Memanjat
Pohon Konstitusi
Ahmad Erani Yustika ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
PENYUSUNAN kabinet dan produksi kebijakan ekonomi punya
kemiripan dalam satu hal: keduanya tak diformulasi dalam ruang hampa. Jika
bisa dibuat dalam kamar kedap suara, tentu seluruh buku teks telah memberikan
panduan yang sempurna. Masalahnya, kerap kali ukuran penilaian kabinet dan
kebijakan ekonomi melulu dibenturkan dengan buku teks itu sehingga perasaan
gembira atau frustrasi mudah menyergap. Diskursus ini yang terasa penting
diangkat pada saat sekarang dengan mencermati dinamika politik di Tanah Air,
yang pada saatnya nanti kualitas komposisi kabinet dan mutu kebijakan ekonomi
bisa dikalkulasi secara laik. Fakta yang dapat dipungut, banyak pihak yang
senang dengan komposisi kabinet (ekonomi) tersebut, juga sepadan dengan yang
mencelanya. Demikian pula, ekspektasi terhadap produksi kebijakan ekonomi
dilontarkan sangat tinggi sebagai respons keceriaan terhadap figur-figur
tertentu yang dianggap kapabel, setara dengan pihak yang berpikiran
sebaliknya.
Pergeseran poros ekonomi
Pada saat seluruh keluh kesah bermuara dari situasi domestik,
ada baiknya melongok lebih dulu kondisi ekonomi-politik luar negeri. Puncak
integrasi ekonomi segera tiba, yakni 2020, sehingga saat ini sebetulnya
tinggal menekan tombol terakhir. Artinya, ekonomi tak bisa ditutup lagi tanpa
kekuatan dan kekerasan sikap untuk mengubahnya. Dengan demikian, periode
pemerintahan baru ini, 2014-2019, masa paling penting untuk menentukan sikap
Indonesia: melanjutkan kesepakatan yang telah ditandatangani, menyiasati dengan
kebijakan yang cerdas, atau berputar balik dari kesepakatan?
Kita bisa membagi kelompok negara yang telah terlibat (sebagian
hanyut) dalam integrasi ekonomi itu dalam tiga kategori: (i) negara predator
yang percaya diri akan menjadi pemangsa; (ii) negara pengekor yang menerima
kesepakatan tanpa paham risiko; dan (iii) negara negosiator yang menawar
kesepakatan dengan keras kepala demi melindungi kepentingan domestik.
Berikutnya, sebelum masa 2020 itu tiba, empat tahun terakhir situasi
pertarungan global diisi dengan geliat negara menengah yang mencoba menggeser
sentral ekonomi dunia. Tiongkok, India, Meksiko, Brasil, Rusia, Afrika
Selatan, Turki, dan lain-lain bermanuver untuk mengurangi risiko ekonomi dan
finansial dari ketidakpastian global. Pusat kengerian berporos pada fakta
tunggal: sejak liberalisasi ekonomi dipacu dekade 1980-an, aneka krisis
ekonomi menjadi kerap terjadi. Intensitas riak ekonomi makin intensif,
barangkali hanya berjarak 4-5 tahun, itu pun dengan masa pemulihan yang lebih
panjang.
Akibatnya, krisis yang satu belum usai, telah hadir malapetaka
lain. Negara-negara tersebut mendesak tatanan ekonomi global dengan jalan
mengintensifkan kerja sama ekonomi di antara mereka, bahkan belakangan
membuat lembaga alternatif untuk keluar dari belitan masalah. Misalnya, 21
negara di Asia membentuk The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB),
dengan Tiongkok sebagai motor. AS berang dengan inisiatif itu dan
Indonesia—seperti biasa—absen.
Bagian yang paling menarik adalah model sistem dan kebijakan
ekonomi yang diambil oleh dua kawasan penting di dunia, yakni Eropa Timur dan
Amerika Latin. Eropa Timur—dengan gradasi tertentu—menjiplak sepenuhnya
sistem ekonomi pasar yang diterapkan oleh AS maupun beberapa negara Eropa
Barat. Ceko, Polandia, dan Hongaria merupakan contoh negara di Eropa Timur
yang mengadopsi pola itu dengan hasil yang tak terlalu mengecewakan meski
dalam jangka panjang masih terdapat pertanyaan besar.
Sebaliknya, Amerika Latin kukuh memperkuat basis sosialisme yang
mereka pakai selama ini, tentu dengan penyesuaian di sana-sini (seperti
halnya kapitalisme). Bolivia, Venezuela, Cile, dan lain-lain. Menariknya,
mereka bisa menjalani itu dengan relatif mulus, tanpa harus menjadi pengekor
yang tersaruk-saruk dalam turbulensi ketidakpastian. Buktinya, ketika hampir
semua negara dihajar dengan ketimpangan, Bolivia malah bisa memadukan
pertumbuhan dan pemerataan (The
Guardian, 14/10/2014). Maknanya, sistem ekonomi tak pernah tunggal.
Sistem produksi
Bagaimana dengan situasi domestik? Jika dipajang dalam tiga
pigura, berikut ini gambarnya. Pertama, jika di negara maju dicekam oleh
jebakan fiskal oleh utang yang membengkak sehingga defisit fiskal tak
terkendali, Indonesia menghadapi misalokasi fiskal yang akut. Data berikut
ini penting dicatat. Pada 2005, alokasi belanja birokrasi (belanja pegawai
dan barang) 16,37 persen dari APBN dan melonjak menjadi 23,71 persen pada
2013. Belanja modal 6,45 persen (2005) menjadi 10,96 persen (2013); subsidi
energi 20,50 persen (2005) menjadi 18,15 persen (2013); dan pembayaran utang
12,79 persen (2005) menjadi 6,85 persen (2013) [LKPP 2005-2013, diolah].
Data ini menarik sebab alokasi belanja modal meningkat,
pembayaran utang turun separuh persentasenya, dan subsidi energi relatif
stabil (turun sedikit pada 2013). Sebaliknya, pada saat publik berisik
mempersoalkan subsidi energi, maka tersimpan rapi pemborosan belanja
birokrasi 7 persen dalam sembilan tahun terakhir. Angka 7 persen itu setara
Rp 140 triliun dalam RAPBN 2015! Pemahaman terhadap data ini akan menentukan
bagaimana nantinya reformasi fiskal dikerjakan.
Kedua, sistem produksi akan meneruskan model yang selama ini
dipilih atau merombaknya selaras dengan konstitusi. Faktor produksi
tradisional berporos pada urusan alokasi tenaga kerja, lahan, dan modal. Opsi
yang diambil ada dua. Pendekatan klasik akan menempatkan pekerja sebagai
sekrup korporasi dan mendapatkan upah atas pengetahuan dan tenaganya.
Penguasa lahan memperoleh sewa atas jasanya, sedangkan pemilik modal
mendapatkan bunga. Model produksi seperti ini menjadi bingkai kegiatan
ekonomi global, tak terkecuali di Indonesia, yang kemudian melahirkan kosmos
ketimpangan dan eksploitasi.
Pilihan lainnya, ketiga faktor produksi tersebut merupakan satu
paket kolektivitas produksi sehingga istilah upah, sewa, dan bunga menjadi
lebur. Kegiatan produksi tak terbagi dalam dua kutub yang dikotomis, tetapi
manunggal dalam deru usaha bersama. Celakanya, sistem produksi semacam itu
justru banyak dijumpai di belahan dunia lain, seperti di beberapa negara
Eropa. Indonesia selalu berada di titik persimpangan dan tak pernah berani
mengambil pilihan lurus soal ini.
Ketiga, kegagapan dalam mendesain dan mengarahkan sektor
keuangan dalam sirkulasi kegiatan ekonomi. Fitrah sektor keuangan dibangun
untuk menopang sepenuhnya kegiatan produksi (riil), bukan membelanjakan untuk
dirinya sendiri. Pembesaran sangat cepat di sektor keuangan tak berbanding
lurus dengan peningkatan volume produksi karena uang (dan derivat lain)
berputar di rumahnya sendiri. Uang ditempatkan di bank sebagian dialirkan ke
pasar saham, asuransi, dan lembaga keuangan nonbank lain; demikian
seterusnya. Perputaran itu bukan hanya membusungkan sektor keuangan dan
mengempiskan sektor riil, melainkan juga membuat mahal aktivitas ekonomi.
Aliran dana masuk juga difasilitasi dengan sangat baik lewat
bunga tinggi, baik lewat instrumen SBN, SBI, maupun yang lain, sehingga tanpa
disadari nisbah ekonomi disedot ke luar. Meski argumen ini tak salah,
pengerutan investasi tak semata soal kelangkaan infrastruktur ataupun
lambannya perizinan, tetapi juga bagaimana sektor keuangan diregulasi sesuai
napas jati diri ekonomi.
Langit kesejahteraan
Deskripsi itu tentu menyimpan banyak persoalan lain yang belum
terungkap, tetapi sekurangnya memberi bingkai perspektif persoalan ekonomi.
Tantangan terberat para menteri pos ekonomi ialah mengawinkan problem itu
dengan platform Presiden. Di titik inilah Kementerian PPN/Bappenas memanggul
tugas amat strategis: menjadi pengemudi dan kompas ke mana layar ekonomi hendak
diarahkan. Kementerian Luar Negeri telah mengembuskan angin paling kencang
dengan pernyataan akan mengubah haluan diplomasi menuju warna ekonomi yang
pekat.
Setiap kedutaan di luar negeri mesti menjadi ”intelijen
ekonomi”, antara lain tahu peta potensi ekonomi yang bisa digarap demi
memperkuat ekonomi domestik. Namun, itu baru separuh komitmen, sebagiannya
lagi harus diteruskan ke isu kedaulatan ekonomi. Diplomasi luar negeri juga
menjajaki prospek kerja sama ekonomi sebagai alternatif menghadapi kekuatan
poros ekonomi yang telah mapan. Pada era 1950-an, yang berpuncak pada 1955
(Konferensi Asia-Afrika), Indonesia pernah melakukan itu sehingga ikhtiar
kedaulatan ekonomi tersebut memiliki spektrum lebih luas.
Kementerian Perdagangan dan Keuangan mesti sigap mengikuti
inisiatif yang sudah dibuka menteri luar negeri dalam rupa ragam kebijakan
ekonomi luar negeri yang solid. Politik luar negeri yang tegas juga mesti
diterjemahkan dalam kebijakan ekonomi luar negeri yang lugas pula, tidak
seperti selama ini yang nyaris tak punya sikap. Tentu saja pilihan ini baru
dapat diambil jika urusan-urusan domestik di muka juga telah dibereskan.
Tiongkok bisa mengambil kebijakan ekonomi yang terkait dengan luar negeri
setelah ekonomi domestik ditata dan fase-fase pembangunan telah dilalui
dengan baik sehingga keputusan untuk, misalnya, bergabung dalam WTO atau AIIB
merupakan pantulan dari situasi ekonomi domestik.
Hasilnya, manfaat yang diperoleh lebih besar ketimbang risiko
yang ditanggung. Relasi kebijakan domestik-luar negeri merupakan ramuan yang
tak boleh dipisah agar dampaknya tak saling menegasikan. Hingga saat ini
belum ada pernyataan sama sekali dari dua kementerian ini soal payung
kebijakan yang hendak dibuat pada saat cabang jalan mengharuskan kita membuat
pilihan: terus atau belok.
Satu soal lain yang mesti dipadatkan dalam sikap terang adalah
kerja investasi dan pengelolaan sumber daya ekonomi. Selama ini, investasi
luar negeri menjadi pendorong primer penanaman modal sehingga hal itu
dianggap sebagai keniscayaan. Namun, makin lama nisbah ekonomi yang didapat
bagi ekonomi domestik kian kabur. Bahkan, residu investasi asing itu makin
menyeruak, dari soal repatriasi, kerusakan sumber daya alam, peminggiran
penduduk lokal, eksploitasi sumber daya ekonomi, hilangnya potensi penerimaan
negara, penciutan lapangan kerja, orientasi ekspor yang menurun, dan lain
sebagainya. Strategi investasi yang mempromosikan pelaku ekonomi domestik,
khususnya kecil dan menengah, menjadi pertaruhan yang mesti dimenangkan.
Secara lebih spesifik, mandat konstitusi juga memberikan
otoritas kepada BUMN untuk mengelola cabang-cabang ekonomi yang penting dan
SDA. Kementerian BUMN, Koperasi dan UKM, Perindustrian, dan BKPM mesti
menjelaskan arah kebijakan penguatan ekonomi dengan sungguh-sungguh, sambil
menghindari munculnya agenda tersembunyi yang kerap tercium sengatnya. Semoga
kabinet ekonomi memahami konstelasi ekonomi rumit ini dan mampu memanjat
pohon konstitusi sehingga dapat menggapai langit keadilan dan kesejahteraan
ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar