Mencegat
Penerbangan Gelap
Ardi Winangun ; Peminat
Kajian Militer; Tinggal di Matraman, Jakarta Timur
|
DETIKNEWS,
02 Desember 2014
Untuk kesekian kalinya TNI AU berhasil mencegat pesawat asing
yang masuk wilayah udara Indonesia tanpa izin. Kejadian terakhir ketika
pesawat latih sipil Beechcraft 9L bernomor registrasi Singapura menerobos
wilayah udara di atas perairan Laut China Selatan, Kepulauan Natuna, Provinsi
Kepulauan Riau (28 Oktober 2014).
Intercept atau pencegatan yang dilakukan oleh pesawat milik
TNI AU, Sukhoi Su-27/30MKI Flankers dari Skuadron 11, itu merupakan pengejaran
kedua kalinya. Sebelumnya pesawat sipil itu sudah melintas dari Singapura
menuju Sibu Kinabalu, Malaysia; namun saat dikejar, ia telah memasuki wilayah
udara Malaysia.
Rupanya pilot tidak sadar kalau kehadirannya terdeteksi oleh
radar milik TNI AU. Sehingga saat ia melakukan rute penerbangan balik, dari
Malaysia ke Singapura, dengan lintasan yang sama, maka kehadirannya kembali
terdeteksi dan akhirnya berhasil dipaksa mendarat (force down) oleh pesawat milik TNI AU.
Dengan berhasilnya TNI AU mencegat dan melakukan pendaratan
paksa kepada pesawat tanpa izin, menunjukan TNIAU selalu siaga meski di masa
yang disebut tidak perang. Di sini terlihat perpaduan kecepatan antara radar,
pilot, dan pesawat yang digunakan. Bayangkan meski memiliki radar yang bagus
namun kalau tidak ditunjang oleh keprofesionalan pilot dan pesawat yang
mutakhir, bagaimana jadinya. Demikian juga sebaliknya.
Banyaknya pesawat asing yang melintasi wilayah Indonesia tanpa
izin bisa jadi mereka menganggap remeh sistem radar atau penjagaan wilayah
udara Indonesia. Di dunia penerbangan internasional bisa jadi mendengar ada
bocoran yang menyebutkan bahwa sistem pertahanan udara dan pengaturan lalu
lintas penerbangan di Indonesia lemah sehingga bila melintasi tanpa izin pun
bisa aman dan lolos.
Adanya anggapan dari dunia penerbangan internasional bahwa
sistem penjagaan udara dan pengaturan lalu lintas penerbangan di Indonesia
lemah, ada betulnya. Lihat saja pada tahun 2011 pesawat milik Pakistan
International Airlines, jenis Boeing 737, yang terbang dari Timor Leste
menuju Malaysia melintas tanpa izin. Pun demikian di tahun yang sama, pesawat
jet P2-ANW Dassault Falcon 900EX, yang ditumpangi Perdana Menteri Papua
Nugini dengan Rute Malaysia-Papua Nugini tanpa izin.
Pada tahun sebelumnya, 2010, pesawat milik Malaysia berjenis BAE
146-200 yang ditumpangi oleh para petinggi Malaysia dan puluhan penumpang
lainnya, melakukan hal yang sama, melintas tanpa izin dengan rute penerbangan
Timor Leste-Kuala Lumpur Malaysia. Bila pesawat-pesawat resmi dan dikelola
oleh maskapai yang terdaftar saja berani melintas tanpa izin, apalagi
pesawat-pesawat pribadi.
Nah menjadi pertanyaan, seberapa banyak pesawat asing tanpa izin
yang bisa lolos dari sergapan radar dan pesawat tempur TNI AU? Selama ini
kalau kita lihat dan amati, pesawat-pesawat asing yang melintas tanpa izin
dan berhasil didaratpaksakan adalah pesawat-pesawat ringan yang digunakan
untuk wisata atau latihan, seperti pesawat cessna; dan pesawat sipil.
Bagaimana bila pesawat yang melintas itu adalah pesawat tempur super canggih
bahkan pesawat siluman?
Indonesia memiliki wilayah yang luas, bila dihitung-hitung
antara darat, laut, dan udara, wilayah udara paling luas. Luas daratnya
sepertiga, laut dua pertiga, dan udara adalah satu, jumlah antara laut dan
udara. Tentu tugas ini bila diserahkan kepada TNI AU dan dengan dukungan
alutsista yang minim, pasti merupakan tugas yang berat dan tidak ter-cover.
Sebagai negara yang letaknya strategis, Indonesia menjadi
lintasan internasional tidak hanya kapal laut namun juga pesawat terbang.
Meski di udara tanpa rintangan, penerbangan internasional juga harus melalui
lintasan yang telah ditentukan oleh badan penerbangan internasional. Nah di
sinilah pentingnya TNI AU untuk lebih memodernkan alutsistanya dan untuk
lebih berani bersikap tegas kepada pesawat-pesawat yang kemampuannya lebih
tinggi.
Bagaimana sikap kita saat kejadian di langit Bawean, Jawa Timur,
pada tahun 2003, di mana 3 pesawat F-16 TNI AU harus berhadapan dengan 5
pesawat F-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy)? Tentu
perasaan pilot F-16 saat itu lain rasanya, sebab yang dihadapi pesawat tempur
yang sejenis atau bahkan lebih unggul. Bila di antara mereka tidak terjadi
komunikasi dengan baik, bisa-bisa terjadi dog fight. Di sini kita patut
memuji para pilot F-16 yang gagah berani berhadap-hadapan dengan para pilot
Amerika Serikat yang bisa jadi memiliki pengalaman tempur yang lebih.
Tak hanya TNI AU, pihak yang terkait dengan pengaturan lalu
lintas penerbangan sipil pun juga didorong untuk lebih meningkatkan
kemampuannya, baik sumber daya manusia maupun teknologinya. Bila pesawat terbang
tanpa izin itu melintas pada jalur yang sudah ditentukan, bisa-bisa terjadi
kecelakaan di antara pesawat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar