|
Aroma tak sedap tercium di dalam proses uji kelayakan dan
kepatutan calon hakim agung yang diselenggarakan di Komisi III DPR. Selain
karena peristiwa ”pertemuan di toilet”, pengakuan salah satu unsur pimpinan
Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, juga menguatkan adanya indikasi permainan
uang.
Kompas menemui Imam Anshori Saleh, Kamis
(19/9), dan bertanya lebih detail mengenai kronologi peristiwa ”percobaan suap”
itu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana kronologi penawaran uang
tersebut?
Saya sebenarnya mendapatkan banyak telepon
dari orang-orang DPR, dari beberapa fraksi. Lebih dari lima orang, dari fraksi
berbeda-beda. Intinya, minta tolong supaya orangnya (calon) diluluskan. Saya
jawab saja, ya nanti kita lihatlah. Kalau hasilnya bagus dan rekam jejaknya
bagus, saya kira akan lolos. Kalau tidak bagus, karena KY memang memiliki
standar, ya tidak bisa.
Saya pikir sudah selesai. Tahu-tahu ada yang
menelepon mengajak bertemu. Saya tidak berpikir apa-apa saat itu. Akhirnya saya
bertemu di sebuah rumah makan di daerah Senayan.
Ketika itu dia bilang, ”Mas, saya dapat
amanat dari ibu, ini supaya diloloskan. Untuk KY, masing-masing disiapkan Rp
200 juta.” Dia memang tidak bilang akan memberi Rp 1,4 miliar, tetapi kalau
dihitung kan jadinya Rp 1,4 miliar.
Saya jawab, ”Waduh… kalau yang begitu-begitu
saya dan teman-teman tidak akan menerimanya Pak. Tanpa itu pun, kalau baik
tentu akan kami loloskan.”
Saya tidak langsung memberitahukan peristiwa
ini kepada teman-teman (pimpinan KY). Saya biarkan dulu, biar yang bersangkutan
seleksi. Nah, ketika rapat penentuan kelulusan, saya baru menggunakan hak veto.
Saya katakan tidak bisa meloloskan orang ini. Anggota yang lain bertanya, lalu
saya jelaskan soal itu (tawaran uang). Lalu, kami sepakat tidak meloloskannya.
Apa reaksi dari orang DPR?
Ya, memang sempat marah- marah orang DPR
walau tentu saja tidak marah ke saya. KY dikatakan tidak mampu. Lalu, DPR
menunda uji kelayakan dan kepatutan. Makanya, dulu saya ancam kalau mereka
menjelek-jelekkan (KY), saya punya kartu truf.
Pada 2012, DPR sempat menolak melanjutkan
proses seleksi calon hakim agung dengan alasan kuota belum terpenuhi. Saat itu,
KY yang seharusnya mengirimkan 18 calon hakim agung hanya mengirimkan 12 calon
(Kompas, 6 Juni 2012).
Bagaimana kalau anggota DPR dimaksud
membantah?
Ya silakan saja membantah. Tetapi ini soal
komitmen. Kalau bertemu saya, awalnya, agak kikuk karena semula mengira saya
bisa dibeli. Dia jadi agak segan dengan saya karena sudah pernah mencoba tetapi
tidak tembus.
Andai saya mau, uangnya bisa saya ambil
semua. Namun, nurani saya tidak sampai hati. Selain saya jadi berdosa, celaka
pula bagi peradilan ke depan. Satu orang saja ada yang seperti itu, peradilan
bisa rusak.
Setelah mengungkapkan soal ini, ada yang
mengancam?
Ada yang mengirimkan SMS (pesan singkat),
tetapi nomornya tidak jelas. Isinya, jangan memfitnah DPR. Saya tidak tahu
nomor siapa. Namun, banyak pula yang men-support. Mereka bilang, ”Bagus Mas,
supaya kami yang di DPR ini jangan digeneralisasi. Memang ada orang yang
seperti itu.”
Jika dipanggil DPR, bersedia membuka
identitas orang itu?
Saya tidak yakin DPR mau memanggil KY soal
itu. Namun, kalau Badan Kehormatan DPR memanggil, saya akan buka semua agar
masa depan lebih baik. Kalau BK DPR serius, mari. Kalau cuma manggil basa-basi,
tidak usahlah.
Bagaimana pendapat Bapak soal fit and
proper test DPR?
Harus ditata lagi. Yang saya alami dulu
(waktu menjadi anggota DPR), kadang-kadang sudah ditentukan fraksi. Calon-calon
itu melobi ke pimpinan fraksi atau partai. Makanya, kadang-kadang fit and
proper test itu sekadar formalitas.
Saya pernah bertemu calon hakim agung yang
gagal (di DPR). Dia cerita, ”Lha gimana Pak, saya begitu datang ke sebuah
pertemuan sudah ditanya bagaimana komitmen Anda. Ya saya bilang gini, saya
akan bekerja dengan baik. Bukan begitu. Lalu saya disodorkan kalkulator.” Itu
di pertemuan informal.
Mengapa baru sekarang mengungkapkan hal
ini?
Ini sebenarnya lama saya pendam. Saya ingin
hal seperti itu dihentikan. Kasihan bangsa ini.
Memang tidak semua anggota DPR seperti itu.
Jadi, bagi saya, dari kasus ini DPR bisa introspeksi. Partai-partai juga
demikian, kalau memilih calon anggota legislatif harus betul-betul diseleksi
dengan baik. Jangan menambah jumlah orang yang seperti itu. Kalau sudah duduk di
Dewan terhormat, jangan seperti itu sikapnya.
Dalam pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan
calon hakim agung kali ini, mudah-mudahan DPR bisa obyektif. Hakim-hakim yang
punya kemampuan dan integritas tinggi yang akan dipilih.
Mahkamah Agung itu kan puncak peradilan.
Kalau sampai dihuni atau diawaki oleh hakim-hakim agung yang tidak punya
integritas, kita khawatir dengan nasib penegakan hukum yang berkeadilan di
Indonesia ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar