|
Belum
lama ini saya menangis di depan kelas, di hadapan mahasiswa-mahasiswa saya,
sesaat setelah bercerita selintas tentang ketakjuban saya pada sejarah
Yogyakarta yang sarat unsur filosofis, magis, patriotis, akademis, bahkan
romantis.
Sepekan
sejak “insiden” di ruang perkuliahan itu, mesin pemutar CD di rumah dan
kendaraan saya hampir tak putus-putus memperdengarkan “Tanah Air” karya Ibu
Soed. Lagu itu menyajikan cara yang sesungguhnya amat sederhana tentang
bagaimana seharusnya negeri ini diasuh.
Simak
saja, tanahku yang kucintai // engkau
kuhargai.
Kata
“harga” dalam lirik lagu itu, tentu bermakna konotatif. Tanah Air Indonesia ini
justru tak ternilai. Tak bisa dihargakan, apalagi dengan satuan mata uang
rupiah yang belakangan ini nilainya kembali merosot tak karuan. Bilangan angka
sepanjang apa pun tetap tidak bisa mewakili harga Indonesia, satu-satunya cara
untuk menghargainya adalah dengan menjaganya.
Hanya
mereka yang memiliki harga diri yang mampu melakukan itu—harga yang juga punya
arti konotatif.
Tragisnya,
hilangnya empat koleksi emas berumur ribuan tahun dari Museum Nasional,
merupakan bukti tak terbantahkan bahwa negeri ini memang berharga. Kali ini
“harga” dengan makna denotatif, karena barang-barang tak ternilai itu akan dilecehkan
dengan dibubuhi harga sesuai mata uang tertentu di pasar gelap.
Tragedi
pencurian benda-benda historis bukan baru kali ini terjadi. Pada waktu lampau,
sekian banyak benda bersejarah juga dikabarkan lenyap dari Museum Kasepuhan
Cirebon, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan Museum Radya Pustaka Solo.
Bagaimana
barang-barang itu bisa diambil dan siapa gerangan pelakunya, tidak ada kabar
beritanya hingga kini. Jangankan ditemukan kembali, sampai sekarang tidak
pernah terdengar satu retorika pun yang disuarakan aparat keamanan kita seperti
saat mereka memburu teroris, bahwa koleksi-koleksi tak ternilai itu pasti akan
dicari hingga dapat.
Situasinya
menjadi ironis. Saat negeri jiran berusaha merampok aset budaya nasional
semacam angklung, Tari Pendet, dan Reog Ponorogo, masyarakat Indonesia langsung
naik pitam. Dipertontonkanlah tekad bahwa Indonesia adalah pemilik aset-aset
tersebut, bukan Malaysia.
Indonesia
sang empunya sejati, dari gestur yang didemonstrasikan langsung termaknakan
bahwa niscaya hanya di Indonesia pula aset-aset tadi akan lestari. Namun,
manakala tidak ada satu pun negara asing yang mencuri koleksi-koleksi museum
kita, justru—bisa dipastikan—orang Indonesia yang bertindak sebagai malingnya.
Seperti
apa profil psikologis para pembobol museum itu tidak menarik bahkan peduli
setan untuk dibicarakan. Namun, tentunya mereka tidak menghargai sejarah.
Mereka
boleh jadi tidak pernah mengenyam bangku sekolah, walau kecil kemungkinan itu.
Atau, lebih mungkin, mereka pernah berstatus sebagai anak sekolah, namun tidak
menggemari pelajaran sejarah yang pada gilirannya menjadi pondasi mencintai
bangsanya.
Kenapa
mereka tidak menyukai pelajaran sejarah, barangkali ada banyak penjelasan. Tapi
satu yang krusial, hemat saya, itu adalah efek kegagalan guru mengajarkan
sejarah pada anak-anak didik mereka.
Membosankan
Semasa
SD, mata pelajaran yang membahas sejarah adalah jam-jam yang saya rasa
membosankan. Lanjut ke SMP, materi yang sama, ketika diajarkan di sekolah
justru berefek kontraproduktif terhadap berseminya nasionalisme saya.
Beruntung,
saban tahun TVRI—bahkan, seingat saya, semua stasiun televisi—tak pernah lalai
menayangkan film Pengkhianatan G30S. Terlepas dari kontroversi tentang
propaganda politik yang disebut-sebut kental dalam film tersebut, yang jelas
midnight show akhir September itu berhasil merawat kepedulian saya pada
sejumput episode penting dalam riwayat Indonesia.
Begitu
pula di bangku SMA. Mata pelajaran sejarah yang disajikan di kelas adalah
hidangan hambar tak berguna. Batin saya, persetan sejarah karena saya hidup
pada masa kini dan berjalan ke masa depan.
Mujur,
saya terselamatkan karena pada masa yang sama radio Geronimo FM di Yogyakarta
memutar sandiwara radio berseri, seperti Tutur Tinular. Tepat pukul 12.30
setiap siang, Senin hingga Jumat, sambil berbaring di ranjang indekos,
sandiwara itu mengajak saya napak tilas ke legenda fenomenal Kerajaan
Majapahit.
Itulah
momen ketika untuk pertama kalinya saya sepenuh hati belajar sesuatu tentang
sejarah Nusantara, bahwa ternyata cagak-cagak kemasyhuran negeri ini
dipancangkan di atas genangan darah anak-anak kandungnya sendiri.
Masih
terang ingatan saya tentang prosesi penyiksaan terhadap para kriminal di
lapangan Majapahit. Mengerikan karena penuh kebiadaban. Juga saat Jayanagara,
raja kedua Majapahit, mengumbar rayuan binalnya pada gadis-gadis yang terbuai
iming-iming menjadi permaisuri maupun selir raja.
Menggairahkan,
panas oleh buncahan berahi terlarang. Juga mengagumkan, karena suara efek
berupa benturan pedang dan ringkik kuda prajurit-prajurit Majapahit saat
menumpas pemberontakan terdengar penuh sesak dengan gelora tekad membangun
sebuah peradaban.
Sejak
itulah, saya baru benar-benar bisa mencintai Indonesia dan pastinya mengasihi
Yogyakarta. Sejarah, sungguh bukan kegiatan menghapal nama atau omong kosong
jika melulu mengingat-ingat waktu kejadian suatu peristiwa. Panca indra memang
penting. Namun, pada puncaknya, hati yang menjadikan mata pelajaran sejarah
sebagai sesuatu yang bersukma.
Hanya
guru yang juga menggilai sejarah dengan hatinya yang akan mampu menulari
anak-anak didiknya dengan kegilaan yang sama. Celakanya, masih kurang banyak
guru-guru yang sanggup menghidupkan nuansa dramatis di kelas kala mengajar
sejarah.
Mereka
sukses menuntaskan bahan pelajaran, tapi gagal mereka ulang peristiwa di dalam
kelas. Pengetahuan tentang nama dan kronologi peristiwa berhasil ditransfer ke
siswa. Namun, saking rapinya para siswa kehilangan keleluasaan untuk
menyutradarai foto-foto itu menjadi film-film kreatif buah karya penghayatan
mereka masing-masing.
Arifin
C Noer, di balik layar Pengkhianatan G30S, serta S Tijab dkk, di belakang
lembaran kisah Tutur Tinular saya daulat sebagai “guru-guru sejarah” sejati
berkat kesaktian mereka memanggil ruh tokoh-tokoh besar masa silam, hingga
bergentayangan di alam khayali saya.
Kembali
ke ihwal aksi maling menggasak koleksi museum, rendahnya penghargaan terhadap
sejarah sebenarnya juga tampak pada bentuk-bentuk perangai yang lebih “lunak”.
Banyak sekali pengunjung museum yang tidak bisa menahan diri untuk tidak
menjamah benda-benda koleksi.
Sayangnya,
pada saat yang sama, tidak ada tanda larangan untuk itu. Penyepelean serupa
terlihat pada rombongan wisatawan yang tega-teganya meminta rabat untuk karcis
masuk museum yang harganya hanya ribuan perak.
Padahal,
jika mereka memaklumi nilai penting koleksi museum, mereka seharusnya bergumam,
“Ribuan rupiah? Gile bener!” lalu menyumbang dengan membeli karcis lebih banyak
daripada jumlah peserta rombongan.
Apa
boleh buat, sejak kanak-kanak kita diasah untuk merajut cita-cita. Masuk ke
lingkungan pendidikan dan dunia kerja, ditempa untuk membangun visi. Itu bagus.
Masalahnya, seberapa besar kehirauan yang sama tertuju pada masa lalu, pada
sejarah? Faktanya, peminat program studi sejarah di perguruan tinggi dari tahun
ke tahun terus menurun.
Ya,
saat ini ada kegemparan akibat lenyapnya koleksi Museum Nasional. Itu pun lokal
dan jangka pendek sifatnya. Yang sesungguhnya lebih
merisaukan namun tak menghebohkan, sekaligus sebagai latar aksi pencurian itu,
adalah tergadainya harga diri kita dan nilai bangsa ini. “Kasihan....” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar