahkan, pada 2011,
realisasi penerimaan mencapai 103,5 persen dari target APBN-Perubahan
(APBN-P) 2011.
Namun pada 2015, yang
merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi, realisasi anggaran pendapatan
hanya 84,66 persen dari target, sementara anggaran belanja hanya 91,22 persen
dari target yang dicanangkan dalam APBN-P 2015.
Perencanaan anggaran
tahun 2015 makin terlihat buruk karena dalam APBN-P 2015, anggaran pendapatan
dan belanja sudah direvisi turun.
Sudah diturunkan
targetnya, tetap saja tidak tercapai, bahkan realisasinya begitu jauh dari
target. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika realisasi anggaran
yang berkisar 94–98 persen terjadi karena target pendapatan dan belanja
dinaikkan dalam APBN-P. Artinya, jika realisasinya dibandingkan dengan APBN
awal, maka targetnya bisa dibilang tercapai, bahkan terlampau.
Contoh, dalam APBN
2012 anggaran pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp Rp 1.311,38 triliun,
sementara anggaran belanja ditargetkan senilai Rp 1.435,4 triliun. Selanjutnya
dalam APBN-P 2012, target pendapatan negara dinaikkan menjadi Rp 1.344,47
triliun, sementara anggaran belanja ditingkatkan menjadi Rp 1.534,58 triliun.
Di akhir tahun 2012, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.338,32
triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp 1.489,72 triliun. Jika
dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2012, maka realisasinya adalah 99,5
persen untuk pendapatan negara dan 97 persen untuk belanja negara. Namun
dibandingkan target awal yakni dalam APBN 2012, maka realisasi pendapatan dan
belanja masing-masing 102 persen dan 104 persen alias melampaui target.
APBN 2016
Tahun 2016,
perencanaan anggaran tidak membaik, bahkan di sisi pendapatan negara, bisa
dikatakan makin memburuk. Hingga akhir Mei 2016, realisasi pendapatan negara
dan hibah hanya mencapai Rp 496,6 triliun atau 27,2 persen dari target APBN
tahun 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun. Dibandingkan tahun 2015 yang buruk
saja, realisasi tahun ini ternyata masih lebih buruk.
Akibat penerimaan yang
loyo, belanja negara pun menjadi tidak maksimal.
Padahal, pemerintahan
Jokowi telah membuat terobosan dengan menggelar lelang proyek di awal tahun
sehingga penyerapan tidak menumpuk di akhir tahun seperti sebelum-sebelumnya.
Apalagi, proyek infrastruktur juga digenjot dengan alokasi dana mencapai Rp
313,5 triliun, terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Namun, bagaimana mau
belanja, kalau uang di kantong tidak ada. Bisa saja dengan berhutang, namun
tentu ada batasnya.
Karena itu, ramai di
media sosial, berbagai ungkapan kesangsian netizen bahwa pemerintah tidak
akan bisa mencairkan gaji ke-13 dan ke-14 untuk PNS dengan alasan tak ada
uang. Ya, netizen tidak salah, pemerintah memang tidak punya uang saat ini.
Berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya, ketika uang kas selalu tersedia mengingat belanja
besar-besaran baru dilakukan pada triwulan IV. Tahun ini, uang kas tidak
selalu tersedia mengingat belanja negara sudah lebih besar dari uang yang
diterima negara.
Hingga akhir Mei 2016,
belanja negara sudah mencapai Rp 685,8 triliun, sementara penerimaan hanya
sebesar Rp 496,6 triliun. Artinya, begitu ada uang masuk dari pajak atau pos
lainnya, langsung habis untuk belanja rutin dan infrastruktur. Bahkan
pemerintah harus berutang untuk membiayai belanja negara yang agresif. Hingga
akhir Mei 2016, pemerintah sudah menghabiskan utang sebesar Rp 189,1 triliun
untuk membiayai belanja.
Namun, meskipun tak
ada uang di kas pemerintah, tentu saja gaji ke-13 dan ke-14 tetap akan
dibayarkan karena itu merupakan komitmen pemerintah. Sebelum pencairan gaji
ke-13 dan ke-14 itu tiba, pemerintah dipastikan sudah mempersiapkan utang
baru, salah satunya dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).
APBN-P 2016
Karena target anggaran
dalam APBN 2016 tak mungkin tercapai, pemerintah pun mengajukan revisi dalam
bentuk APBN-P 2016.
Berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya ketika APBN-P menjadi ajang untuk memperbesar target
penerimaan dan belanja, pada tahun 2015 dan 2016, APBN-P menjadi ajang
pemotongan anggaran untuk meluruskan target awal yang ambisius dan kurang
realistis.
Pada APBN-P 2016,
besaran pendapatan negara diturunkan dari Rp 1.822,54 triliun dalam APBN 2016
menjadi Rp 1.734,5 triliun.
Sementara belanja
negara dipangkas dari Rp 2.095,72 triliun menjadi Rp 2.0447,84 triliun.
Meskipun telah
dipotong sekitar Rp 88 triliun, target penerimaan negara dalam APBN-P 2016
tetap tak mudah untuk dicapai.
Pasalnya, target
penerimaan tersebut sudah memperhitungkan tambahan pendapatan negara dari
pemberlakuan UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.
“Dengan adanya
kebijakan baru seperti tax
amnesty/voluntary disclosure, target PPh nonmigas diperkirakan akan tetap
tercapai bahkan melebihi target dalam APBN tahun 2016. Dengan memperhitungkan
tambahan pendapatan dari tax
amnesty/voluntary disclosure maka pendapatan PPh nonmigas dalam RAPBNP
tahun 2016 diharapkan mencapai Rp 819,49 triliun atau meningkat 14,5 persen
dari target dalam APBN tahun 2016,” demikian tertulis dalam Nota Keuangan
Rancangan APBN-P 2016 yang diajukan pemerintah ke DPR.
Pemerintah tidak
menyebutkan berapa persisnya dana yang akan diperoleh dari Tax Amnesty.
Namun, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro beberapa kali mengatakan potensi
dana yang bisa diperoleh mencapai Rp 165 triliun.
Dana tersebut berasal
dari uang tebusan yang harus dibayarkan pemohon Tax Amnesty kepada negara.
Berdasarkan data yang
diungkap Kementerian Keuangan, saat ini ada sekitar 6.519 WNI dengan total
kekayaan sekitar Rp 4.000 triliun yang disimpan di luar negeri.
Aset Rp 4.000 triliun
tersebut tidak pernah dilaporkan oleh si empunya sehingga tidak pernah
dibayarkan pajaknya.
Nah, dengan adanya Tax
Amnesty, pemerintah berasumsi seluruh aset itu akan dilaporkan.
Jika tarif tebusan
misalnya sekitar 4 persen dari nilai aset, maka pemerintah akan mengantongi
sekitar Rp 160 triliun.
Nah masalahnya, hingga
sekarang, pembahasan UU Tax Amnesty di DPR masih alot dan jauh dari kata
selesai.
Artinya, jika tax
amnesty gagal diberlakukan, maka realisasi penerimaan negara di akhir tahun
akan jauh meleset.
Kalaupun tax amnesty
jadi diberlakukan, jumlah yang diperoleh pemerintah pun belum tentu mencapai
Rp 165 triliun seperti yang diungkapkan Menteri Bambang.
Sebab, Bank Indonesia
yang biasanya lebih realistis dalam melakukan kalkulasi, memperkirakan
potensi uang tebusan Tax Amnesty hanya sekitar Rp 45,7 triliun.
Peluang pemberlakuan
Tax Amnesty makin minim mengingat masyarakat sipil banyak yang menentangnya.
Alasannya, kebijakan
tax amnesty dinilai tidak fair dan hanya menguntungkan para pengempang pajak,
koruptor, dan pencuci uang.
Tidak fair karena
hanya dengan membayar uang tebusan yang relatif kecil, para pengemplang pajak
akan mendapatkan sejumlah fasilitas antara lain penghapusan pajak terutang,
sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana dibidang perpajakan.
Selain itu, tidak
dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, serta penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Bahkan, dengan memohon
tax amnesty, pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan terhadap
pemohon akan langsung dihentikan.
RKP 2017
Bersamaan dengan
pembahasan APBN-P 2016, pemerintah melalui kementerian dan lembaga juga
memaparkan Rencana Kerja Pemerintah 2017 kepada DPR.
Dalam RKP 2017 yang
disusun pemerintah, pertumbuhan ekonomi 2017 ditargetkan sebesar 5,8 persen
dengan inflasi sekitar 4 persen.
Pertumbuhan sebesar
5,8 persen dapat dikatakan sebuah lonjakan yang signifikan jika dibandingkan pertumbuhan
ekonomi tahun 2016 yang diperkirakan 5,1 persen dan pertumbuhan tahun 2015
yang hanya 4,79 persen.
Berdasarkan konsensus
pasar, perekonomian global memang akan membaik pada 2017.
Pertumbuhan ekonomi
global tahun 2017 diperkirakan mencapai 3,5 persen, lebih tinggi dari 2016
yang diprediksi sekitar 3,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang diperkirakan
mencapai 4,6 persen, sementara negara-negara maju hanya 2 persen.
Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp 12.703 triliun.
Dengan asumsi
pertumbuhan sebesar 5,8 persen dan inflasi 4 persen, maka PDB Indonesia tahun
2017 bakal mencapai Rp 13.947 triliun.
Dalam KPR 2017,
pendapatan negara diproyeksikan pemerintah sebesar 13,9 persen PDB atau senilai
Rp 1.938 triliun.
Dibandingkan
pendapatan negara dalam RAPBN-P 2016 sebesar Rp 1.734,5 triliun, maka angka
tersebut tumbuh 11,76 persen.
Pertumbuhan pendapatan
negara sebesar 11,76 persen tergolong cukup tinggi.
Sebab, dalam lima
tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan pendapatan negara hanya 7 persen.
Tentu saja, RKP ini
masih amat mentah. Pemerintah dan DPR masih memiliki waktu panjang untuk
mewujudkannya menjadi APBN 2017.
Namun, RKP tersebut
bisa sedikit memberikan gambaran, apakah pemerintah sudah mengambil pelajaran
dari penyusunan anggaran 2015 dan 2016 yang gagal sehingga lebih realistis
atau masih tetap ambisius.
Yang pasti, Presiden
Jokowi telah meminta para menterinya untuk menerapkan paradigma beru dalam
mengelola anggaran tahun 2017.
Anggaran tidak lagi
berbasis fungsi atau money follow function, namun harus berorientasi pada
program yang memberi manfaat langsung atau money follow program.
Mudah-mudahan, pola
ini akan membuat penganggaran pemerintah tahun depan menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar