|
Sebentar
lagi umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, akan
menghadapi libur nasional memperingati tahun baru Islam, yakni tahun 1435 H
yang jatuh tanggal 5 November 2013. Dibandingkan peringatan tahun baru Masehi,
gema tahun baru Hijriah kurang terdengar. Bahkan, di kalangan umat Islam
peringatan tahun baru Hijriah ini kurang populer. Selain sebagai hari libur
nasional, makna serta semangat hijrah belum banyak dipahami, terlebih di
kalangan generasi muda.
Hijrah
secara harfiah bermakna perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat
lainnya, sedangkan pengertian secara umum hijrah adalah meninggalkan keburukan
menuju kebaikan. Berdasar makna harfiahlah, peringatan tahun baru Hijriah
ditetapkan Umar bin Khattab berdasarkan usulan dari Ali bin Abi Tholib.
Peristiwa hijrah adalah perjalanan atau pindahnya Nabi Muhammad SAW dari
Mekah ke Madinah.
Latar
belakang peristiwa hijrah nabi adalah munculnya tekanan yang sangat kuat dari
kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya, karena menyebarkan
ketauhidan yang bertentangan dengan imanan penduduk Mekah.
Tanpa
bermaksud menyingkir dan menolak perintah dakwah, nabi hijrah ke Madinah
sebagai upaya menyusun strategi dan kekuatan baru. Ibarat sebuah ungkapan,
mundur selangkah untuk maju dua-tiga langkah.
Demikianlah
semangat hijrah ditanamkan pula kepada para pemeluk Islam di masa awal
perkembangan, yang tentunya penuh ujian dan tekanan. Pelan tapi pasti hijrah
nabi diikuti pengikutnya dari Kota Mekkah ke Madinah dengan penuh pengharapan.
Di sinilah umat Islam diteguhkan hatinya “inna ma’al ‘u’sri yusra, fa inna
ma’al ‘usri yusra” (sesungguhnya akan datang kemudahan sesudah kesulitan).
Tentunya,
situasi awal di Madinah tak semudah dibayangkan. Ancaman datang dari dalam dan
luar. Dalam sebuah kisah digambarkan salah satu tetua kaum Yahudi, Syas bin
Qais, yang sejak hadirnya Islam di Madinah tidak senang atas kerukunan yang
terjadi antara kaum Aus dan Khazraj, melakukan provokasi yang hampir saja
mengobarkan peperangan di antara mereka.
Untunglah
Muhammad SAW mampu menyadarkan dan menyentak kesadaran mereka yang sudah
termakan provokasi. Rasulullah SAW mendidik para sahabat untuk senantiasa
berjiwa besar, pemaaf dan lapang dada, serta berupaya mempersempit kesempatan
musuh yang diam-diam berkonspirasi merongrong dan mengikis kekuatan umat Islam
yang sedang tumbuh.
Ketika
mengusulkan pentingnya peringatan tahun baru Hijriah kepada sahabat Umar bin
Khattab, Ali bin Tholib menjelaskan tahun baru Hijriah perlu dirayakan dan
diperingati oleh kaum muslim. Itu karena dalam peristiwa ini terkandung hikmah
besar tentang nilai-nilai perjuangan, keuletan, kesabaran, dan semangat
pengharapan atas masa depan yang lebih baik dan tak lupa adalah semangat
kebersamaan.
Menjadi Rahmat
Menjadi Rahmat
Memaknai peringatan tahun baru Islam tahun 1435 H, kiranya kaum muslim
harus mulai menyebarkan
semangat hijrah ini secara luas kepada masyarakat.
Bagaimanapun Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Umat tidak hanya
memperingatinya melalui ritual ibadah dengan mengadakan salat tasbih dan
memanjatkan doa awal dan akhir tahun. Namun, lebih daripada itu makna serta
semangat hijrah harus menjadi semangat perubahan menuju kebaikan.
Indonesia
sebagai sebuah bangsa kiranya patut melakukan introspeksi dan memaknai semangat
hijrah secara hati nurani, jika tak mau melihat bangsa ini semakin terpuruk.
Perekat kebhinekaan yang dipatrikan para pendiri bangsa ini, terlihat semakin
koyak oleh fakta politisasi atas nama agama yang sering kita temui dalam
berbagai kejadian.
Islam
sebagai sebuah rahmat bagi alam semesta sedang mendapatkan ujian serius.
Bagaimana tidak, di hadapan kita setiap hari dipertontonkan kepongahan yang
dilakukan kelompok yang mengatasnamakan Islam seperti FPI, yang senantiasa
melakukan teror tidak hanya kepada nonmuslim tetapi juga mengkafirkan sesama
muslim.
Belum lagi fakta-fakta intoleransi kebobrokan moral yang berkembang dalam
masyarakat kita.
Belum
lama ini kita mendengar bagaimana terjadi pengusiran terhadap kaum Syiah di
Sampang Madura oleh golongan masyarakat Sunni, pembakaran masjid kaum Ahmadiyah
karena ajaran mereka dianggap sesat dan tidak diakui MUI sebagai ajaran yang
sah di Indonesia. Pengeboman tempat-tempat ibadah seperti gereja dan
Candi Borobudur, serta tempat-tempat yang dianggap simbol kaum kafir. Terakhir,
yang sangat menampar muka kita adalah ditangkapnya tokoh-tokoh Islam dalam
kasus korupsi, beserta perilakunya yang amoral dan bejat karena merendahkan
martabat kaum perempuan.
Fakta-fakta
di atas menunjukkan kepada kita bahwa umat Islam Indonesia sedang terperosok ke
era masa jahiliyyah. Jika kita mengurai benang kusutnya, mungkin akan
kita temukan ada distorsi dalam pemahaman keyakinan.
Umat
Islam hanya berkutat dan sibuk mengurusi tauhid akidahnya, tanpa mengembangkan
implementasi tauhid sosial dalam kehidupannya. Bahaya yang timbul jika umat
Islam hanya mengurusi tauhid akidah tanpa merefleksikan tauhid sosial adalah,
mereka akan terpuruk pada sentimen dan fanatisme keyakinan membabi buta,
sehingga mudah disulut kemarahan ketika berhadapan dengan paradigma atau
keyakinan yang berbeda. Tak segan mereka akan mengkafirkan setiap pendapat atau
keyakinan yang berbeda.
Sepatutnya,
umat Islam mulai mengembangkan pemahaman tauhid sosial di samping meyakini
tauhid sebagai keyakinan. Tauhid sosial sangat relevan digunakan sebagai konsep
menegakkan keadilan sosial, karena sekarang ketimpangan dan kesenjangan sosial
semakin terasa. Dilihat dari kacamata tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia
atas manusia, pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di hadapan Allah,
jurang yang menganga antara si kaya dan miskin, serta kehidupan eksploitatif
merupakan fenomena antisosial sekaligus antitauhid. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar