Sikap
Mental “Orang Bersih”
Saifur Rohman ; Pengajar
di Program Doktor Ilmu Pendidikan
di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
PARA menteri yang diumumkan Presiden pada Minggu (26/10)
didahului oleh isu penting tentang hadirnya ”orang bersih”. Hal itu merupakan
tindak lanjut dari hasil penelusuran institusional yang ditengarai mampu
menentukan seseorang sebagai ”bersih” dan ”tidak bersih”. Setelah pengumuman,
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada delapan orang dari 34 menteri
memiliki label ”kurang bersih” (Senin, 27/10). Institusi tersebut menyatakan
nilai moral itu dengan cara memberi identitas merah, kuning, dan hijau. Merah
berarti memiliki individu bermasalah, kuning berarti ada potensi memiliki
masalah hukum, dan hijau berarti bersih dari masalah. Dengan begitu, menteri
haruslah memiliki label ”hijau” dari institusi yang dimaksud.
Moralitas versus hukum
Atas dasar pengertian itu, ”orang bersih” dapat dimengerti
sebagai individu yang tidak memiliki kasus-kasus hukum. Lagi pula, cita-cita
reformasi sebagaimana dituangkan dalam naskah perundang-undangan adalah
hadirnya individu yang bebas dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apabila ”orang bersih” itu dimaknai
orang yang bebas dari kasus hukum, bagaimana
kasus lain yang terkait dengan sikap mental mereka? Model sikap
seperti apakah ”orang-orang bersih” yang akan membantu Presiden selama lima
tahun nanti?
Dalam pengalaman formal di masyarakat, rekam jejak individu
ditentukan oleh institusi kepolisian. Polri mengeluarkan surat keterangan
sebagai catatan kepolisian. Surat itulah yang kemudian disebut dengan
”perilaku baik”. Kendati demikian, surat keterangan itu bukanlah jaminan
terhadap sikap mental yang dimiliki individu. Itulah kenapa dalam pencarian
sumber daya manusia di sebuah perusahaan tak hanya dibutuhkan seseorang yang
memiliki prestasi bagus, tetapi juga sikap mental yang tepat untuk posisi
tertentu. Tak aneh jika korporat-korporat besar melakukan terobosan untuk
mengetahui sikap mental calon pegawai melalui penelusuran terhadap media
sosial yang dimiliki.
Logika ini berupaya untuk menyatakan bahwa Indonesia sebagai
sebuah ”perusahaan besar” dianggap telah memiliki sebuah mekanisme pendidikan
untuk menghasilkan warga negara yang ”bersih”. Karena itu, dalam pola pikir
pendidikan dikenal empat indikator keberhasilan pendidikan terhadap individu,
yakni kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Dalam
praktiknya sekarang, ukuran-ukuran yang dapat ditembus oleh
institusi-institusi formal itu adalah kemampuan kognitif dan psikomotorik
seorang pejabat.
Kebijakan-kebijakan sebelumnya dapat dinilai dengan
variabel-variabel kinerja, sedangkan karya pejabat dilihat berdasarkan efek
terhadap publik. Sementara kemampuan spiritual dan sosial tidak mendapatkan
perhatian yang proporsional. Institusi formal tidak mampu menembus tingkat
kesalehan seseorang kepada Tuhan dan kesantunan kepada orang lain.
Masalahnya, pencapaian pembelajaran dari individu tidak pernah
diukur melalui penelusuran diskursif. Dalam teori-teori wacana ditunjukkan
tentang cara menguak maksud-maksud terselubung yang tidak bisa ditembus
dengan pemaknaan formal.
Untuk mengetahui keadaan sesungguhnya, Jurgen Habermas, filsuf
Jerman, pernah membuktikan teknik pengujian melalui teknik kesungguhan dan
kebenaran. Kesungguhan mengacu kesadaran seorang penutur melalui kalimat yang
harus diulang dalam wacana dan kebenaran mengacu pada fakta-fakta yang
memadai untuk mendukung wacana. Praktik pembelajaran individu yang praktis,
empiris, dan pragmatis selama ini menjadi orientasi fundamental untuk
menemukan aparat negara.
Sikap mental para menteri
Itulah kenapa kita tidak harus merasa aneh apabila melihat
”orang bersih” ternyata memiliki perilaku tidak santun. Ditemukan bukti,
seorang perempuan yang menjadi menteri sedang merokok ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan wartawan. Demikian pula tidak aneh apabila beberapa
menteri yang baru dilantik ditemukan sedang duduk di emperan gedung Istana
Presiden sambil mengisap rokok sehingga ditegur oleh Paspampres.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menganalisis wacana
yang muncul setelah pelantikan. Alhasil, sebetulnya kita telah memperoleh
gambaran tentang sikap mental para pembantu Presiden itu. Pertama, menteri
yang tak sopan. Bukti, merokok dalam komunikasi formal jelas menimbulkan
pertanyaan etis ketimbang pertimbangan efisiensi. Dalam pergaulan publik
memerlukan sebuah etiket yang dipatuhi pejabat.
Seorang menteri yang tidak memahami etiket komunikasi akan
berdampak terhadap perilaku publik. Orang-orang yang diduga memiliki sikap
tidak etis memang tidak menjadi bagian dari ranah yuridis, tetapi tetaplah
menjadi bagian dari ingatan kolektif yang buruk.
Kedua, menteri pragmatis. Pejabat ini akan mengedepankan
tujuan-tujuan jelas yang harus dilalui dengan permainan yang aman. Manusia
yang tak bermasalah bukan berarti bersih karena ia bisa jadi sangat mengerti
teknik-teknik permainan dalam sistem birokrasi. Bukti, menteri yang berasal
dari kalangan pebisnis sangat jelas bertindak pragmatis. Demikian pula
munculnya dugaan kasus yang belum tuntas pada seorang menteri jelas ini
menjadi bagian tak terpisahkan dari kemampuan pribadi keluar dari jeratan
hukum.
Ketiga, menteri yang politis. Pejabat jenis ini memiliki
kepentingan golongan yang tak bisa dinafikan begitu saja. Bukti, lebih dari
separuh Kabinet Kerja merupakan orang-orang yang mengabdikan diri dalam
organisasi politik. Hal itu akan berimplikasi secara ideologis terhadap setiap
kebijakan yang muncul pada masa yang akan datang. Sistem yang bersih tak
selalu berkorelasi hadirnya orang bersih. Kasus-kasus yang muncul dari partai
selama ini menunjukkan tentang ketidakmampuan sistem membentuk sikap mental
individu secara internal. Pandangan psikologi klinis menunjukkan pentingnya
mengetahui motif terselubung, kepentingan yang tak terlihat, hingga taktik
permainan dalam mekanisme birokrasi.
Jadi, pernyataan tentang ”orang-orang bersih” dari institusi
tetaplah tak bisa lepas dari petuah leluhur tentang hukum ”mendulang air
tepercik ke muka sendiri”. Mekanisme formal cukuplah menunjukkan catatan
hukum yang tak bisa dianggap sebagai bagian catatan moralitas, etiket, bahkan
sikap mental menteri lima tahun mendatang.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar