|
“Salvador Allende ‘dibunuh’ dan
mati berkali-kali, tetapi bangkit kembali. Bagaimana mungkin?”
MUNGKIN sudah terlampau sering kita dengar kisah
klasik tentang Chile di masa Allende dan kudeta militer terhadapnya, ibarat
lagu lama yang sering diputar berulang kali. Namun, tidak ada salahnya untuk
kembali mengingat cerita ini – siapa tahu berguna di kemudian hari.
Untuk memulai cerita, kita bisa menonton film besutan
sutradara asal Chile, Patricio Guzmán, salah satu pengantar termudah mengenai
Allende dan kejatuhannya. Tidak hanya itu, kita bisa mengambil beberapa
pelajaran darinya. Singkat kata, kira-kira begini ceritanya.
Salvador Allende, seorang dokter yang berkecimpung
dengan berbagai isu kesehatan publik, ikut mendirikan dan berkecimpung di
Partai Sosialis Chile semenjak muda, sebuah partai pekerja yang independen dari
garis komando Moskow. Allende mungkin tidak pernah mempelajari
literatur-literatur Kiri dan Marxisme secara ‘resmi’ di bangku perkuliahan,
namun dia tahu, ada berbagai cara mempelajari – dan tidak hanya itu, meresapi –
prinsip-prinsip politik Kiri. Allende sendiri meresapi prinsip-prinsip itu
dengan banyak berkecimpung dengan rakyat biasa – suatu
aktivitas politik yang akhir-akhir ini makin langka. Baginya,
terdapat banyak pintu menuju tujuan yang sama. Di tengah gelombang revolusi dan
gerakan pembebasan nasional yang menyapu negara-negara dunia ketiga, Allende
menempuh jalan elektoral demi pembebasan rakyat pekerja.
‘Bagaimana bisa,’ tanya Guzmán, ‘seseorang menjadi revolusioner dan demokrat di
saat yang bersamaan?’ Allende mungkin adalah contoh langka seorang demokrat revolusioner. Tak
percaya? Buktinya, dengan sabar dan konsisten tiga kali ia kalah pemilu
presiden di Chile. Baru di kali ke-empat, tahun 1970, Allende menang tipis, sekitar 36.2 persen, dan dinobatkan menjadi
presiden Chile. Berbagai ilmuwan politik terutama mereka yang beraliran borjuis
menganggap bahwa sistem pemilu Chile yang dapat meloloskan presiden dengan
perolehan suara yang minim merupakan penyebab mengapa Allende dapat menang dan
partai-partai Kiri enggan untuk ‘memoderasi’ agenda-agenda politiknya. Beberapa
diantara mereka bahkan menyalahkan Allende
dan pihak Kiri sebagai pihak yang ‘mengundang malapetakanya sendiri.’ Tentu
saja logika ini absurd. Dalam konteks kita, ini semacam menyalahkan orang-orang
Muslim Syia’ah atau Ahmadi atau para korban katastrofi 1965 yang ‘mengundang
kekerasan’ – ‘salah lu sendiri!,’ begitu
kata mereka. Namun, ada baiknya omelan ini
kita simpan dulu.
Allende tahu itu, namun dia tetap ngotot. Sekecil apapun peluang yang dimiliki oleh
gerakan rakyat dan partai-partai Kiri, peluang tersebut harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Allende sendiri bukan orang baru di pemerintahan dan politik –
dia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial periode
1938 – 1942 dalam koalisi Front Popular yang berhaluan reformis. Semasa
jabatannya, dia mengegolkan berbagai kebijakan progresif, seperti undang-undang
keselamatan kerja, tunjangan kehamilan dan penyediaan makan siang gratis di
sekolah-sekolah. Ini jelas berbeda dengan para elit di negeri kita misalnya,
yang beraksi bak pahlawan kesiangan,seakan-akan
dirinya bisa menjadi ratu adil atau juru selamat baru namun enggan untuk mengetahui
lebih-lebih menghidupi penderitaan rakyat.
Para elit ini juga – yang biasanya memiliki elective affinityatau
pertemuan pandangan dengan beberapa segmen kelas menengah Indonesia – adalah
mereka yang gemetaran dan ketakutan ketika melihat aksi-aksi massa rakyat
dengan alasan ‘stabilitas’. Perubahan tidaklah semudah omongan para ‘motivator,’ konvensi partai yang
diadakan beberapa tahun sekali, atau diskusi sembari nongkrong-nongkrong di
warung kopi dan merasa sudah mengubah keadaan. Perubahan
mestilah diusahakan dan hanya mungkin dilakukan oleh
massa yang sadar. Allende tahu bahwa, ibarat Roma, Sosialisme
tidak dapat dibangun dalam satu malam, melainkan membutuhkan kerja keras dan
perencanaan yang panjang di jalan yang kerap kali tidak mudah.
Tentu saja, di masa itu, Sosialisme masih menjadi
harapan bagi banyak rakyat dan kaum tertindas lainnya di berbagai belahan
dunia. Sosialisme tidak serta merta diidentikkan dengan tiang gantungan,
Stalinisme dan gulag-gulag Soviet. Sosialisme juga bukan berarti sekedar
‘sosial demokrasi’ atau ‘jalan ketiga’ ala kaum neolib berbaju sosdem dewasa ini. Pada waktu itu, masih ada
tokoh-tokoh seperti Olof Palme dan tentunya Allende, reformis revolusioner yang
menyerukan sebuah visi akan masyarakat yang egaliter di dalam negeri dan
menentang aksi-aksi jingoisme imperial
di luar negerimacam Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS)
maupun penumpasan protes rakyat oleh berbagai rejim Stalinis.
Setelah menjadi presiden, Allende memenuhi berbagai
janjinya. Dia menasionalisasi berbagai cabang usaha yang menyangkut hajat hidup
orang banyak seperti tembaga dan perbankan. Sekarang, kita mungkin bisa
mencibir nasionalisasi sebagai kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan rawan
korupsi. Memang, lebih mudah untuk menilai segala sesuatunya dari kacamata
zaman kita. Namun, ada kondisi-kondisi yang khas dari tiap zaman yang perlu
ditempatkan dalam konteks waktunya. Kebijakan nasionalisasi Allende adalah
terobosan yang progresif. Lagipula, Allende tidak hanya sekedar memindahkan
kontrol sektor-sektor produksi itu ke tangan negara. Lebih dari itu, dia
mencoba memperluas kontrol buruh secara langsung atas
sektor-sektor produksi tersebut. Menurut Victor Wallis, salah seorang pengkaji
Chile, kebijakan-kebijakan Allende ‘memberikan kesempatan bagi mayoritas kaum
buruh untuk menunjuk wakil-wakil yang mereka pilih di dewan administratif di
tiap-tiap cabang usaha.’ Tidak hanya itu, meningkatnya level partisipasi buruh
dalam aktivitas-aktivitas produksi juga diikuti dengan naiknya performa ekonomi
– dan dampak ini tidak terbatas hanya pada sektor-sektor atau cabang-cabang
industri tertentu, melainkan terasa lintas-sektoral dan secara umum. Bahkan,
konon kabarnya, Project Cybersyn,
sistem komunikasi dan manajemen yang dicetuskan Allende, disebut-sebut sebagai
embrio ‘internet sosialis’ yang memungkinkan kontrol pekerja secara langsung
yang lebih luas terhadap pengelolaan ekonomi. Selain mengurusi industri dan
perburuhan, Allende juga melaksanakan reformasi agraria, mengurangi kesenjangan
ekonomi dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, mengurangi inflasi dan
memperluas akses ke pendidikan.
Tetapi, ada yang tidak senang dengan semua ini, yaitu
kaum borjuis, para tuan tanah dan berbagai kelompok dan partai Kanan. Tidak
perlu waktu lama bagi mereka untuk kemudian membangun aliansi dengan AS
terutama CIA dan militer. Poster-poster propaganda anti-Allende dari CIA
bergambar tank-tank Soviet tersebar di Chile. Para pengusaha bus dan
transportasi melakukan pemogokan – untungnya gerakan buruh dan rakyat di Chile
cukup militan untuk menghadang pemogokan tersebut dengan tetap bekerja dan
berakvititas seperti biasanya, meskipun di kemudian hari perbedaan pandangan
dan sektarianisme di gerakan Kiri makin mengemuka. Agustus 1973 ada upaya untuk
memakzulkan Allende, namun gagal di parlemen. Betapa dongkolnya kaum borjuis. Di film Guzman, terdapat
satu adegan di mana seorang oposan borjuis berkata bahwa pemerintahan Allende
‘penuh kotoran’ dan Chile dipenuhi oleh ‘para Komunis Marxis yang menjijikan.’
Di adegan lain, terungkap bahwa Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala
itu, menjuluki Allende sebagai ‘si bangsat.’ Ini semua tidak jauh berbeda
dengan label-label yang disematkan terhadap siapapun yang diasosiasikan dengan
PKI, gerakan rakyat dan ide-ide Kiri-progresif di Indonesia semenjak tahun 1965
sampai sekarang.
Akhirnya kita tahu. 11 September 1973, militer
membombardir La Moneda, istana kepresidenan
Chile. Setelah itu, Augusto Pinochet, darling of the West yang
dibangga-banggakan dedengkot ekonom neoliberal Milton Friedman dan Friedrich
Hayek, menjadi diktator Chile. Rejimnya meningkatkan kesenjangan ekonomi di
Chile sekaligus mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi
tahanan politik, disiksa, menghilang dan bahkan tewas. Tetapi rakyat Chile
tidak pernah lupa. Tahun 1989 demokrasi direstorasi. Semenjak itu hingga
sekarang, satu demi satu dosa-dosa rejim Pinochet diungkap.
Seringkali kita mengritik mesianisme dalam gerakan
progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual.
Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende
contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan
Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan. Mereka
mendukung Allende karena ‘Allende mencetuskan utopia akan sebuah dunia yang
lebih adil,’ kata berbagai aktivis pendukungnya.
Salvador Allende mungkin telah mati, namun namanya
tetap abadi. Namanya akan selalu diingat oleh rakyat yang tertindas dan
menderita di gang-gang sempit nan kumuh dari Santiago hingga Valparaiso, dari
Jakarta hingga Ramallah, kini dan nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar