|
“Kunci utama
pencapaian target swasembada kedelai adalah peningkatan luas areal tanam dan
panen permanen”
GONJANG-GANJING terkait dengan kedelai di negeri ini
sepertinya belum akan berakhir, bahkan memasuki babak baru. Perajin tempe/tahu
di sejumlah daerah telah menunaikan ancaman mogok produksi. Tuntutan utama
mereka meminta pemerintah konsisten melaksanakan aturan tentang harga patokan
pembelian (HPP). Menurut ketentuan tersebut, pembelian dari petani dipatok Rp
7.000/kg, sedangkan penjualan ke perajin Rp 7.450/kg.
Gonjang-ganjing seperti itu merupakan kali ketiga selama 5
tahun terakhir. Pertengahan Januari 2008, ribuan perajin tempe se-Jakarta
bahkan menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menuntut pemerintah
segera menstabilkan harga kedelai yang kala itu tak terkendali.
Realitas itu merupakan konsekuensi logis dari
ketergantungan kebutuhan kedelai impor. Tanpa upaya serius mengatasi substansi
permasalahan, yaitu rendahnya produksi kedelai nasional dan tidak tercukupinya
kebutuhan konsumsi dalam negeri oleh produksi domestik, persoalan itu akan
selalu berulang.
Secara historis, impor kedelai Indonesia seperti dilaporkan
Bokhuis dan Von Libbenstein (1932), terjadi sejak 1928 dari Manchuria, meski
baru 63.000 ton/tahun. Resesi ekonomi dunia yang melanda tahun 1934 membuat
pemerintah kolonial Belanda melarang impor kedelai, menggantinya dengan
program peningkatan produksi kedelai dalam negeri.
Kebetulan saat itu jumlah penduduk masih sedikit dan indeks
pertanaman padi baru sekali setahun sehingga masih banyak lahan tidak ditanami
(bero). Bantuan benih unggul diberikan kepada petani yang belum pernah menanam
kedelai. Meski produktivitasnya baru sekitar 6 kuintal/ha, upaya itu mampu
memenuhi kebutuhan kedelai domestik.
Seiring pertambahan jumlah penduduk dan konsumen tempe,
kekurangan kedelai mulai terasa pada awal 1960-an. Pemerintah Orde Lama kemudian
mencanangkan program peningkatan produksi kedelai pada 1964, rekomendasi dari
Lokakarya Kedelai di Bogor pada tahun yang sama.
Dalam perjalanan waktu, stagnasi produksi kedelai dalam
negeri mengakibatkan volume impor terus membengkak. Meski ada peluang sangat
besar dalam agribisnis kedelai, animo petani untuk menanam kedelai sangat
kurang. Padahal banyak program peningkatan produksi kedelai digulirkan seperti
Program Gema Palagung dan Gerakan Kedelai Bangkit untuk merintis upaya
swasembada kedelai pada awal 2000.
Tahun 2009 pemerintah mencanangkan target swasembada
kedelai 2,7 juta ton yang diraih tahun 2011, namun target tersebut meleset dan
diundur pada 2014. Target tersebut layaknya ungkapan jauh panggang dari api.
Hingga akhir 2013, menurut Angka Ramalan I BPS, produksi kedelai nasional 2013
hanya 847,16 ribu ton biji kering. Apakah benar target swasembada kedelai hanya
utopia?
Sebenarnya untuk mewujudkan swasembada kedelai bukan utopia
karena republik ini pernah mencapai prestasi swasembada kedelai pada 1992. Tahun
itu luas tanam kedelai mencapai 1,67 juta ha dengan produksi 1,87 juta ton. Sayang,
luas lahan kedelai terus menurun sejak saat itu, dan tahun 2012 luas tanam
kedelai nasional tinggal 566 ribu ha.
Luas Areal
Ada beberapa upaya kunci untuk bisa mencapai target
swasembada kedelai. Kunci utama peningkatan luas areal tanam dan panen yang
nyata dan permanen. Untuk pencapaian produksi kedelai pada tingkat swasembada
diperlukan tambahan luas areal tanam 2 juta ha. Tambahan luas areal tanam ini
dutamakan pada lahan kering bukaan baru yang secara khusus diperuntukkan bagi
pengembangan kedelai.
Menurut Sumarno dan Muchlish Adie (2012), terdapat beberapa
keuntungan perluasan areal tanam kedelai pada lahan kering. Pertama; tidak
terjadi persaingan antarkomoditas pangan lainnya. Kedua; penambahan areal tanam
lebih bersifat berkelanjutan. Ketiga; skala usaha petani dapat lebih
dioptimalkan. Keempat; kenaikan produksi kedelai lebih nyata.
Upaya tak kalah penting untuk peningkatan produksi kedelai
adalah pengembangan riset dan teknologi pertanian. Produktivitas rata-rata
nasional saat ini yang baru 14,82 kuintal/ha dapat ditingkatkan melalui inovasi
varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Saatnya kita
memanfaatkan teknologi transgenik genetically
modified organism (GMO) untuk mendapatkan benih unggul dengan produktivitas
tinggi.
Bukan hanya itu, pemerintah juga harus memberikan insentif
lain berupa jaminan sarana infrastruktur dan sarana produksi, termasuk
pembiayaan usaha petani kedelai. Ironis, meski jadi pilar pembangunan,
pertumbuhan kredit sektor pertanian jauh tertinggal dari sektor ekonomi
lainnya. Menurut data BI per April 2013, total portofolio kredit ke sektor
pertanian secara luas hanya 5,2% dari total penyaluran kredit.
Suka tidak suka pemerintah harus memberikan jaminan
perlindungan harga jual kedelai produksi petani domestik dan jaminan penjualan
kepada perajin. Selain utu, melaksanakan secara konsisten mekanisme harga dasar
dan harga maksimal. Insentif paling signifikan yang memengaruhi animo petani
untuk menanam komoditas tertentu adalah jaminan harga jual yang memadai
terhadap komoditas itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar