|
KEHADIRAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan
G-20 di Rusia memberikan banyak pengalaman dan informasi untuk menjadi acuan
Indonesia dalam menghadapi masalahmasalah dalam negeri, khususnya ekonomi dan
tingginya utang luar negeri.
Negara ini memiliki sejumlah keunggulan seperti jumlah
penduduk yang nomor empat terbesar di dunia (sekitar 250 juta jiwa), sumber
daya alam, hingga suburnya lahan. Namun, itu belum dikelola dengan maksimal
demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Kita lebih menghargai dan menghormati
bangsa asing yang menaruh investasi mereka di Indonesia melalui berbagai
kemudahan, jika dibandingkan dengan pengusaha-pengusaha lokal kita. Itu
ditambah tidak adanya kepastian hukum yang jelas dan tumpang-tindihnya
peraturan satu sama lain.
Ada tujuh langkah yang bisa dilakukan pemerintah dalam
menghadapi kondisi perekonomian saat ini, terutama upaya menstabilkan nilai
kurs, yakni, pertama, menaikkan suku bunga. Usaha Bank Indonesia (BI) dengan
menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25% dari sebelumnya 7% ialah langkah yang
tepat walaupun harus disikapi hati-hati. Saya berpendapat mestinya kenaikan suku
bunga 9%-10%. Hal itu bertujuan merangsang para pemilik modal menjual dolar
mereka guna men dapatkan bunga deposito yang lebih menarik. Di samping itu,
para spekulan akan berpikir dua kali untuk menyimpan dolar mereka.
Saat ini banyak orang Indonesia tidak percaya dengan rupiah.
Kenaikan suku bunga ini akan berdampak langsung maupun tidak langsung dengan
perbankan yang akan menaik kan suku bunga kredit mereka untuk menutupi biaya
operasional, selain untuk memperoleh keun tungan dari memberikan kredit kepada
para nasa bah. Nah, pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang wajib dipatuhi
industri perbankan.
Kedua, mengpack kurs rupiah terhadap mata uang asing, khususnya
dolar Amerika Serikat. Ketika krisis 1998 saat US$1 diperdagangkan Rp17 ribu,
kita semua panik. Malaysia berani mengpack
ringgit sehingga para spekulan dan juga investor di dalam negeri dibuat tidak
berkutik. Indonesia? Kita dihadapkan pada kepentingan-kepentingan penguasa dan
segelintir orang pada waktu itu, ditambah cadangan devisa juga tidak sebesar
sekarang yang telah mencapai US$97,7 miliar. Alangkah baiknya pemerintah mengpack kurs dolar dihargai sebesar
Rp6.500-Rp7.500 per US$1 dan harus menggunakan mata uang rupiah bila
bertransaksi apa pun di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Saya yakin hal itu
akan berdampak positif walaupun para eksportir kita mengatakan tidak bisa
bersaing di pasaran luar negeri.
Rule of the game
Ketiga, insentif bagi para eksportir. Sebagai regulator, BI
beberapa waktu lalu telah mengeluarkan kebijakan agar para eksportir tidak
memarkir uang hasil ekspor mereka di luar negeri, terutama di negara yang memberikan
insentif dan kemudahan di dalam bertransaksi. BI bisa memberikan insentif
berupa bunga dalam mata uang dolar lebih tinggi bila memasukkan kembali hasil
uang ekspor mereka.
Walaupun peraturan ini ada efeknya, tidak terlalu
signifikan karena para pengusaha tidak percaya dengan sistem yang ada saat ini.
Mestinya regulator membuat peraturan yang menarik dan rule of the game-nya juga harus dibuat, misalnya mereka yang tidak
membawa uang kembali ke dalam negeri akan diberi sanksi yang tegas atau dikenai
denda tinggi. Jadi, para eksportir kita jangan hanya menikmati naiknya kurs
rupiah, sedangkan para importir justru banyak yang kewalahan. Dengan adanya rule of the game yang jelas, saya yakin
para eksportir tidak akan memarkir uang hasil ekspor mereka di luar negeri.
Keempat, surplus di sektor migas. Hasil migas kita harus
diekspor dengan harga yang murah untuk selanjutnya diolah negara-negara lain,
yang ironisnya kita kemudian membeli kembali dengan harga yang tinggi.
Kita membelinya dengan kurs dolar dan karena itulah,
kebutuhan akan dolar dalam transaksi migas terus membengkak. Pemerintah harus
memberikan insentif yang berkesinambungan atau para pengusaha kita difasilitasi
untuk bisa bersaing dengan negara lain dalam sektor migas.
Kelima, insentif untuk daerah-daerah. Negara kita akan
mengalami pergantian kepemimpinan nasional 2014 dan ini berdampak pada semua
aspek, terutama politik dan ekonomi. Para pengusaha sudah pasti makin
berjaga-jaga karena khawatir pemimpin nasional yang terpilih tidak bisa
diterima pasar. Terlebih kalau pemimpin yang terpilih mengandalkan popularitas
semata, dan tidak memikirkan soal ekonomi kerakyatan.
Kalau kita cermati, porsi pemberitaan menjadi tidak
berimbang karena fokusnya hanya pada pemerintahan pusat. Padahal gubernur,
bupati, dan walikota juga banyak yang bekerja keras, tetapi karena bukan media
darling, kurang mendapat sorotan. Calon kepemimpinan nasional kita seolah-olah
hanya bergantung pada satu orang. Hal itu justru tidak proporsional dan
mengundang potensi kegaduhan. Harusnya yang diciptakan ialah suasana kondusif
dengan fokus utama pada menstabilkan perekonomian nasional dengan mengembalikan
nilai tukar rupiah.
Jangan cuma Jakarta
Mengapa hanya DKI Jakarta yang terus disorot? Surabaya atau
kota-kota lain di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan Indonesia timur
kurang mendapat per hatian. Harusnya kita dapat mengarahkan para investor untuk
tidak masuk hanya ke Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga ke provinsi-provinsi
lain. Sebagai contoh, di China apa bila ada investor yang ingin berbisnis di
kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, mereka diharuskan membuka bisnis
di daerah atau provinsi yang lebih kecil dahulu. Setelah beberapa waktu, baru
investor diberi kesempatan masuk ke kota-kota besar. Kalau kebijakan tersebut
juga kita jalankan, pemerataan pembangunan hingga ke seluruh pelosok Indonesia
dapat tercapai.
Daerah yang karena kreativitasnya mampu mendatangkan investor,
baik dalam maupun luar negeri, harus mendapat insentif seperti kenaikan APBD
yang lebih besar atau insentif lainnya.
Keenam, menggalakkan usaha kerakyatan. Kita mengetahui
bersama bahwa banyak potensi di daerah yang belum tergarap dengan baik dan hal
ini menjadi modal bagi kita untuk mengembangkan mereka. Di Bali banyak
kerajinan yang kurang diperhatikan sampaisampai orang asing banyak membimbing
mereka. Mereka dimodali dan hasil pekerjaan mereka diekspor serta memberikan
keuntungan bagi si penanam modal karena orang-orang tersebut jeli dan menyadari
potensi kerajinan tersebut di pasar internasional.
Ketujuh, menggalakkan cinta rupiah. Ketika krisis moneter
1998 ada gerakan menggalakkan sumbangan emas atau apa pun untuk ditukarkan atau
dijual ke dalam bentuk rupiah. Hal itu harus kita galakkan lagi sekarang. Mulai
Presiden, anggota DPR, pejabat negara, pengusaha, hingga ke rakyat banyak
hendaknya menukarkan dolar simpanan mereka ke mata uang rupiah. Di samping itu
perlu aturan yang jelas kenapa orang membeli dolar, apakah untuk berbisnis,
pendidikan, atau hanya spekulasi yang memanfaatkan momen sehingga menimbulkan
gejolak rupiah yang harusnya tidak perlu.
Ketujuh langkah yang telah disebutkan itu bisa dilakukan
apabila rakyat dan pemerintahan mempunyai kemauan untuk memajukan Indonesia. Dengan
demikian, Indonesia akan menjadi negara besar dan disegani bangsa-bangsa lain
bila rakyatnya bersatu dan bangga menjadi bagian dari Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar