Ristek
dan Pendidikan Tinggi
Tulus Santoso ; Tenaga
Ahli; Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Komisi X DPR
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
PERJUANGAN Forum Rektor Indonesia untuk memisahkan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
akhirnya terwujud. Kementerian ini sejatinya telah lama digadang-gadang Forum
Rektor Indonesia (FRI). Alasannya, riset-riset yang dilakukan perguruan
tinggi tidak bersinergi dengan lembaga riset lainnya. Selain itu, selama ini
perguruan tinggi juga dianggap tidak fokus mengembangkan riset dan teknologi.
Justifikasi lain untuk memisahkan perguruan tinggi dari domain
Kemendikbud adalah karena negara lain, seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan
India, sudah mempraktikkannya. Di Indonesia, semasa pemerintahan Bung Karno
pernah ada Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Namun, apakah
argumentasi yang dibangun FRI ini mampu menjawab permasalahan di bidang pendidikan,
riset, dan teknologi? Ada apa pula rektor ramai-ramai menelepon pemimpin DPR?
Pada hemat kami, argumentasi yang dibangun FRI untuk
mengeluarkan pendidikan tinggi dari Kemendikbud sangat lemah. Terkait sinergi
lembaga riset, sejatinya hal itu tanggung jawab Kementerian Riset dan
Teknologi, yakni dengan mengoordinasikan lembaga pemerintah nirkementerian,
seperti LIPI, Lapan, BPPT, Batan, Bapeten, BIG, dan BSN. Faktanya,
Kemenristek gagal menjadi dirigen bagi lembaga-lembaga tersebut.
Minimnya kemauan politik
Kemudian, kemauan politik dari pemerintah untuk menggunakan
hasil riset yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian juga masih minim.
Sebagai contoh, apakah pemerintah pusat dan daerah mendukung e-voting yang
telah dibuat BPPT? Apakah gagasan pengembangan energi panas bumi mendapat
respons yang positif? Saat ini hasil riset lembaga penelitian masih sebatas menjadi benda
koleksi perpustakaan dan museum.
Selanjutnya, tudingan bahwa kampus tidak fokus dalam
pengembangan riset dan teknologi juga
patut dicermati. Segenap civitas academica tentu tahu bahwa kampus tidak
hanya mengembangkan riset, tetapi juga pendidikan dan pengabdian untuk
masyarakat. Hasil risetnya pun tidak melulu terapan karena memang didasarkan
dalam kerangka pengembangan ilmu.
Meskipun begitu, perdebatan ini telah selesai ketika Presiden
Joko Widodo memutuskan tetap membentuk Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Hanya saja, pemerintah perlu merinci
lagi factual problem yang dihadapi dunia riset dan pendidikan tinggi serta
memperhatikan beberapa implikasi akibat pembentukan kementerian baru
tersebut.
Permasalahan yang masih menjadi musuh besar pengembangan riset
adalah rendahnya alokasi dana yang tersedia untuk riset: masih di bawah 1
persen dari produk domestik bruto (PDB). Inilah yang belum tampak dari latar
kehadiran Kemenristek Dikti. Padahal, Amerika Serikat saja langsung menaikkan
anggaran risetnya guna menandingi Uni Soviet yang mampu meluncurkan satelit
pada era 1950-an. Negara-negara yang dijadikan kiblat untuk membentuk
Kementerian Pendidikan Tinggi, seperti Tiongkok dan India, juga memiliki
anggaran riset yang berkisar di atas 1,2-2 persen dari PDB.
Tantangan Jokowi
Kemudian yang menjadi tantangan pemerintahan Jokowi ke depan
setelah hadirnya Kemenristek Dikti adalah mengenai nasib lembaga pemerintahan
nirkementerian yang sebelumnya berada di bawah koordinasi Kemenristek.
Apabila masih menggunakan pola lama, yaitu menempatkan lembaga-lembaga itu
sebagai lembaga pemerintahan nirkementerian, kehadiran Kemenristek Dikti
telah keluar dari spirit yang digaungkan FRI, yakni sinergi lembaga-lembaga
riset.
Oleh karena itu, kami menganjurkan agar lembaga-lembaga itu
dimasukkan ke dalam direktorat di Kemenristek Dikti sehingga rentang kendali,
baik koordinasi maupun pengawasan, lebih jelas. Dengan begitu, harapan agar
lembaga riset yang ada terarah dan terkoordinasi bisa menjadi kenyataan.
Pemerintah juga perlu mempertanggungjawabkan keluarnya
pendidikan tinggi dari Kemendikbud, yaitu dengan melakukan revisi atas UU No
12/2012 tentang Pendidikan Tinggi karena dalam UU tentang pendidikan Tinggi
disebutkan bahwa menteri yang dimaksudkan untuk mengelola pendidikan tinggi
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Kemenristek Dikti memiliki dua urusan: riset dan pendidikan.
Urusan pendidikan masih berada di tangan Mendikbud. Kemudian, hadirnya
Kemenristek Dikti juga harus memperjelas posisi pendidikan tinggi keagamaan.
Apakah akan tetap memberikan kewenangan mengatur pendidikan tinggi keagamaan
oleh Kementerian Agama atau berada di bawah Kemenristek Dikti?
Keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah telah matang
mengonsepkan pendidikan tinggi yang kini bersanding dengan riset dan
teknologi. Atau, hanya sekadar mencari sensasi dengan nomenklatur baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar