|
TAHUN 1981, pada masa pemerintahan
Presiden Ronald Reagan, Menteri Pendidikan Amerika Serikat membentuk Commission on Excellence in Education.
Hal ini merupakan respons pemerintah terhadap kekhawatiran publik tentang
masalah serius dalam sistem pendidikan yang menyebabkan keunggulan AS dalam
industri, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan inovasi teknologi terancam
negara-negara lain.
Komisi
beranggotakan 18 orang dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari guru SMA,
kepala sekolah, perguruan tinggi, kalangan industri, hingga lembaga penelitian.
Beberapa di antaranya pemenang Nobel. Komisi diminta untuk mengidentifikasi
permasalahan pendidikan serta memberikan rekomendasi solusinya.
Komisi bekerja
selama 18 bulan dan hasil kerjanya dituangkan dalam satu laporan yang
disampaikan tidak hanya ke Menteri Pendidikan AS, tetapi juga kepada publik
Amerika. Laporan yang berjudul ”A Nation
at Risk: The Imperative for Educational Reform” telah membuka mata publik
tentang dampaknya apabila masalah tidak ditanggulangi.
Kita baru saja
merayakan ulang tahun ke-68 kemerdekaan. Saat proklamasi kemerdekaan, para
pendiri negara telah merumuskan tujuan pendirian negara, seperti tertuang pada
alinea ke-4 UUD 1945, antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Ternyata kita masih jauh.
Keberhasilan
pembangunan
Indikator untuk
mengukur kesejahteraan masyarakat adalah angka harapan hidup (life expectancy). Semakin panjang usia,
semakin sejahtera rakyat.
Dengan ukuran
ini, tingkat kesejahteraan kita masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga
kita. Tahun 2009, angka harapan hidup kita adalah 70,8 tahun (peringkat
ke-141), Malaysia 73,3 tahun (peringkat ke-112), dan Singapura 82 tahun
(peringkat ke-4).
Capaian
pendidikan kita juga tergolong rendah. Inilah hasil tes Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) tahun
2011. Siswa kelas VIII untuk matematika ada pada urutan ke-38 dari 42 negara;
bidang sains urutan ke-40 dari 42 negara.
Masyarakat kita
memang masih jauh dari cerdas, terlihat dari berbagai kebodohan dalam kehidupan
bernegara.
Era Reformasi
telah membawa kita melaksanakan demokrasi prosedural, dikenal dengan pesta
demokrasi, yang menghabiskan biaya demikian besar. Ironisnya, 70 persen kepala
daerah di Indonesia yang terpilih melalui mekanisme itu terjerat kasus korupsi.
Di samping itu, ada 69,7 persen laporan transaksi mencurigakan ke PPATK terkait
anggota DPR hasil pesta demokrasi itu.
Demokrasi
prosedural yang diterapkan ternyata gagal memilih pemimpin yang amanah, tetapi
tahun depan kita akan mengulang ritual yang sama. Bak keledai yang tersungkur
ke lubang yang sama berkali-kali.
Pentingnya
pendidikan
Belajar dari
Singapura, pendidikan adalah salah satu hal terpenting untuk mencapai
kesejahteraan. Singapura yang merdeka tahun 1965 adalah negara miskin tanpa
sumber daya alam. Air, makanan, dan energi semua diimpor.
Namun, kini
angka harapan hidup dan pendapatan kotor domestik (GDP) per kapita Singapura
melebihi Amerika Serikat karena sistem pendidikannya yang menurut kajian McKinsey&Co tahun 2007 merupakan
sistem pendidikan terbaik di dunia.
Kembali ke
Indonesia dengan rencana Kurikulum 2013. Kajian akademis yang komprehensif
mencakup evaluasi kurikulum sekarang dan justifikasi akan perlunya perubahan
kurikulum menjadi Kurikulum 2013 tidak pernah disampaikan ke publik.
Karena itulah,
muncul berbagai pertanyaan akan rasionalitas kurikulum tersebut dan
feasibilitas implementasinya dalam waktu amat singkat. Tidak ada jawaban yang
memuaskan.
Konsep
Kurikulum 2013 didetailkan dengan perumusan kompetensi untuk setiap topik pada
setiap mata pelajaran, tetapi ternyata rumusannya tidak masuk diakal. Sebagai
contoh, salah satu kompetensi untuk bidang Aljabar pada kelas X adalah sebagai
berikut: ”menunjukkan kesadaran hak dan
kewajiban serta toleransi terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat
majemuk sebagai gambaran menerapkan nilai-nilai matematis sebagai hasil
mempelajari persamaan dan pertidaksamaan linier”.
Tanpa belajar
Aljabar pun, kita tahu bahwa tidak ada kaitan sama sekali antara konsep
persamaan dan pertidaksamaan linier dengan pengembangan perilaku akan kesadaran
hak dan kewajiban serta sikap toleransi. Padahal, perumusan kompetensi untuk
setiap mata ajaran merupakan hal yang amat strategis dan amat penting.
Beberapa minggu
lalu, saya berjumpa dengan sejumlah guru Matematika di Kendari, sebagian di
antaranya baru saja mengikuti pelatihan Kurikulum 2013. Ternyata, pelatihan
hanya diberikan untuk guru tiga mata pelajaran, untuk mata pelajaran lain
dipersilakan mengajar tanpa pelatihan.
Ketika saya
tanyakan pandangan mereka akan Kurikulum 2013, jawabannya adalah ”amat bagus
karena Kurikulum 2013 lebih menekankan pada aspek karakter”. Saya tanya lebih
lanjut: apa perbedaan utama dalam mengajarkan Matematika dengan Kurikulum 2013
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Tidak ada yang bisa menjawab.
Melihat
kenyataan itu, makin kuatlah anggapan bahwa pelaksanaan Kurikulum 2013
dipaksakan dan tergesa-gesa. Sekadar proyek yang menggunakan pendidikan sebagai
obyek. Orientasi proyek adalah pelaksanaan, bukan kualitas. Perancangan dan
implementasi Kurikulum 2013 semacam ini jelas akan memperlemah kualitas
pendidikan kita.
Kurikulum 2013
yang telah memakan dana amat besar akan melemahkan kualitas pendidikan. Dalam
kaitan ini layak untuk dikutip alinea kedua dari laporan Commission on Excellence in Education yang intinya sebagai berikut:
usaha pihak lain yang mencoba memperlemah kualitas pendidikan harus dipandang
sebagai pernyataan perang. Ironisnya, justru pemerintahlah, lewat Kurikulum 2013,
akan memperlemah kualitas pendidikan.
Kita
mengahadapi masalah besar dalam bidang pendidikan. Kita adalah a nation at risk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar