Perihal
Memilih
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Wartawan
|
JAWA
POS, 03 Desember 2014
ADA petilan dialog menarik di Facebook yang sempat saya baca dan
kemudian saya kopi dan lantas sedikit saya perbaiki cara penulisannya agar
menjadi lebih enak dibaca. Dialog itu dimulai dari sebuah status yang
bunyinya sebagai berikut:
’’Ada tip mudah buat yang
mau melatih kesadaran agar terus berpikir tentang keberlimpahan dan
keberkahan. Anggap setiap hari mendapat Rp 5 juta, dan harus dihabiskan hari
itu juga. Ambil buku tulis dan bolpoin. Tulis daftar apa saja yang mau
dibeli, disedekahkan, atau kebutuhan lainnya. Besok dan seterusnya hingga
sebulan, buat daftar baru lagi. Syaratnya: jangan membeli apa yang sudah
dibeli. Sekalian buat ngetest, siap apa tidak Anda mempunyai penghasilan Rp
150 juta per bulan. Coba sensasinya di pikiran Anda. Sukses buat Sampeyan
semua.’’
Beberapa orang memberikan komentar. Ada yang hanya satu kata:
’’Mantappp!’’ Ada yang dua kata: ’’Cemungudh, Bro...’’ Dan, ada komentar
panjang yang bunyinya seperti ini:
’’Waduh, terlalu tinggi
buat orang desa seperti saya, Mas. Saya hanya berpikir ikhlas menerima segala
rezeki yang saya terima, meskipun tiada uang, Allah Maha Pengasih dan
Pemurah, ternyata saya tetap bisa makan. Karena Dia memberikan jalan-Nya
lewat padi yang saya tanam. Walaupun sebuah roti kecil, saya berusaha
mensyukuri apa yang ada. Dari rasa itu sudah cukup mewakili rasa lapar
menjadi kenyang.’’
Si penulis status menanggapi, saya bayangkan dengan gaya menulis
yang anggun, seanggun penampilan motivator di layar televisi:
’’Pada prinsipnya apa yang
bisa dipilih orang lain di muka bumi bisa Anda pilih juga. Anda memiliki
kebebasan mutlak untuk menetapkan pilihan Anda. Anda memilih apa pun yang
bisa dijangkau oleh pikiran Anda. Dan ketika Anda sendiri tidak membatasinya,
pikiran Anda sanggup menjangkau langit.’’
Saya tidak kenal secara pribadi dengan penulis status dan para
pembuat komentar. Dan saya tidak tahu apakah orang yang menulis komentar
panjang itu benar-benar petani dari desa atau orang yang memerankan diri
menjadi petani dan apakah ia benar-benar ikhlas.
Namun, saya tertarik pada kosakata ikhlas, apa pun definisinya,
dan ingin menyampaikan bahwa menurut Richard Wiseman dalam bukunya, The Luck Factor, salah satu faktor
keberuntungan adalah tidak ikhlas. Tepatnya, salah satu faktor keberuntungan
adalah ambisi –di samping faktor-faktor lain seperti: temannya selalu
bertambah, mampu melihat hal baik dalam situasi seburuk apa pun, serta ringan
hati dan cepat dalam membuat keputusan. Ia membuat kesimpulan itu setelah
melakukan penelitian terhadap kelompok orang-orang beruntung dan kelompok
orang-orang sial.
’’Para pemilik
keberuntungan biasanya merasa nyaman-nyaman saja memiliki ambisi sebesar apa
pun,’’ kata Wiseman. Saya sadar, banyak orang
yang merasa risi dengan kata ambisi. Jika Anda termasuk yang begitu, Anda
bisa mengganti kosakata ambisi itu dengan ’’cita-cita besar’’ atau
’’cita-cita setinggi langit’’.
Dialog di Facebook tersebut saya ikuti sampai beberapa waktu dan
saya mencoba berempati kepada si pembuat status yang menyatakan bahwa pada
prinsipnya setiap orang bisa memilih apa pun secara bebas (kecuali memilih
orang tua, memilih dilahirkan di mana, dari rahim siapa, dan kita juga tidak
bisa memilih saudara). Dengan demikian, Anda tidak perlu membatasi pilihan
hanya karena Anda berasal dari desa atau karena sekarang ini Anda sedang
dikerubuti kesulitan.
’’Tetapkanlah pilihan
Anda. Bagaimanapun, Anda bertanggung jawab terhadap diri Anda sendiri dan
hidup yang Anda jalani. Kita tidak pernah tahu apakah kita akan mengalami
reinkarnasi atau hidup hanya sekali. Anggaplah kesempatan kita hidup di muka
bumi ini hanya sekali, maka kita perlu membuat pilihan terbaik untuk
menjalani hidup. Kalaupun Anda menyakini bahwa Anda akan mengalami kehidupan
berikutnya setelah kehidupan hari ini, tetap saja Anda perlu memilih yang
terbaik untuk kehidupan sekarang,’’ tulisnya pada
status Facebook yang lain.
Saya menambahkan dalam hati: Itu jika Anda percaya bahwa memilih
adalah hak istimewa manusia, yang tidak dimiliki burung unta, kasuari, maupun
cerpelai. Binatang apa pun, Anda tahu, tidak memiliki hak memilih. Mereka
hanya bisa bereaksi terhadap lingkungan. Singkatnya, Anda menggunakan pilihan
untuk membedakan diri dari hewan-hewan.
Jika Anda tidak memilih apa pun, kata penulis status itu, Anda
tidak akan tahu apa yang harus Anda lakukan untuk menjalani hidup. Jika Anda
tidak menetapkan sesuatu, Anda tidak akan terdorong untuk hidup sesuai
pilihan Anda. Jika Anda tidak memilih, orang lain yang akan memilihkannya
untuk Anda. Dan Anda hanya akan menjalani hidup dengan merespons situasi
Anda. Itu hidup di level instingtif seperti yang dijalani makhluk-makhluk dengan
tingkat kecerdasan lebih rendah dibanding manusia.
Saya ingin menambahkan komentar: ’’Cemungudh, Bro!’’ Namun, saya
menahan diri untuk menjadi penikmat dan ingin ikut-ikutan mendorong Anda.
Jika Anda tidak berani memilih, ingatlah bahwa PSS Sleman dan PSIS Semarang
pun berani memilih dan mereka memperlihatkan keberanian itu dalam
pertandingan beberapa hari lalu.
Kita sungguh bersyukur ada pertandingan sepak bola seperti itu
dan kita beruntung bahwa selalu ada hal menarik di muka bumi. Saya menonton
di YouTube rekaman sekitar 12 menit terakhir yang menyajikan lima gol bunuh
diri. Jika Anda belum menontonnya, saya akan memberi tahu bahwa itu
pertandingan yang sangat menghibur sekaligus menjungkirbalikkan semua kutipan
bagus dari orang-orang terkenal tentang sepak bola.
Albert Camus mengatakan, ’’Banyak
hal tentang moralitas dan kewajiban hidup yang saya dapatkan dari sepak
bola.’’ Ia keliru jika menonton pertandingan Semarang melawan Sleman.
Legenda total football Belanda Johan Cruyff mengatakan, ’’Hal tersulit untuk membuat pertandingan
berjalan mudah adalah menjadikan lawanmu bermain kedodoran. Seorang pemain
dikatakan buruk bukan karena ia punya kecenderungan menembakkan bola ke
gawang sendiri. Ia buruk karena gampang mengamuk jika kau terus-menerus
menekannya.’’
Ia juga keliru jika menyaksikan bagaimana Semarang bertanding
melawan Sleman. Dalam pertandingan itu, hal tersulit dalam pertandingan
adalah menjaga agar pemain lawan tidak menembakkan bola ke gawangnya sendiri.
Karena itu, ketika para pemain Sleman menguasai bola dan memainkannya seperti
sedang pemanasan, kita bisa melihat satu pemain Semarang menjaga gawang
Sleman agar tidak sampai dibobol pemain Sleman sendiri.
Itu pilihan berani. Selama ini kita berpikir bahwa dalam setiap
pertandingan sepak bola setiap tim berhasrat untuk memenangi pertandingan.
Rupanya tidak. Kesebelasan Semarang maupun Sleman masing-masing memperagakan
ambisi besar mereka untuk kalah. Mereka sungguh haus kekalahan. Semoga ada
pihak yang berminat mendaftarkan pertandingan itu sebagai salah satu
keajaiban dunia, melengkapi sejumlah keajaiban dunia yang sudah ada.
Dalam pertandingan itu, kedua kesebelasan sama-sama sudah
memastikan lolos ke babak semifinal. Masalahnya, jika mereka menang dan
menjadi juara grup, yang menjadi lawan mereka adalah kesebelasan terbaik di
muka bumi, yang mungkin hanya bisa dikalahkan kesebelasan dari galaksi lain,
yakni FC Borneo. Kesebelasan lain yang bertanding melawan kesebelasan itu
memilih bertekuk lutut tanpa bertanding.
Untuk menghindari pertemuan mengerikan dengan kesebelasan
terbaik di muka bumi tersebut, Semarang maupun Sleman memilih kalah saja dan
masing-masing kesebelasan bertanding dengan hasrat yang tidak tertahankan
untuk menjebol gawang sendiri.
’’Saya emosi ketika mereka
memasukkan bola ke gawang sendiri,’’ kata Komaedi,
pemain PSIS yang mencetak dua gol ke gawang sendiri dan merayakannya. ’’Jika saya mendapatkan sanksi, saya
ikhlas.’’
Saya berdoa semoga ia selalu memiliki keberuntungan yang bagus.
Saya melihat fotonya di internet, ia dalam pose menunduk. Saya juga berharap
Komaedi mempunyai akun Facebook dan membaca petilan dialog yang saya kutip di
atas.
Situasi pemain itu mungkin sedang semrawut sekarang. Mungkin
PSSI memberikan hukuman tidak bisa bermain selamanya. Dalam keadaan seperti
itu, ia memerlukan kata-kata pendorong yang disampaikan secara
berkobar-kobar. Ia memerlukan orang yang bisa membuatnya berani berkhayal dan
tidak sekadar menyatakan ikhlas.
Seandainya berasal dari desa, ia tidak perlu menjadikan desa sebagai
kungkungan. Tidak perlu ia menjadikan desa sebagai alat penyangkal dan
mengeluarkan pendapat seolah-olah ia tidak pernah membaca atau melihat atau
mengetahui bahwa ada orang-orang desa yang bisa membuat pilihan setinggi
langit dan menjalani hidup sesuai pilihannya. Apa yang membuat realitas
geografis membatasi pikiran seseorang?
Keberhasilan, Anda tahu, tetap bisa dicapai oleh orang desa,
juga oleh seorang pemain sepak bola yang membobol gawangnya sendiri dua kali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar