Kabinet
‘Nano Nano’
Refly Harun ; Pengajar
dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
27 Oktober 2014
Sejuta rasanya. Manis, asam, asin, semua ada. Mirip iklan pernen
nano nano. Begitulah yang saya rasakan ketika menyimak nama-nama menteri yang
diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kemarin sore (26/10/2014). Tidak
tahu harus mengapresiasi atau mencela. Ada nama yang sama sekali tidak
dikenal publik, tetapi nama yang dikenal pun tidak semuanya ditempatkan pada
bidang dan passion-nya selama ini. Seorang jurnalis televisi bertanya kepada
saya berapa nilai yang pantas diberikan untuk Kabinet Jokowi dalam skala
1-10. Saya menyebut 6, tetapi Presiden Jokowi tidak lulus karena passing grade (nilai kelulusan)
minimal 8.
Harus dipahami mengapa nilai kelulusan itu begitu tinggi, karena
ekspektasi terhadap Jokowi sangat besar. Setelah inaugurasi yang sangat
menggairahkan pada hari pelantikan tanggal 20 Oktober, baik di Rapat
Paripurna MPR, kirab di jalan utama Ibu Kota, maupun pidato rakyat di Monumen
Nasional (Monas), rakyat menunggu kesan pertama yang menggoda dari pilihan
Presiden Jokowi atas menteri-menteri.
Ekspektasi besar tersebut ternyata tidak bertemu dengan fakta
yang membesarkan hati. Tidak ada “wow
factor” dari kebinet yang diumumkan tersebut yang dapat membuat publik
tersenyum ceria. Kabinet Jokowi masih terlalu banyak mengakomodasi arus di
luar dirinya, masih terlalu longgar menampung orang-orang partai, masih
tercium didikte orang sekitar. Bayangan publik sebelumnya, kendati
orang-orang parpol diakomodasi, tetapi tetap dengan prinsip the right person
on the right place karena Jokowi sebelumnya hanya menyebut dua kelompok
menterinya, yaitu profesional partai dan profesional murni. Tidak ada yang
abal-abal alias tidak profesional.
Nyatanya tidak demikian, ada kesan orang-orang parpol yang
diajukan sekadar dicarikan slot agar tetap menjabat menteri. Semacam ‘jatah’
bagi partai pendukung. Tidak terbukti omongan Jokowi soal koalisi tanpa
syarat, walaupun dari perspektif politik memang tidak ada makan siang yang
gratis (no free lunch), karena “politics is the science of who gets what,
when, and why” (Sidney Hillman,
1944). Politik adalah ilmu tentang siapa mendapatkan apa, kapan, dan
mengapa. Partai pendukung Jokowi tentu dari awal telah berimajinasi tentang
slot kementerian yang bakal didapat bila mendukung wong Solo tersebut.
Kendati begitu, publik sesungguhnya tetap berharap bahwa mereka
yang ditunjuk tersebut ada passion, ada track
record yang panjang, ada catatan yang jelas selama ini, akan bidang yang
akan ditangani. Bila ujug-ujug
seseorang ditanam di area yang tidak pernah ia menjejak, negeri ini terlalu
mahal untuk memberikan kesempatan pada unprofessional
person menjabat jabatan mahapenting sekelas menteri, yang akan menakhodai
banyak urusan di republik ini. Jokowi juga tidak benar-benar menempatkan
profesional nonparpol – sering disebut profesional murni—pada jabatan yang
tepat, yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan passion-nya selama
ini.
Tidak lulus dengan lima
catatan
Secara umum ada lima catatan penting bagi Kabinet Jokowi.
Pertama, masih kuat kesan akomodasi politik. Kedua, tidak semua yang direkrut
ditempatkan pada posisi the right
person on the right place. Ketiga, masih ada menteri yang latar
belakangnya potensial bermasalah, baik dalam kasus korupsi maupun soal hak
asasi manusia (HAM). Keempat, ada menteri yang diragukan kemampuannya, tetapi
ditempatkan pada posisi menteri utama. Kelima, ada pula menteri yang berasal
dari masa lalu, yang harusnya istirahat saja untuk memberi jalan bagi yang
muda, bagi generasi sekarang.
Mengenai potensi korupsi, penting dikonfirmasi kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) apakah ada menteri yang diberi stabilo merah atau
kuning, tetapi tetap direkrut. Gosip-gosipnya, konon, ada, malah orang
tersebut ditempatkan pada kementerian strategis, dan cukup kuat juga perannya
sehingga sulit untuk dicoret. Semua catatan tersebut menjadikan saya harus
menyatakan bahwa Presiden Jokowi belum lulus dalam ujian pertama terkait
rekrutmen para menteri.
Kendati demikian, ada catatan yang perlu diapresiasi. Jokowi
setidaknya berhasil ‘mencoret’ petinggi parpol semacam Wiranto (Hanura) dan
Muhaimin Iskandar (PKB) yang telah menyorongkan diri sendiri untuk dipilih.
Protes-protes masyarakat tentang kedua sosok tersebut, yang sangat ramai di
media-media sosial, kiranya didengarkan sehingga Muhaimin memilih kembali ke
pangkuan PKB ketimbang tetap ngotot masuk kabinet. Itu pun setelah KPK
menyampaikan catatan-catatan soal calon menteri, dan publik tidak tahu apakah
Muhaimin masuk barisan yang mana, apakah yang bertinta merah, kuning, atau
tidak bertinta sama sekali. Sementara Wiranto, yang pada saat-sat terakhir
sebelum pengumuman kabinet masih juga santer disebut akan menduduki kursi
Menko Polhukkam, akhirnya juga tergusur.
Sayangnya, Jokowi rupanya juga mencoret ‘a few good men’ yang santer pula disebut akan masuk kabinet,
bahkan sudah diundang untuk beraudiensi, seperti Saldi Isra, Komaruddin
Hidayat, dan Mas Achmad Santosa. Ketiga sosok ini sangat dekat dengan
kalangan civil society, tidak
berpartai, tetapi kiprahnya bisa dijejaki. Saldi, misalnya, disebut akan
menduduki kursi Menkumham setelah Hamid Awaluddin dicoret. Hamid semula
kandidat kuat, tetapi lumayan kontrovesial karena pernah menjadi Menkumham
‘separuh jalan’ dalam kabinet Presiden SBY pertama. Saldi pun akhirnya terpental
karena pos itu menjadi milik PDIP dalam diri seorang Yasonna Laoly.
Pembuktian dengan kerja
dan kerja
Terlepas dari kekecewaan sebagian publik, nama-nama sudah
diumumkan. Mereka yang sudah ditunjuk Presiden Jokowi itu harus membuktikan
bahwa publik salah dalam menilai mereka. Pilihan Presiden Jokowi terhadap
mereka bukan karena sang Presiden menghadapi banyak tekanan, tetapi murni
karena mereka orang yang tepat. Pembuktiannya mudah saja. Buatlah hal-hal
yang mengesankan publik pada rentang jabatan tersebut, terutama pada
hari-hari pertama mereka bekerja, misalnya dalam 100 hari pertama.
Kerja lebih akan berdaya guna ketimbang sanggahan verbal. Namun,
publik juga harus bersabar untuk menunggu gebrakan mereka, paling tidak dalam
100 hari pertama. Bila tidak ada perubahan berarti dalam 100 hari pertama,
baiknya mereka langsung diganti. Carilah orang-orang yang memang betul-betul
profesional dan ada passion (kegairahan) dalam bekerja.
Pengumuman kabinet oleh presiden mana pun pasti akan mencuatkan
pro dan kontra. Tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak. Terlebih Jokowi
adalah presiden yang disokong justru oleh kekuatan nonparpol, oleh para
relawan. Ekspektasi publik terlalu tinggi untuk sosok yang mengenal medan
politik Ibukota baru dua tahun itu.
Dalam hari-hari ke depan setelah kabinet terbentuk, Jokowi plus
JK harus membuktikan bahwa Jokowi-JK adalah kita, Jokowi-JK tetap kita,
sesuai dengan klaim mereka. Jangan menjadi “Jokowi-JK bukan kita” yang akan
menjauhkan dua sosok itu dari kita semua. Jangan pernah berubah karena rakyat
akan kecewa dan marah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar