MK
Harus Bersih
Refly Harun ; Pengajar
dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
25 Oktober 2014
Waktu telah menunjukkan lebih dari pukul 01.00 WIB ketika saya
sadar bahwa hari ini adalah tanggal 25 Oktober. Hari ini, empat tahun yang
lalu, saya menulis artikel di Harian Kompas dengan judul “MK Masih Bersih?”.
Saat menulis artikel itu, saya masih ingat waktunya, juga dinihari, 20
Oktober 2010.
Tulisan itu sebenarnya respons terhadap pernyataan Mahfud MD,
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu, pada tanggal 19 Oktober 2010, bahwa
lembaga yang dipimpinnya masih bersih 100 persen. Sebagai wujud kecintaan
terhadap MK, karena pernah menjadi staf ahli MK selama empat tahun (2003-2007),
saya mengingatkan Pak Mahfud bahwa gosip tentang MK yang sudah mulai masuk
angin sering saya dengar. Tidak itu saja, dalam tulisan, saya menyatakan,
“…saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar AS senilai Rp 1
miliar, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim MK.”
Pagi hari ketika tulisan itu dimuat, saya ditelepon Pak Mahfud.
Dengan nada datar Pak Mahfud menyatakan setuju dengan usulan saya untuk
membentuk tim investigasi. Bahkan, Pak Mahfud menyatakan tidak hanya tim investigasi
internal seperti usulan saya dalam tulisan, tetapi juga melibatkan pihak
luar. “Saya minta Mas Refly menjadi ketua timnya,” begitu kurang lebih kata
Pak Mahfud.
Setelah berkonsultasi dengan beberapa teman, akhirnya saya
menerima permintaan Pak Mahfud itu, kendati belakangan sadar bahwa tim itu
dibentuk seperti sengaja untuk ‘menghukum’ saya. Singkat cerita, tim
investigasi yang terdiri dari saya, Adnan Buyung Nasution, Bambang
Widjojanto, Bambang Harymurti, dan Saldi Isra itu bekerja selama kurang lebih
satu bulan.
Hasilnya disampaikan kepada Pak Mahfud dan kemudian disampaikan
pula dalam konferensi pers tanggal 9 Desember 2010. Hasil investigasi itu
setidaknya mampu mengungkap kasus lain yang melibatkan panitera pengganti MK
yang menerima uang dari pihak yang berperkara, yang membuktikan MK tidak
bersih 100 persen. Namun, soal dugaan pemerasan yang dilakukan salah seorang
hakim konstitusi tidak terungkap secara utuh lantaran saksi utama menolak
bersaksi. Tim hanya menemukan indikasi yang bisa ditindaklanjuti penegak
hukum.
Sebagaimana dapat dibaca dari pemberitaan media sekitar akhir
Oktober hingga akhir Desember 2010, tulisan saya dan hasil tim investigasi
tersebut telah memunculkan gonjang-ganjing pemberitaan, yang celakanya justru
malah menyudutkan saya. Banyak makian yang saya terima karena dianggap mafia
itu sendiri dan mau merusak MK, terutama bila membaca komentar-komentar
pembaca atas berita yang dimuat situs berita seperti detik.com. Bahkan, di
twitter baru-baru ini, Triomacan2000 masih juga menulis, “si refly harun itu
mafia suap di MK hehe.” Entah siapa itu Triomacan2000.
Sejak kejadian itu, saya banyak ‘dikucilkan’ media. Televisi
yang biasanya mengundang saya sebagai narasumber masalah-masalah
ketatanegaraan ikut menjauhi. Kalangan MK pun banyak yang ‘membenci’. Sebagai
konsultan hukum tatanegara, hampir tidak ada pihak yang mau menggunakan jasa
saya, baik sebagai kuasa hukum maupun ahli. Alasan mereka, saya sedang
‘dimusuhi’ MK, tidak strategis menggunakan jasa saya.
Saya pun juga harus tahu diri, situasi memang tidak
menguntungkan, hal yang dalam titik tertentu juga masih saya rasakan hingga
saat ini. Ada rekan yang bercanda bahwa saya adalah orang yang paling bodoh
sedunia karena membakar sendiri lapak atau lumbungnya. Bersikap kritis memang
selalu ada harganya. Tapi melawan korupsi memang wajib hukumnya.
Sekali-sekali saya membaca komentar di situs mengapa saya
‘tiarap’. Bagaimana mungkin saya terus berbicara dan menulis. Saya bukan
pemilik media yang bisa dengan mudahnya menggunakan media. Kalau tidak ada
jurnalis yang bertanya dan mewawancarai, tidak ada televisi yang mengundang,
tidak ada media yang memuat tulisan, tentu kita tidak bisa menyampaikan
pendapat apa-apa.
Akil Mochtar Ditangkap
‘Hari pembebasan’ itu akhirnya datang juga, yaitu pada tanggal 2
Oktober 2013 menjelang pukul 22.00 WIB. Malam itu, Ketua MK Akil Mochtar
ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ikhwal itu saya dapatkan
beritanya dari rekan Saldi Isra yang menelepon untuk mengonfirmasi apakah
mendengar berita bahwa AM (Akil Mochtar) ditangkap. Saya katakan tidak tahu.
Betul saja, ketika saya menonton televisi, berita-berita
mengenai ditangkapnya Akil menjadi breaking
news. Malam itu juga saya dihubungi via telepon dari dua televisi berita
yang ingin mengonfirmasi soal kejadian tiga tahun sebelumnya. Malam itu saya
seperti merasa bebas setelah terhimpit selama tiga tahun.
Esoknya saya laris manis diundang di beberapa acara televisi,
sebagian bahkan harus saya tolak karena tidak bisa semua saya layani. Walau
baru tidur dinihari karena mengikuti perkembangan berita tertangkapnya Akil,
pukul 06.00 saya sudah live di
Berita Satu. Pukul 07.00-nya live
di TVOne. Lalu MetroTV juga mewawancarai saya langsung dari KPK pagi itu
juga.
Di KPK banyak wartawan yang bertanya baik dari media cetak
maupun elektronik/online. Praktis saya baru pulang ke rumah di atas pukul
23.00 setelah mengikuti acara terakhir di MetroTV, kalau tidak salah acara
kesembilan yang saya ikuti pada hari itu (3 Oktober 2013).
Tidak Antikritik
Apa yang saya tuduhkan soal pemerasan senilai Rp 1 miliar oleh
seorang hakim – yang dalam laporan tim investigasi memang menyebut nama Akil
Mochtar—ternyata tidak ada apa-apanya dengan fakta yang yang digali KPK:
kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Akil bernilai lebih
dari 160 miliar. Sungguh angka yang sangat fantastis.
Kini Akil telah menerima ganjaran dari perbuatannya. Pengadilan
tindak pidana korupsi telah memvonisnya dengan hukuman seumur hidup, hukuman
tertinggi yang pernah dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta kepada terpidana
korupsi sejauh ini. Kendati putusan belum berkekuatan hukum tetap (in kraacht) kiranya sulit bagi Akil
untuk lepas dari jerat hukum atas tindak pidana korupsi dan TPPU yang ia
lakukan.
Kejadian Akil tentu harus menjadi pelajaran bagi semua hakim
konstitusi. Tidak boleh resisten terhadap kritik karena mereka semua adalah
negarawan. Negarawan itu orang yang sudah selesai dengan dirinya, baik dari
sisi ekonomi maupun politik. Seorang negarawan harus beyond dari politik sehari-hari dan dari perburuan rente seperti
dilakukan Akil, tidak boleh jadi pendendam, tetapi tidak boleh juga imun
terhadap kritik.
Terlebih kasus Akil tersebut sempat meruntuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap MK. Beberapa hari setelah Akil tertangkap, massa dari
Maluku yang tidak puas terhadap putusan MK dalam Pemilukada Maluku 2013
mengobrak-abrik ruang sidang pleno saat putusan dibacakan. Hakim-hakim
terpaksa membubarkan dan mengevakuasi diri. Tidak pernah bisa dibayangkan
sebelumnya kejadian itu bisa terjadi di ruang sidang MK. Saat itu marwah MK
benar-benar jatuh ke titik nadir.
Kini sedikit demi sedikit MK sudah mulai pulih. Kepercayaan
masyarakat mulai tertanam kembali. Kendati demikian, tidak ada salahnya MK
tetap waspada. Tetap hati-hati dengan anasir-anasir korup yang bisa jadi
masih bergentayangan dan terus mencari cara untuk tumbuh subur kembali.
Korupsi sering seperti kanker ganas, sudah ditumpas ke
akar-akarnya pun bisa muncul kembali bila pengawasan baik internal maupun
eksternal mulai mengendor. MK harus benar-benar bersih agar kita tetap dapat
terus memelihara asa keadilan terhadap peradilan yang dibangun di era
reformasi itu.
Selamat Tahun Baru 1436 Hijriah. Semoga kita berani berhijrah
untuk terus berperang melawan korupsi di republik tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar