Membiayai
Pertumbuhan Ekonomi
Zulkifli Zaini ; Ketua
Umum Ikatan Bankir Indonesia
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
MENDORONG pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tanpa kesiapan
sektor keuangan bagaikan naik mobil menuju suatu tempat, tetapi tidak
memiliki bensin yang cukup. Sektor keuangan sangat penting karena untuk
tumbuh 7 persen per tahun, ekonomi harus digerakkan oleh sumber pembiayaan
pembangunan yang berkesinambungan. Perbankan masih menjadi sumber pembiayaan
utama Indonesia. Dengan penyaluran kredit mencapai Rp 3.494 triliun (Juni
2014), perbankan masih mendominasi sektor keuangan dibandingkan dengan
pembiayaan kepada perusahaan melalui emisi saham di pasar modal, emisi
obligasi korporasi, dan emisi obligasi pemerintah.
Meski angkanya mencapai ribuan triliun, sebenarnya penetrasi
perbankan nasional dalam mendorong ekonomi masih sangat ”dangkal”
dibandingkan negara lain. Indikasinya terlihat dari kontribusi kredit kepada
ekonomi, sebagaimana tecermin dari rasio kredit terhadap PDB (credit to GDP)
Indonesia yang sekitar 34 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan
Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing mencapai 139 persen, 104
persen, dan 95 persen.
Ironisnya, meskipun penetrasinya masih rendah, level rasio
kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) perbankan di
Indonesia sudah sangat tinggi, di atas 90 persen. Artinya, ruang perbankan
untuk memberikan kredit relatif terbatas karena tak memiliki penghimpunan
dana memadai. Bahkan, ada bank yang LDR-nya melewati 100 persen, yang berarti
kredit yang disalurkan melebihi dana yang mampu dihimpun.
Pertumbuhan kredit beberapa periode terakhir memang tidak mampu
diimbangi dengan pertumbuhan dana masyarakat di sistem perbankan. Pertumbuhan
kredit (ytd) hingga Juni 2014 mencapai 5,11 persen, atau 17,33 persen secara
year-on-year (yoy). Sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) periode
yang sama hanya 4,44 persen (ytd) atau sebesar 13,46 persen (yoy).
Pertumbuhan DPK yang belum naik signifikan menyebabkan
likuiditas perbankan cenderung rendah. Pada Mei, likuiditas rupiah Rp 34
triliun, turun dibandingkan April yang Rp 51 triliun. Likuiditas perbankan
mengalami penurunan tajam sejak BI melakukan kebijakan moneter ketat. Sampai
Juni 2013, likuiditas masih di atas Rp 100 triliun, tetapi sejak itu terus
mengalami tren penurunan hingga level terendah Rp 19 triliun pada Maret 2014.
Hal ini menunjukkan uang yang berada dalam sistem keuangan
sangat minim. Solusinya, harus ada strategi untuk memompa uang untuk masuk ke
dalam sistem perbankan.
Dana masuk dan keluar
Mendorong dana masuk ke sistem perbankan bisa dilakukan dengan
mengurangi dana yang keluar Indonesia sekaligus memasukkan potensi dana yang
ada di luar Indonesia sehingga bisa mengisi DPK perbankan.
Pertama, meningkatkan pengembalian devisa hasil ekspor (DHE).
Seiring implementasi Peraturan BI (PBI) tentang Penerimaan Devisa Hasil
Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, BI mewajibkan seluruh DHE
wajib diterima melalui bank devisa paling lambat akhir bulan ketiga setelah
bulan pendaftaran pemberitahuan ekspor barang (PEB). Pelanggaran atas
kewajiban ini dikenai denda hingga Rp 100 juta.
Namun, perbankan belum bisa mengoptimalkan DHE sebagai sumber
dana valas. Sebab, bank tak bisa melarang nasabah memindahkan valasnya ke
bank luar negeri meski sudah sempat mampir ke Indonesia. Hal ini terkait
prinsip devisa bebas yang dianut negara ini. Keengganan eksportir menaruh DHE
di bank dalam negeri juga didorong karena valas hasil ekspor tersebut
diperlakukan seperti simpanan biasa di bank domestik dengan imbal hasil yang
mungkin tak menarik bagi penyimpan. Selain itu, DHE yang disimpan di bank
dalam negeri selama ini diperhitungkan sebagai DPK sehingga kalau ada masalah
dengan banknya, muncul kekhawatiran menyangkut keamanan dananya.
Solusinya, perlu berbagai langkah strategis untuk mencari jalan
keluar agar sikap enggan sebagian eksportir bisa diatasi. Perlu komunikasi
intens antara regulator, pemerintah, pihak perbankan, dan Kadin untuk
mendorong implementasi PBI tentang DHE dengan lebih optimal.
Kedua, repatriasi keuntungan pihak asing dari Indonesia harus
diminimalkan. Beberapa waktu terakhir ini terdapat peningkatan investasi
langsung asing (FDI) di Tanah Air. Konsekuensinya, terjadi arus modal keluar
(capital outflow) pada saat periode pembayaran dividen atau repatriasi
keuntungan ke luar negeri. Untuk mengatasi ini, pemerintah bisa memberikan
insentif pajak untuk investor lokal ataupun asing yang mau menginvestasikan
kembali (repatriasi) keuntungan dividennya di Indonesia.
Selama ini pemerintah mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) final
atas dividen sebesar 10 persen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2009 tentang PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh wajib
pajak orang pribadi dalam negeri. Pemberian insentif, selain akan menjaga
kestabilan rupiah, juga bisa mendongkrak investasi. Insentifnya, misalnya,
bagi perusahaan yang menginvestasikan kembali hasil keuntungan atas usahanya
di Indonesia, pemerintah akan menghapus PPh final atas dividen ini menjadi
nol persen. Insentif ini, menurut rencana, juga bakal berlaku bagi investor
domestik.
Ketiga, dana orang kaya Indonesia yang diparkir di luar negeri
diupayakan ditarik ke Indonesia. Angka orang kaya di luar negeri sangat
fantastis. Misalnya, di Singapura, jumlah kekayaan orang Indonesia lebih dari
200 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.200 triliun! Dari nilai itu, Rp 600
triliun dalam bentuk properti dan Rp 1.600 triliun dalam bentuk dana
investasi. Bayangkan jika dana investasi itu bisa ditarik ke dalam negeri,
tentunya menjadi tambahan signifikan dalam likuiditas sistem perbankan kita.
Reformasi struktural
Investasi menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk
meningkatkan pendalaman finansial (financial
deepening) di sistem keuangan nasional. Jika investor enggan menempatkan
dananya ke dalam negeri, sumber dana dalam sistem keuangan nasional menjadi
terbatas. Perlu gebrakan pemerintah dalam memperbaiki kualitas infrastruktur
yang perannya sangat krusial ini. Pertama, optimalisasi kebijakan fiskal
untuk peningkatan kualitas infrastruktur.
Infrastruktur yang baik akan sangat memberikan pengaruh positif
dalam mendorong investasi. Peringkat kualitas infrastruktur Indonesia saat
ini masih jauh dari ideal. Kualitasnya, sebagaimana tecermin dalam Indeks
Daya Saing Global 2014-2015, memang meningkat, tetapi masih kalah
dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Peringkat kualitas infrastruktur
Indonesia ke-72 dari 144 negara, di bawah Singapura dan Malaysia.
Daya saing infrastruktur yang relatif rendah menyebabkan biaya
logistik tinggi. Proporsi biaya logistik Indonesia terhadap PDB 27 persen,
lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (15 persen), Jepang (10,6 persen), dan
AS (9,9 persen). Dari sisi waktu, waktu tunggu (dwelling time) Pelabuhan Tanjung Priok mencapai lebih dari enam
hari, lebih lama ketimbang Malaysia dan Thailand. Indonesia menempati
peringkat ke-53 dari 160 negara dalam Indeks Kinerja Logistik 2014.
Ironisnya, di tengah kebutuhan memperbaiki kualitas
infrastruktur, alokasi total belanja infrastruktur dalam APBN hanya 2,3
persen dari PDB, lebih rendah dari rata-rata negara berkembang (5,5 persen
PDB) dan Tiongkok (8,5 persen GDP). Optimalisasi fiskal, yaitu alokasi APBN
untuk infrastruktur, perlu ditinjau kembali. Alangkah bijak jika subsidi BBM
yang mencapai 26 persen dari total pengeluaran pemerintah direalokasi untuk
pembangunan infrastruktur yang lebih produktif dan memiliki output multiplier
yang besar dalam perekonomian.
Kedua, kemudahan birokrasi dan kepastian iklim investasi. Data
Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi semester I-2014 sebesar
Rp 222,8 triliun, atau 48,8 persen dari target 2014 Rp 456,6 triliun.
Investasi ini terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 150 triliun dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 72,8 triliun.
Bank Pembangunan Asia memperkirakan investasi swasta di
Indonesia tahun 2015 tumbuh lebih baik akibat dampak positif kesuksesan
Pemilu 2014. Investasi juga diperkirakan tetap tumbuh meski terjadi
pengetatan moneter oleh BI. Pertumbuhan investasi dapat dilihat dari kredit
investasi 2015 yang diperkirakan meningkat 30 persen di tengah pengetatan
moneter dan secara keseluruhan investasi langsung diperkirakan tumbuh 25
persen semester I-2015 dan terus meningkat hingga akhir 2015. Optimisme
pertumbuhan investasi 2015 juga dapat dilihat dari berbagai survei lembaga
asing yang menempatkan Indonesia negara terbaik untuk berinvestasi.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2010 menyebutkan,
pemilik rekening di Indonesia sekitar 110 juta. Sementara total penduduk
sekitar 240 juta jiwa. Perhitungan kasar, masih ada 130 juta orang yang belum
memiliki rekening. Ini potensi luar biasa. Hitungan optimistis, masih ada
sekitar 60 juta orang yang tak memiliki rekening atau tak memiliki akses ke
bank atau modal. Kelompok ini umum disebut unbanked segment.
Selama ini, segmen ini bertransaksi dan menyimpan uangnya dalam
bentuk tunai sehingga tak masuk ke dalam sistem keuangan. Hitungan simpel,
misalnya ada tambahan 20 juta orang yang menabung Rp 10.000-Rp 20.000 per
hari, dalam satu tahun akan ada tambahan DPK sekitar Rp 51 triliun-Rp 102
triliun di perbankan nasional! Angka ini akan menambah likuiditas perbankan dan
juga akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan budaya menabung dan juga
mendapatkan akses layanan keuangan secara menyeluruh.
Caranya, dengan inisiatif layanan branchless banking agar
masyarakat bisa mengakses layanan perbankan, seperti menabung, mentransfer,
dan menarik dana, tanpa harus datang ke kantor cabang bank, tetapi cukup
melalui telepon seluler. Sistem ini ditujukan kepada nasabah di pelosok
pedesaan dan jauh dari kantor cabang bank. Dengan cara ini, bank juga bisa
efisien dalam menjangkau masyarakat pelosok karena tak perlu mendirikan
kantor cabang. Perluasan inklusi finansial bisa memberikan efek domino bagi
pertumbuhan ekonomi karena dana masyarakat yang disimpan di bank dapat
bergulir menjadi kredit yang membiayai usaha masyarakat. Hal itu akan membuka
lapangan pekerjaan serta menambah pendapatan masyarakat yang kemudian akan
disimpan kembali di bank dan seterusnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar