|
TAHUN
Hijriah 1435 yang jatuh pada Selasa, 5 November 2013 adalah momentum umat Islam
untuk mereposisi dalam rangka meneguhkan eksistensi dan aktualisasi yang
strategis bagi perjalanan peradaban bangsa ini ke depan.
Dalam
konteks historis, tahun Hijriah menandai era baru Nabi Muhammad saw, sebagai
pemimpin agama sekaligus politik, setelah menjalani masa penuh ujian di Makkah
sebagai pemimpin agama. Di Madinah, Nabi Muhammad berjuang membangun potret
ideal masyarakat yang ditandai penguatan aspek ketuhanan, kerukunan,
kebudayaan, kesetaraan, ekonomi, dan politik.
Inilah
yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat madani atau civil society.
Masjid dan pasar yang dibangun Nabi, menjadi simbol penguatan aspek agama,
pendidikan, sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Dalam
konteks politik, Nabi memberikan keteladanan untuk selalu mengedepankan aspek
profesionalitas yang menjadikan kapabilitas sebagai kata kunci, bukan
nepotisme, primordialitas, dan sektarianisme. Nabi sampai wafatnya tidak
menunjuk seorang pun untuk menggantikan posisinya sebagai seorang pemimpin.
Dia
menyerahkan untuk dipilih secara demokratis tanpa intervensi sehingga
dihasilkan pemimpin yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat yang
dipimpinnya. Nabi menjelaskan bahwa kepemimpinan tak boleh diminta karena akan
memberatkan tanggung jawab.
Bila
dipilih oleh umat maka tak boleh menghindar, tapi harus melaksanakan dengan
penuh tanggung jawab, dan masyarakat yang memilih harus konsekuen memberikan
dukungan. Regenerasi kepemimpinan setelah era Nabi berjalan dinamis dan
kontekstual. Dari Nabi ke sahabat Abu Bakar berjalan secara mendebarkan antara
sahabat Anshar dan Muhajirin yang kemudian berakhir manis. Dari Abu Bakar
kepada Umar bin Khattab berjalan dengan model penunjukan.
Dari
Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan menggunakan sistem perwakilan. Dari Utsman
bin Affan ke sahabat Ali bin Abi Thalib menggunakan sistem pemilihan perwakilan
yang berlangsung secara lebih terbuka (Ghafur, 2012). Perbedaan model
regenerasi kepemimpinan setelah eranya menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak
mengajarkan model regenerasi kepemimpinan secara khusus.
Semua
diserahkan kepada konteks sejarah asal bisa mencapai kesepakatan dengan baik.
Dengan kesepakatan itu akan lahir pemimpin yang mempunyai tingkat kapabilitas,
akseptabilitas, dan elektabilitas tinggi. Politik dalam Islam harus disinari
oleh nilai-nilai esensial yang menjadi rohnya, seperti keadilan dan
kemaslahatan.
Dalam
konteks ini, Islam harus menjadi sumber inspirasi dan moral (Madjid, 2008).
Dalam konteks ini, dinasti politik yang dikritik akhir-akhir ini setelah
penangkapan Akil Mochtar yang menyeret Gubernur Banten Ratu Atut dan
keluarganya, tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan
kemaslahatan.
Keharusan
Keadilan
mempunyai makna proporsionalitas. Jika jabatan publik diisi oleh satu keluarga
secara tidak proporsional maka rentan terhadap korupsi dan kolusi. Kaidah agama
menyebutkan bahwa segala sesuatu melewati batas akan menjadi senjata makan
tuan. Dalam politik, check and balances menjadi keharusan sehingga pengawasan
tidak bisa ditinggalkan.
Secara
filosofis, tidak mungkin manusia berlaku benar selamanya, sehingga dibutuhkan
kekuatan penyeimbang untuk check and balance
secara efektif (Madjid, 2008). Monopoli dan sentralitas kekuasaan akan
memandulkan peran pengawasan, sehingga korupsi dan kolusi berjalan secara masif
dan eskalatif tanpa kontrol. Momentum Tahun Hijriah 1435 ini seharusnya
mendorong umat Islam dan bangsa ini untuk mengakhiri dinasti politik yang
mengancam demokrasi partisipatoris.
Kader
terbaik bangsa dari berbagai lapisan masyarakat seyogianya diberi kesempatan
berkompetisi secara elegan dan sportif. Mustahil bangsa ini mengalami lompatan
prestasi jika para kader terbaiknya tidak mendapatkan peluang berkiprah luas.
Menurut Rizal Ramli (2013), garudagaruda muda sebenarnya bisa terbang tinggi
namun dibelenggu feodalisme dan KKN. Selama dua hal ini tidak hilang sangat
sulit bagi kader-kader muda untuk membawa bangsa ini ke level tinggi seperti di
negaranegara maju.
Untuk
mengakhiri dinasti politik, butuh keberanian dari seluruh lapisan masyarakat
menyuarakan larangan memonopoli kekuasaan. Wakil rakyat di DPR dan DPD
seyogianya segera mengusulkan RUU tentang larangan dinasti politik supaya tidak
terjadi absolusitas kekuasaan oleh satu keluarga.
Akhirnya,
kita harus terus memperjuangkan keterbukaan informasi dalam segala bidang.
Keterbukaan inilah yang bisa menutup kemunculan dinasti politik. Keterbukaan
informasi menjadi modal penting bagi kelahiran pengawasan dan keberanian
menyuarakan kritik konstruktif bagi perbaikan sistem. Nabi saw adalah cermin
pemimpin yang selalu terbuka dan aktif memberdayakan kader terbaiknya.
Keterbukaan
Nabi menjadikan para sahabat tak malu untuk bertanya, serta menyampaikan
aspirasi dan ide progresif mereka. Melalui model ini, Nabi berhasil melahirkan
kader-kader pemimpin andal, baik dari sisi moralitas maupun kapabilitas. Para
pemimpin kita harus mengikuti keteladanan Nabi bila menginginkan kemajuan dalam
segala bidang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar