Netizen
Minus Literasi di Ruang Publik
Rahma Sugihartati ; Dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Unair
|
JAWA
POS, 03 Desember 2014
PERKEMBANGAN masyarakat post-industrial yang ditandai dengan
meluasnya pemakaian teknologi informasi, internet, dan media sosial ternyata
tidak selalu diikuti kesiapan kultural, kemampuan literasi, dan moral warga
masyarakat penggunanya. Dua kasus yang belakangan ini terjadi paling tidak
membuktikan hal itu.
Pertama, kasus penghinaan via Facebook yang dilakukan seorang
pemuda (24 tahun) yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sate, yang kemudian
ditahan polisi karena mengunggah gambar cabul hasil rekayasa yang diedit
dengan menampilkan wajah Presiden Joko Widodo dan mantan Presiden Megawati
sedang berhubungan intim plus kata-kata jorok. Kedua, kasus penangkapan admin
akun @TrioMacan2000 karena memeras pejabat PT Telkom dan sejumlah korban yang
lain.
Di luar dua kasus tersebut, tidak tertutup kemungkinan masih
banyak kasus penyalahgunaan akun media sosial untuk melakukan bullying, penghinaan, pemerasan, dan
bahkan tindak kejahatan lain yang merugikan masyarakat. Terlepas apakah ada
kepentingan politis di balik pemrosesan dua kasus di atas ke ranah hukum,
yang memprihatinkan adalah mengapa di kalangan netizen masih ada gap yang
lebar antara manfaat media sosial dan kesiapan moral serta kemampuan literasi
para penggunanya.
Public Sphere
Menurut ketentuan yang berlaku, siapa pun dan dengan alasan apa
pun, apabila seseorang melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, dan
memanfaatkan media sosial untuk melakukan tindakan tercela, itu sudah
sepantasnya diproses melalui jalur hukum. Tetapi, kasus-kasus kecil
penyalahgunaan media sosial yang muncul seperti di atas seyogianya tidak lantas
menafikan peran positif kehadiran internet dan media sosial.
Manuel Castells (2000) menyatakan, dewasa ini masyarakat memang
sedang memasuki zaman informasi bahwa berbagai kemajuan teknologi informasi
digital telah menyediakan dasar bagi perkembangan bentuk jejaring dan
hubungan sosial baru yang sangat terbuka. Masyarakat yang semula berinteraksi
dalam ruang nyata dan bertatap muka itu, dengan hadirnya internet dan media
sosial, kini bisa berinteraksi dengan siapa pun, tanpa dibatasi nilai dan
norma. Tak pelak, kalangan warga masyarakat yang mengembangkan hubungan dalam
jejaring komputer tersebut tumbuh dengan subkulturnya yang khas –yang berbeda
dengan masyarakat konvensional. Internet sebagai satu bentuk jaringan
komunikasi dan informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk komunitas
sendiri (virtual community), bentuk
realitas sendiri (virtual reality),
dan bentuk ruang sendiri (cyberspace).
Berbeda dengan kondisi pada 1970-an hingga 1980-an bahwa yang
populer adalah media baru seperti televisi kabel dan satelit, perekam kaset
video, telepon seluler, komputer PC, dan sistem musik digital, dewasa ini
masyarakat benar-benar makin familier dengan gadget, internet, dan media
sosial. Dengan begitu, yang muncul kemudian adalah ruang baru, sebuah ruang publik
(public sphere) yang memungkinkan
semua orang tanpa dibatasi kelas dan asal usul dapat mengemukakan aspirasi
sosial politiknya secara bebas.
Dalam perkembangan masyarakat post-industrial, munculnya ruang
publik di dunia maya sesungguhnya adalah media yang dibutuhkan untuk
mendorong perkembangan masyarakat madani dan merupakan peluang baru untuk
membuka ruang-ruang serta kanal-kanal komunikasi politik dengan memperhatikan
pluralitas etnis, religius, dan politis. Dengan membangun ruang publik yang konstruktif
dan produktif, sesungguhnya akan dapat didorong perkembangan demokrasi
deliberatif yang menempatkan masyarakat sebagai subjek perubahan dan motor
pembangunan.
Yang dimaksud public sphere atau ruang publik di sini adalah
sebuah wilayah dalam kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga negara
berbicara dan terlibat berbagai silang pendapat serta secara bersama-sama
membentuk pendapat umum. Ruang publik atau disebut juga ranah khalayak pada
dasarnya adalah ruang politik tempat berlangsungnya pembahasan, perdebatan,
dan pengambilan keputusan bersama.
Bahwa di antara warga masyarakat yang menjadi anggota komunitas
cyberspace adalah oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan media sosial untuk
hak-hal yang negatif, tentu itu harus dipahami sebagai ekses dari bias
kepentingan atau ekses dari ketidaktahuan mereka. Di kalangan masyarakat yang
belum memiliki kemampuan literasi yang memadai dan juga moralitas yang cukup,
mungkin mereka memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang keliru harus
diakui sangat besar. Di dunia maya orang dengan mudah memalsu identitasnya.
Orang juga dengan mudah memanfaatkan media sosial dan ruang maya sebagai
instrumen untuk memeras dan lain sebagainya. Tetapi, sekali lagi, hal itu
sebaiknya tidak digeneralisasi dan menjadi alasan untuk melakukan regulasi
yang sifatnya kontraproduktif bagi proses membangun demokrasi dan
keterbukaan.
Peran Positif Media Sosial
Terlepas dari berbagai kekurangan dan efek negatif yang
ditimbulkan, kehadiran internet dan media sosial bagaimanapun telah
melahirkan ruang publik baru yang setara di kalangan para netizen bahwa di
dalamnya tidak ada satu pun pihak yang boleh dibiarkan melakukan manipulasi,
pemaksanaan, dan dominasi. Christopher Mele (2005) dalam artikelnya yang
berjudul Cyberspace and Disadvantaged
Communities: the Internet as a Tool for Collective Action menunjukkan
bagaimana kehadiran jejaring online sesungguhnya akan dapat digunakan sebagai
alat untuk tindakan bersama sekaligus pemberdayaan.
Dalam studi kasus yang dilakukan di Robert S. Jervay Place,
sebuah pengembang perumahan rakyat untuk mereka yang berpenghasilan rendah di
WS Wilmington, North Carolina, Mele melaporkan bagaimana penduduk lokal mampu
memanfaatkan internet untuk memperjuangkan keinginan dan menyalurkan aspirasi
politik mereka. Mele menunjukkan bahwa berkat adanya internet, dan ketika
penduduk setempat memanfaatkan internet sebagai media untuk mencari dukungan
dan masukan dari berbagai pihak, yang terjadi kemudian adalah hal yang luar
biasa.
Sebagian penduduk lokal Jervay Place yang akrab dengan komputer
kemudian memanfaatkan internet untuk mencari masukan dan mengirimkan surat
memohon bantuan kepada tiga kelompok diskusi untuk mencari masukan tentang
desain pembangunan wilayah mereka. Dalam waktu dua minggu, para penghuni
telah menerima respons dari 23 individu dan organisasi, termasuk para arsitek
dan pengacara yang mengkhususkan diri pada perumahan untuk orang
berpenghasilan rendah. Dengan didukung tiga perusahaan arsitektur, para
penghuni akhirnya mampu mendesain komunitas perumahan sesuai dengan keinginan
mereka.
Apa yang telah dipaparkan memperlihatkan kepada kita bahwa
kehadiran internet dan media sosial terbukti telah melahirkan kekuatan dan
jangkauan baru bagi komunitas yang termarginalkan secara tradisional. Selain
mampu menjadi media untuk menggali dukungan dan memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang termarginalkan, kehadiran jejaring online terbukti mampu
menurunkan ongkos komunikasi dan organisasi. Pelajaran yang bisa dipetik dari
kasus yang dipaparkan di atas bahwa kehadiran interaksi online telah terbukti
menghasilkan bentuk baru dan cara-cara baru untuk membangun hubungan sosial,
memformulasikan kehendak, dan memperjuangkan kepentingan dalam konteks yang
lebih demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar