Defisit
Martabat Wakil Rakyat
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
RAKYAT Indonesia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui
karakter lembaga wakil rakyat. Perilaku predatorik, naluri memangsa lawan
politik dengan berebut pimpinan DPR serta alat kelengkapan DPR, dilakukan
tanpa etika dan kesantunan, bahkan nyaris brutal. Hujan interupsi, berebut
maju ke meja pimpinan, dan menjungkirbalikkan meja dapat disaksikan oleh
jutaan rakyat Indonesia melalui sejumlah media. Baru kali ini DPR hampir
mempunyai pimpinan kembar.
Pemandangan tersebut sangat berlawanan dengan upacara pelantikan
yang gemerlap, semringah, dan tentu saja balutan pakaian berkelas. Pada peristiwa
seremonial tersebut, semua wakil rakyat mencoba membangun imaji kolektif
sebagai tokoh publik yang bermartabat dan mulia. Namun, pesona pakaian dan
aroma wewangian sebagai lambang harkat dan derajat itu dalam sekejap pudar
oleh hasrat kuasa yang menggebu. Perubahan perilaku ini mencerminkan karakter
mereka yang seharusnya lebih mengabdi kepada kepentingan umum ternyata lebih
mengutamakan kepentingan kekuasaan.
Praktik politik sejenis juga menjalar sampai tingkat daerah,
DPRD provinsi ataupun kabupaten/kota. Dengan demikian, benar ungkapan bijak
Abraham Lincoln (1809-1865): hampir semua orang dapat bertahan menghadapi
kesulitan, tetapi kalau ingin tahu watak seseorang, berilah dia kekuasaan (nearly all men can stand adversity, but if
you want to test a man’s character, give him power). Namun, yang sangat
menyedihkan, sinyalemen majalah Tempo (3-9 November), perebutan kursi
pimpinan DPR beraroma politik transaksional.
Tragedi politik di parlemen bukan datang dengan tiba-tiba.
Proses tersebut sudah menggejala sejak pemilihan anggota legislatif bulan
Juli lalu. Kerasnya pertarungan berebut kursi di DPR serta DPRD provinsi dan
kabupaten/kota telah menguras deposit rasa saling percaya di internal parpol.
Sesama kader parpol di daerah pemilihan yang sama harus tega saling mematikan
demi survivalitas politiknya.
Fenomena tersebut dalam bahasa Adam Przeworski (1999) disebut
demokrasi minimalis (minimalist
conception of democracy). Tegasnya: demokrasi adalah ”konflik yang
terbatas” atau ”konflik tanpa saling bunuh”, demokrasi bukanlah konsensus (democracy is ”limited conflict” or
”conflict without killing”, it is
not about consensus). Dalil itu, meski tidak seluruhnya benar,
validitasnya setidak-tidaknya dalam kasus kompetisi politik di parlemen
dewasa ini masih teruji, musyawarah sebagai kearifan dalam praktik
pengambilan keputusan politik sudah luntur.
Bahkan, semangat pertarungan habis-habisan sudah diawali sejak
penyusunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-undang tersebut disusun mengabaikan aturan baku yang mengharuskan
berpedoman kepada UU No 12/2001 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Selain itu, tak melibatkan perdebatan publik yang cukup
mendalam, terutama isu-isu yang dianggap krusial oleh publik, misalnya
tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dengan sistem paket. Isu tersebut
juga tak pernah tercantum dalam daftar inventarisasi masalah, naskah
akademik, serta diagendakan dalam berbagai forum, misalnya panja dan pansus.
Maka, dalam perspektif formal-prosedural penyusunan undang-undang, seharusnya
UU No 17/2014 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Perilaku para wakil rakyat di panggung politik justru menegaskan
bahwa pertemuan yang dilakukan tokoh-tokoh sentral Koalisi Merah Putih dan
Koalisi Indonesia Hebat hanya basa-basi politik. Tali silaturahim tersebut,
meskipun mampu mengerem tingkat eskalasi konflik, tidak mempunyai daya getar
di parlemen. Ini mengesankan hanya bagian dari siasat politik yang lebih
canggih.
Namun, yang lebih tragis, kompetisi memperebutkan pimpinan DPR
dan alat kelengkapannya tanpa konsultasi dengan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi. Masyarakat sama sekali tidak memahami, mereka sedang
memperebutkan apa dan untuk siapa. Rakyat diperlakukan sebagai penonton setelah
mereka memegang kekuasaan atas nama rakyat. Janji kampanye mereka menguap
dalam sekejap diterpa panasnya nafsu kuasa. Rakyat juga tidak tahu apa
hubungan antara keributan dan perilaku brutal di parlemen dengan upaya
memperbaiki kesejahteraan rakyat. Maka, tidak terlalu salah kalau sebagian
masyarakat menganggap persepsi pertarungan yang tidak ketahuan juntrungnya
itu hanya salah satu agenda mengganjal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Perdebatan mengenai demokrasi representasi sudah berlangsung
sejak zaman demokrasi kuno di Athena. Agar demokrasi perwakilan tak mereduksi
kedaulatan rakyat, para wakil rakyat dan rakyat harus mampu membentuk dan
mengekspresikan kemauan politik yang sama. Tanpa konkurensi aspirasi antara
rakyat dan wakilnya, lembaga perwakilan rakyat akan menjadi oligarki politik
yang mengejar kekuasaan dan menindas rakyat (Nadia Urbinati, 2008, Representative Democracy, Principle and
Genealogy). Oleh karena itu, demokrasi perwakilan menuntut partisipasi
publik serta transparansi, akuntabilitas, dan itikad baik wakil rakyat. Tanpa
kontrol publik, lembaga perwakilan rakyat akan semakin kehilangan martabatnya
karena tertimbun limbah nafsu serakah sehingga ranah kekuasaan kehilangan
amanah, hidayah, berkah, dan marwah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar