|
KEMENANGAN
Tony Abbott, pemimpin Partai Liberal, dalam pemilu awal September ini
membawanya menjadi perdana menteri Australia menggantikan Kevin Rudd. Dengan
persaingan yang ketat, perbedaan 10 hingga 20 jumlah kursi, Abbott menunjukkan
keunggulannya sekitar 3,5% secara nasional. Bagaimana memaknai kemenangan
Abbott ini dan apa dampaknya terhadap Indonesia?
Kontroversi
Keberhasilan
Abbott mengalahkan Rudd bagi sebagian orang menjadi hal mencengangkan yang
sebelumnya diperkirakan sulit terjadi. Partai Liberal pimpinan Abbott berhasil
mengapitalisasi isu `manusia perahu' pencari suaka menjadi hal kontroversial
sepanjang kampanye.
Abbott memanipulasi kekhawatiran
yang menjurus pada ketakutan para kelas menengah warga Australia di kotakota
besar. Sebagian besar warga tersebut khawatir kenyamanan hidup mereka selama
ini akan terganggu dengan semakin banyaknya orang asing dari berbagai negara
yang mencari suaka dengan berbagai alasan. Kekhawatiran utama mereka ditujukan
pada `manusia perahu' yang terus mengalir menuju Australia.
Sebagai negara maju yang memiliki
pelayanan publik salah satu yang terbaik di dunia dan termasuk sebagai salah
satu kota yang paling nyaman dan diminati untuk tempat tinggal, dapat
dibayangkan bahwa warga Australia sangat berkepentingan terhadap membanjirnya
pendatang. Apalagi pendatang ini illegal dan berpotensi membawa masalah. Bagi
warga yang fanatik, berbagai pelayanan publik seperti akses pada kesejahteraan,
pendidikan, dan kesehatan menjadi perhatian utama. Mereka menjaganya sehingga kualitas
hidup mereka tidak menurun. Bahkan, mereka juga khawatir dengan angka
kriminalitas yang meningkat.
Harus diakui bahwa kelihaian
Abbott adalah meramu isu-isu kontroversial menjadi amunisi kampanye yang jitu. Ia
memainkan emosional dan sentimen warga hingga mereka tersentil kepeduliannya.
Khususnya adalah kepedulian terhadap kenyamanan hidup mereka yang mungkin akan
semakin terganggu dengan adanya semakin banyaknya pendatang ilegal.
Sebagai oposisi yang berusaha
merebut kekuasaan, menggunakan isu kontroversial dan pendekatan frontal
merupakan pilihan jamak. Partai oposisi harus mampu tampil berbeda mampu tampil
berbeda sehingga dapat menarik para pemilih. Apalagi bila partai petahana,
dalam hal ini Partai Buruh, kebijakannya tidak efektif. Partai oposisi dapat
lebih mudah menyerang dengan membenturkan kebijakan dan implementasi yang bermasalah
di lapangan.
Namun demikian, isu dan
pendekatan yang digunakan tersebut, disadari atau tidak, berdampak tidak hanya
di dalam negeri Australia. Yang lebih krusial adalah dampaknya terhadap
hubungan Australia dengan negara tetangga khususnya Indonesia. Hal ini yang
perlu menjadi perhatian pascapelantikan Abbott menjadi perdana menteri
Australia yang baru Rabu lalu.
Menuai kritikan
Di antara beberapa kebijakan penting
yang menjadi fokus pemerintahan baru partai Liberal adalah `menjinakkan' para
pencari suaka ilegal yang dikenal dengan `manusi perahu'. Kebijakan Abbott
sangat jelas dan tegas dengan mengharuskan mereka kembali ke wilayah negara
sebelum memasuki peraiaran Australia.
Hal itu sama halnya dengan
memulangkan mereka kembali ke Indonesia. Di sinilah permasalahan yang lebih
pelik dimulai. Kebijakan itu menuai kritikan dari berbagai kalangan. Tidak
hanya dari domestik, kalangan masyarakat sipil pemerhati hak asasi manusia
hingga reaksi keras para politisi Indonesia.
Kebijakan keras dan tegas itu
menimbulkan kesan pemerintahan Abbott tidak mau peduli terhadap pemasalahan
tersebut secara menyeluruh. Kompleksitas masalah `manusia perahu' ini tidak
hanya berdampak bagi warga domestik Australia, tetapi juga bagi negara seperti
Indonesia yang posisinya pun hanya sebagai negara transit. Dengan kata negara
transit. Dengan kata lain, Australia dibawah Ab bott cenderung lebih me
mentingkan diri sendiri (selfish) dan tidak mau mempedulikan kepen tingan
negara tetangga lainnya. Posisi tersebut semakin jelas dengan pernyataan Abbott
menanggapi berbagai kritikan dari Indonesia. Ia meminta Indonesia untuk
memahami sikap mereka. Rencana kunjungan Abbott ke Indonesia akhir September
nanti pun bukan dalam konteks meminta izin Indonesia atas serangkaian kebijakan
`menjaga kedaulatan perbatasan' Australia.
Berbeda dengan pemerintah
terdahulu yang berusaha mencari pemecahan secara lebih komprehesif,
pemerintahan baru Australia seperti tidak peduli bahwa persoalan `manusia
perahu' ini bukan sederhana dan tidak hanya Australia yang menjadi `korban'.
Justru, Indonesia dalam hal ini sangat berkepentingan sebagai negara yang
dilewati para pengungsi. Posisi Indonesia pun sangat jelas bahwa penyelesaian
ini sebaiknya dilakukan secara multilateral, bukan unilateral.
Terobosan baru
Oleh karena itu diperlukan
pendekatan diplomasi baru antara Australia dan Indonesia serta beberapa negara
tetangga di kawasan ini. Kenapa demikian? Pilihan kebijakan Australia yang
lebih asertif dan cenderung selfish
memposisikan ia ingin menang sendiri dan dimengerti kepentingan nasionalnya.
Dalam hubungan internasional, sikap keras kepala dan tidak membuka ruang
negosiasi tidak men dapatkan tempat.
Secara domestik, kebi jakan itu
mungkin telah terbukti menarik para pe milih, namun di tataran regional bahkan
inter nasional memiliki logika yang berbeda. Tanpa mau mendengarkan dan men
coba memahami kepen tingan negara dan atau aktor lain, kebijakan satu arah
tersebut tidak akan efektif. Misalnya, dalam tataran praksis, berbagai potensi
kekisruhan teknis bisa muncul. Bagaimana kah secara teknis meminta `manusia
perahu' itu kembali ke perairan negara lain (Indonesia)? Bagaimana kah bila
mereka menolak? Akankah militer Australia menggunakan kekerasan senjata agar
para `manusia perahu' mau menuruti kemauan Australia?
Pada akhirnya, dampak kebijakan
seperti itu tidak akan efektif dan tidak akan menyelesaikan masalah hingga ke
akarnya. Bentuk pendekatan baru atau diplomasi baru yang harus dilakukan
Australia adalah dengan lebih mau mendengar dan mempertimbangkan kepentingan
negara tetangga dan lembaga-lembaga internasional.
Mereka perlu duduk bersama
membahas alternatif langkah-langkah komprehensif sejak dari negara asal, negara
transit, hingga negara tujuan. Australia dapat menawarkan bantuan penguatan
kapasitas, keamanan manusia, program-program pendidikan hingga program-program
yang menunjang kesejahteraan para warga negara di negara asal yang berpotensi
akan menjadi pengungsi ilegal.
Sedangkan di negara transit, para
pengungsi yang sudah telanjur berada di negeri ini perlu `dicegah' agar tidak
melanjutkan niat mereka ke negara tujuan. Tidak dengan program-program yang
membuat mereka betah di negara transit, tetapi justru program penyadaran yang
membuat mereka kembali atau mampu mandiri.
Tentu semua ini bukan merupakan
hal yang mudah. Pemerintahan Australia sebelumnya telah berusaha mencari
pemecahan bersama pula. Namun, yang terpenting dari sebuah terobosan diplomasi
baru adalah kemauan dan keinginan duduk bersama dan mendengarkan berbagai
kepentingan dari para pihak yang terlibat. Bila tidak, kebijakan Abbott itu
hanya akan menjadi bumerang baginya dan dunia internasional akan mengecam
`Negeri Kanguru' tersebut keras kepala dan tidak berperikemanusiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar