Mengakhiri
Kemiskinan Berkelanjutan
Setyo Budiantoro ; Direktur
Eksekutif Perkumpulan Prakarsa;
Pengajar Pascasarjana Kajian Kemiskinan Universitas
Brawijaya
|
KOMPAS,
03 Desember 2014
SETIAP satu jam, seorang ibu
hamil meninggal karena melahirkan, juga 17 bayi dan anak balita. Kemiskinan
adalah salah satu penyebab utama tragedi menyedihkan tersebut. Dalam beberapa
tahun terakhir, anggaran untuk menanggulangi kemiskinan melampaui Rp 100
triliun dan terus membesar. Namun, jumlah orang terangkat dari kemiskinan
justru semakin sedikit.
Saat ini, lebih dari 28 juta
penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Mistar ukur garis kemiskinan
adalah Rp 303.000 per bulan. Apabila pengeluaran di bawah mistar tersebut,
dikategorikan miskin. Mistar ini penting, tetapi tidak cukup. Ibarat pengukur
tekanan darah, alat tersebut diperlukan untuk indikasi awal kesehatan, tetapi
tidak cukup mendiagnosis apakah terkena sakit kanker, jantung, kolesterol, asam
urat, atau diabetes. Tentunya tindakan untuk setiap penyakit tersebut bisa
sangat berbeda.
Mistar ukur kemiskinan moneter
mampu menunjukkan berapa jumlah orang miskin dengan kategori di bawah mistar
tersebut. Namun, apa saja hal prioritas yang perlu dilakukan untuk mengatasi
kemiskinan itu kurang mampu dijawab. Bahkan, mencermati kemiskinan moneter
saja dengan mengabaikan indikator kebutuhan dasar manusia lainnya justru akan
misleading.
Kasus Flores Timur
Data Indikator Kesejahteraan
Daerah dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
memperlihatkan Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi dengan tingkat
kemiskinan kelima tertinggi di Indonesia. Dari kabupaten dan kota yang ada di
NTT, Kabupaten Flores Timur adalah wilayah dengan tingkat kemiskinan
terendah. Tingkat kemiskinan Flores Timur hanya 9,6 persen atau kurang dari
separuh kemiskinan NTT yang mencapai 23 persen. Bahkan, kemiskinan di Flores
Timur juga jauh lebih baik daripada tingkat nasional yang mencapai 13,3
persen.
Namun, jika mencermati
indikator lain, Flores Timur adalah wilayah dengan angka putus sekolah umur
7-15 tahun tertinggi di NTT. Angka tersebut hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan rata-rata NTT dan nyaris lima kali lipat tingkat
nasional. Di samping itu, pengangguran terbuka di Flores Timur juga tertinggi
keempat dari 21 kabupaten dan kota di NTT.
Indikator-indikator tersebut
seakan ”bertentangan”, bagaimana mungkin tingkat kemiskinan paling rendah
tetapi angka putus sekolah tertinggi di NTT dan pengangguran tinggi? Dari
diskusi dengan para anggota DPRD Flores Timur disampaikan bahwa remittance
dari buruh migran sangat berperan mendorong ekonomi penduduk. Bahkan, lebih
miris lagi menurut Yayasan Tifa, ternyata tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal
asal Flores Timur adalah tertinggi di NTT. Ketika masih produktif, mereka
bekerja di luar negeri. Saat mulai tua dan kurang produktif, mereka pulang.
Belajar dari kondisi Flores
Timur, kita harus lebih hati-hati melihat angka kemiskinan.
Indikator-indikator sosial ekonomi lain perlu diperiksa terlebih dahulu.
Tampaklah bahwa mengukur kemiskinan melalui pendapatan/pengeluaran saja tidak
cukup untuk mengukur kemajuan hidup manusia.
Kapabilitas
Pada akhirnya, mereka yang bisa
mengatasi kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri. Namun, apakah
prasyarat-prasyarat yang memungkinkan orang miskin keluar dari kemiskinan
terpenuhi? Keterbatasan telah memenjarakan orang miskin. Dalam bahasa Amartya
Sen, potensi manusia untuk mengatasi kemiskinan terhambat karena terjadi
deprivasi kapabilitas (capability
deprivation).
Saat ini di dunia telah
dikembangkan kemiskinan multidimensi yang menelaah kemiskinan manusia bukan
hanya dari sisi moneter. Kemiskinan multidimensi adalah ”operasionalisasi”
pandangan filosofis Sen tentang kapabilitas manusia. Masuklah
indikator-indikator yang menjadi prasyarat agar manusia bisa mengembangkan
kapabilitasnya, misalnya pendidikan, kesehatan, dan tingkat standar hidup.
Jika prasyarat-prasyarat
minimal tersebut terpenuhi, manusia dapat mengoptimalkan potensi atau
kapabilitasnya sehingga dapat merengkuh kesempatan sosial (social
opportunity) yang ada. Inilah yang membuat manusia tidak hanya keluar dari
kemiskinan, tetapi juga bisa berkontribusi optimal terhadap lingkungannya.
Kemiskinan multidimensi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
beberapa tahun ini relatif baik, tetapi jika dilihat dari kemajuan indikator
sosial sangatlah mengecewakan. Hal ini bisa dari proporsi penduduk yang
kekurangan makan, gizi buruk anak balita, kematian ibu dan anak balita, akses
air bersih, sanitasi, listrik, angka putus sekolah, dan lain-lain. Kondisi
inilah yang membuat ketimpangan ekonomi semakin buruk karena pemerataan
kesempatan juga memburuk.
Perkumpulan Prakarsa dan
Universitas Oxford (OPHI) saat ini mengembangkan indeks kemiskinan
multidimensi yang mengukur kemiskinan secara lebih luas, bukan hanya
kemiskinan moneter. Beberapa indikator sosial ekonomi yang mengukur tingkat
aksesibilitas dan pembangunan manusia dipakai sehingga sekaligus akan
membantu memandu pilihan prioritas kebijakan pemerintah (pusat dan daerah)
dan alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan.
Melalui dorongan peningkatan
kapabilitas dan pembangunan manusia, diharapkan pemerataan kesempatan sosial
akan terjadi dan ketimpangan ekonomi juga berkurang. Di samping itu,
kemiskinan berkelanjutan dengan sendirinya juga akan diakhiri oleh penduduk
yang telah berdaya dan justru menjadi aset pembangunan yang berharga.
Perubahan ini tentu saja diharapkan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
yang berjanji mengutamakan pembangunan manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar