|
PADA
11 September pekan lalu, ibu Ani Yudhoyono meng undang sekitar 200 perempuan
untuk bersilaturahim di istana Presiden. Hadir dalam forum itu wakilwakil dari
tujuh organisasi perempuan, ibu-ibu dari Ria Pembangunan, dan ibu-ibu menteri
Kabinet Indonesia Bersatu. Hadir pula sekelompok perempuan yang dikenal
masyarakat karena kinerja atau kreativitas mereka.
Forum
itu memang bukan cerminan seluruh masyarakat perempuan Indonesia, tetapi
sifatnya strategis karena bisa bermanfaat untuk menyampaikan pesan-pesan yang
menyangkut peran dan kesejahteraan perempuan, mengingat yang hadir umumnya
memiliki kesempatan berpartisipasi memajukan kaum perempuan Indonesia. Ibu Ani
menyampaikan sepintas tentang peran seperti itu dalam pidato pembukaan. Pada
ujung acara pembukaan resmi, Presiden pun menyampaikan garis besar hasil
kunjungan mereka ke tiga negara Eropa beberapa hari sebelumnya, yang antara
lain membicarakan soal investasi di Indonesia.
Bagi
yang hadir, forum itu selain untuk bersilaturahim dan lebih saling mengenal,
juga bersifat informatif dan inspiratif. Tergantung masing-masing yang hadir
bagaimana akan menindaklanjutinya. Paling tidak, forum itu membuat orang
berpikir tentang nasib perempuan Indonesia saat ini.
Perempuan selalu tertinggal
Ibu
Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di lain
kesempatan mengakui bahwa perempuan Indonesia memang sudah ikut dalam kegiatan
pembangunan, tetapi tingkat pendidikannya masih memprihatinkan. Rata-rata angka
melek huruf dan lama pendidikan sekolah masih kalah dari laki-laki. Menurut
data BPS, sebagian besar perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan
SMP ke bawah. Mayoritas perempuan hanya berpendidikan SD. Semakin tinggi
tingkat pendidikan, partisipasi perempuan makin rendah: SMA hanya sekitar 19%,
akademi dan perguruan tinggi hanya sekitar 6%.
Ketimpangan
pendidikan tampak pada kontribusi pendapatan nasional yang menunjukkan bahwa
jika dibandingkan dengan negara-negara lain, laki-laki Indonesia menempati
urutan 66,5, sedangkan sumbangan perempuannya di urutan 33,5. Hampir 70%
pekerja perempuan menjalankan kegiatan di sektor informal atau ekonomi rumah
tangga yang tentu lebih fleksibel bagi peran mereka sebagai ibu rumah tangga.
Ada
kaitan erat antara perempuan dan faktor ekonomi. Tentang itu, Charlotte Perkins
Gilman, pejuang feminisme di Amerika, menulis buku terkenal Women and Economics (1898) yang antara
lain menyatakan: kemandirian dan spesialisasi kaum perempuan di bidang ekonomi
akan memperbaiki situasi perkawinan, peran sebagai ibu, industri rumah tangga,
dan masalah rasial.
Berbicara
tentang ketimpangan, salah satu tujuan penting MDGs (Millennium Development Goals) pada 1015 adalah mengusahakan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dua tujuan lainnya: menurunkan
kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Pemilihan tiga tujuan penting itu
menggambarkan ketertinggalan perempuan.
Perempuan di lembaga politik
Sejak
awal era reformasi pada 1998, keterwakilan perempuan Indonesia di
lembaga-lembaga politik sudah dipolakan lewat tindakan afirmatif berupa
penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, tiga
Pemilu--1999, 2004, 2009-tidak berhasil mewujudkan target tersebut. Adat
istiadat, agama, dan budaya patriarkat-yang mewujud dalam sikap dan perilaku
laki-laki ataupun perempuan sendiri--rupanya telah menghambat.
Memang
partisipasi perempuan di parlemen berangsur meningkat: dari 9% di pada 1999,
naik ke 11,3% pada 2004, kemudian 18% pada 2009. Untuk Pemilu 2014, diharapkan
meningkat lagi. Melalui Peraturan KPU No 7 Tahun 2013, KPU tidak akan
menerbitkan DCT (daftar caleg tetap) untuk parpol yang gagal memenuhi syarat
keterwakilan di suatu dapil. Bagaimana pelaksanaan selanjutnya, kita tunggu.
Namun,
dari seluruh 102 anggota perempuan yang ada di parlemen sekarang, diperkirakan
hanya sepertiganya yang sepenuhnya sadar akan fungsinya. Kenyataan ini
memperkuat sikap meremehkan kapasitas perempuan dalam dunia perpolitikan.
Sebenarnya
keterbatasan itu juga akibat perencanaan partai-partai politik yang tidak
secara serius mengagendakan pendidikan politik bagi para caleg perempuan.
Selama ini politikus perempuan umumnya tidak terlalu diperhitungkan. Sebutan `konco wingking' bagi perempuan rupanya
masih melekat di sanubari masyarakat. Masih diperlukan waktu lama untuk
menghapuskan prasangka. Dalam proses sosialisasi ke dalam masyarakat yang sarat
prasangka, tanpa sadar kita pun membiarkan prasangka menyerap dalam diri kita.
Diskriminasi
memang bukan lagu baru untuk perempuan. Benih-benih egaliter
laki-laki/perempuan baru mulai tumbuh pada abad ke-19, dan persamaan hak bagi
perempuan baru dalam abad ke-20 berangsur dilembagakan, suatu proses yang
meliputi: hak terjun dalam masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak
memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau
upah yang sama. Namun, itu semua hanya hak, tergantung pada masyarakatnya
apakah bersedia mengakuinya atau tidak. Kita telah terjebak dalam pola
prasangka.
Rasanya
masih diperlukan waktu lama untuk menghapuskan prasangka. Padahal, prasangka
erat terkait dengan diskriminasi, dan diskriminasi adalah lambang keangkuhan
yang mungkin hanya bisa ditundukkan oleh kebijaksanaan.
Menurut
ajaran Timur lama, perempuan sejati tahu, perempuan ibarat air yang hanya
mengisi, merendah, dan melimpah. Artinya, memperjuangkan kepentingan perempuan
tidak harus diwarnai sikap agresif. Kata filsuf China Lao Tse (604-531 SM), “Mereka yang mengenal kemaskulinan tetapi
tidak meninggalkan kefemininan akan menjadi saluran, dan seluruh dunia akan
mengalir menuju dirinya.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar