|
Seorang gadis kecil usia 12 tahun
(sebut saja T) diajak ibunya berkunjung ke tempat kerja saya. Orangtuanya
gundah karena sejak adanya berita tentang kekerasan, penembakan, dan
pembunuhan, ia terus-menerus cemas. Ia mudah menangis, tiap sepuluh menit
sekali menelepon ibu dan bapaknya yang sedang bekerja, minta tidur bersama
orangtua. Ia tidak mau ditinggal kalau sedang bersama, ke kamar kecil pun harus
diantar, dan mendesak ibunya untuk mencari pekerjaan yang lebih dekat dengan
rumah saja.
Ketika ditanya mengapa, ia bilang khawatir kehilangan
ayah-ibunya, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada orangtua. Ia
membombardir ibunya dengan pertanyaan balik ”mengapa”: ”Mengapa ada ibu dan
anak kena peluru nyasar, mengapa perempuan dibunuh, mengapa polisi ditembak
sampai meninggal? Itu, kan, ada keluarga dan anak-anaknya.” Setelah ada anak
kecil menyetir yang membunuh enam nyawa, ia terguncang lagi dan bertanya:
”Mengapa orang naik mobil sembarangan, mengapa anak kecil dibiarkan nyetir dan
mengebut, bikin orang lain cacat dan meninggal.”
Duduk di sampingnya yang menangis tersedu-sedu, saya seperti
menyaksikan diri sendiri di depan mata, ia seolah cermin bagi banyak dari kita.
Banyak sekali chaos dalam masyarakat, yang menjungkirbalikkan semua
tatanan dan mengacaukan akal sehat kita. Lapas diserang, narkoba diproduksi di
lapas, anak usia 13 tahun diajar bangga untuk menyetir mobil oleh orangtuanya,
guru mencabuli murid dan muridnya yang dipersalahkan oleh lingkungan, polisi
ditembak, pejabat membawa uang dalam kardus, dosen tertangkap tangan menerima
suap, dan sebut saja apalagi lainnya.
Hal di atas mengacaukan rasa aman dalam masyarakat meski
direspons secara berbeda-beda oleh kita. Orang-orang dewasa mencoba sekuat
mungkin bertahan karena harus menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Maka, ada
yang tidak lagi mau membaca koran atau menonton liputan berita di TV. Yang lain
malah sibuk mendiskusikan berbagai penjelasan dan teori konspirasi, sekadar
untuk dapat memperoleh ”jawaban sementara” yang lebih diyakini agar ”dapat
merasa seimbang lagi” dan terus bertahan. Yang lain lagi tidak mau memikirkan
apa pun di luar dirinya, sibuk kerja mengejar ambisi. Ada pula yang bereaksi
”kalau mau bertahan dalam lingkungan yang gila ya harus ikut bertindak gila”.
Maka, makin jungkir baliklah masyarakat kita.
Saya tercenung waktu Ibu T dengan harap cemas bertanya: ”Jadi
bagaimana Mbak, harus diapakan anak saya?” Hampir tidak menemukan jawaban
karena saya pun terguncang oleh bombardir berita mengejutkan itu. Merasa marah,
tidak berdaya, dan tidak mengerti harus berbuat apa untuk melindungi anak-anak
yang harus dibukakan mengenai nilai-nilai baik kehidupan dan optimisme
menjalani hidup. Untuk memastikan agar anak-anak dapat difasilitasi dan
memiliki contoh untuk berpengalaman baik, berpikir baik, berperasaan baik, dan
melakukan perbuatan baik.
Menenangkan diri
Tiba-tiba saya ingat pernah mengalami stuck yang
sama saat menghadapi seorang ibu yang terbelit masalah parah akibat utang-utang
suami ratusan juta rupiah, sambil harus menghadapi dua anak remajanya yang
sangat sulit dikelola karena sedang mencari jati diri. Ia harus menafkahi
keluarga, mengurus rumah, sambil pula mencari cara membayar utang suami.
Singkat kata, lengkaplah kekacauan hidupnya.
Ia mengaku dekat dengan Tuhan, selalu shalat lima waktu.
Dalam kegamangan, saya tidak mengerti harus berbuat apa, saya memberinya
beberapa lembar kertas kosong dan bilang: ”Bagaimana bila sekarang Ibu mencoba
menulis sebuah doa yang menurut Ibu paling lengkap dan paling bagus, yang akan
paling menenangkan? Tuliskan sekonkret mungkin persoalan yang ingin disampaikan
pada-Nya, tuliskan sekonkret mungkin apa yang Ibu harapkan.”
Kami membaca doanya bersama-sama. Saya bertanya apakah benar
doa sudah lengkap, apakah ada hal yang terlupa, apakah ada yang perlu
ditambahkan agar si ibu sungguh merasa lebih aman. Akhirnya dengan beberapa
perubahan dan penambahan kecil, ibu itu merasa doa itu sempurna. Ia tersenyum
bahagia dan sangat lega, berulang-ulang menyatakan terima kasih dan
keyakinannya bahwa ia akan mampu menemukan jalan mengatasi persoalan hidupnya.
Si gadis cilik ternyata juga senang mengerjakan tugas membuat
doa. Saya bilang, doanya ”yang kamu anggap paling lengkap, paling membuat kamu
merasa aman”. Saya sama sekali tidak yakin apa yang saya lakukan, dan bilang
pada ibunya, ”Ya sudah kita lihat saja beberapa hari ini, kalau masalahnya
masih terus ada, nanti kita pikirkan lagi harus bagaimana.” Besoknya si gadis
menitipkan surat melalui ibunya, ia menulis, ”Terima kasih Tante, aku sudah
lebih tenang. Aku masih kadang merasa takut, tapi kalau takut, aku akan membaca
doa itu dan jadi lebih tenang.”
Kita harus berhati-hati dan saya tidak menganjurkan cara di
atas untuk dilakukan tergesa-gesa, apalagi pada mereka yang meragukan
keberadaan Tuhan, atau sedang merasa berkonflik dengan agamanya. Tuhan juga
harus dimaknai universal, dengan sebutan yang paling dirasa nyaman, entah itu
”Sang Hidup”, ”Pemilik Hidup” atau sebutan lain.
Sebenarnya saya hanya ingin berbagi sesuatu yang sederhana.
Melalui pengalaman di atas saya diyakinkan, teori psikologi yang rasional dan
ilmu pengetahuan apa pun memiliki keterbatasannya. Ketika hidup sudah jungkir
balik tidak dapat dijelaskan melalui akal sehat, ilmu tidak dapat tuntas
menjawab. Bagaimana pun banyak dari kita akan mencoba terus berjalan dengan
keyakinan ada kekuatan jauh lebih besar daripada kekuatan kita di jagat raya.
Semoga kekuatan itu mengarahkan kita ke jalan yang baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar