|
DI dalam laporan
mereka yang keempat, The Intergovern
mental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan keniscayaan pemanasan
global yang telah mendorong terjadinya perubahan iklim. Sebab utamanya ialah
naiknya konsentrasi gas rumah kaca yang diproduksi manusia, baik secara industri
maupun kegiatan lainnya, tidak mampu lagi diserap alam secara seimbang.
Betapa pun, pemanasan global
perlu memperhatikan dua parameter, yaitu kenaikan suhu dan konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) di atmosfer. Tentang suhu permukaan ini, IPCC telah menegaskan
agar manusia menjaga jangan sampai kenaikan suhu permukaan melebihi 2 derajat.
Untuk konsentrasi GRK harus dijaga agar kenaikannya tidak melebihi 450 ppm
sejak masa awal zaman industrialisasi. Mengapa demikian? Secara khusus,
Morrigan (2010) menyebutkan bahwa pada saat konsentrasi terukur CO2 ambien di
atmosfer mencapai melebihi 450 ppm, bumi manusia akan terdorong pada ambang
batas kemampuan dinamiknya untuk menahan bencana yang mahadahsyat dan di luar
kapasitas manusia untuk menghadapinya. Planet bumi mencapai kondisi ice-free planet.
Repotnya, jika suhu permukaan
bisa secara langsung dan mudah dapat diamati dan diukur secara langsung,
konsentrasi GRK tidak. Oleh karenanya, kenaikan suhu permukaan itu juga sudah
sering dilaporkan. Di lain pihak, kenaikan konsentrasi GRK tidak banyak
diamati, diukur, dan dilaporkan. Itu karena konsentrasi GRK atau CO2 di
atmosfer tidak mudah diukur, persyaratan pengukurannya pun sangat strict. GRK yang diukur dalam kondisi
ambien dan merupakan konsentrasi CO2 yang telah sangat lama terdapat di dalam
atmosfer dan bercampur dengan gas-gas di atmosfer lainnya. Untuk itu,
diperlukan lokasi yang jauh dari hiruk-pikuk pengaruh kegiatan manusia, dan
proses analisis pembandingan yang rumit.
Di dunia, paling tidak terdapat
29 stasiun pemantau global yang salah satu tugasnya mengukur konsentrasi CO2
ambien di atmosfer. Salah satunya terdapat di Bukit Koto Tabang, Bukittinggi,
Sumatra Barat. Untuk menjembatani keterbatasan data tersebut, IPCC sering
melakukan pende katan secara modeling, asumsi, prakiraan, dan proyeksi.
Pengaruh manusia
Nyepi adalah hari raya umat Hindu
untuk menandai tahun baru Saka. Pada saat itu, umat Hindu di Bali tidak
diperkenankan melakukan aktivitas apa pun selama 24 jam. Bahkan, bandara pun
ditutup selama 24 jam. Bali saat itu menjadi medan tanpa aktivitas, lahan tanpa
manusia, atmosfer murni tanpa pengaruh anthropogenic. Bali saat Nyepi dan Bali
saat hari-hari biasa--dalam perspektif pemanasan global dan gas rumah
kaca--merupakan gambaran kontras antara menghilangnya pengaruh aktivitas
manusia dan situasi yang terpengaruh oleh kegiatan anthropogenic.
Pengamatan GRK di Bali (beberapa
kota) pada saat Nyepi, dan perbandingan-nya dengan Bali pada hari-hari biasa,
akan menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap alam dan
kontribusinya pada pertumbuhan gas rumah kaca, terutama CO2. Kondisi itu oleh
BMKG telah dimanfaatkan untuk membuktikan bahwa pengamatan secara langsung pada
saat Nyepi dan bukan Nyepi. Hasilnya menunjukkan pengaruh anthropogenic pada
kenaikan konsentrasi GRK mencapai 33%.
Bukit Koto Tabang adalah noktah
kecil di Sumatra Barat (Kabupaten Agam) tepat di garis khatulistiwa. Hutan
petai yang rimbun telah menyembunyikan noktah kecil itu dari pengaruh aktivitas
manusia.
Sepi. Sunyi.
Sepi. Sunyi.
Entah wangsit apa yang menjadikan
Emil Salim (saat menjadi menteri lingkungan hidup) dan Azwar Anas (menteri
perhubungan) pada 1996 memilih Bukit Koto Tabang untuk lokasi pengamatan GRK. Pilihan
itu tidak salah, manakala pada 2007 perhatian tentang pemanasan global dan
dampaknya pada perubahan iklim semakin menjadi keniscayaan, dan perhatian dunia
dan laporan IPCC telah mengantar pada diperolehnya Hadiah Nobel.
Pertumbuhan Kota Padang dan
Bukittinggi ternyata juga tidak menjadikan Bukit Koto Tabang lokasi wisata yang
menarik. Rerimbunan pohon petai menyembunyikan silent activity para pengamat
GRK dari gerak ekonomi Bukittinggi dan Padang. Kondisi itu menjadikan Koto
Tabang merupakan lokasi ideal untuk pengukuran GRK. Lebih-lebih posisinya tepat
di khatulistiwa, sehingga Koto Tabang sangat unik.
Keputusan 1996 untuk menetapkan
Koto Tabang sebagai satu-satunya lokasi global atmospheric watch (stasiun
pemantau global/GAW) di Indonesia dan salah satu dari 29 GAW yang di dunia,
telah menarik perhatian dunia. Hasilhasil pengamatan GAW di Koto Tabang--yang
praktis secara aktif dioperasikan oleh BMKG baru sejak 2004 dan dikirimkan ke
Badan Meteorologi Dunia melalui Pusat Data Dunia untuk GRK di Jepang--ternyata
sangat diapresiasi.
Bukan hanya karena datanya sangat
akurat, tetapi juga kontinuitasnya hingga saat ini. Itu terlihat dari hasil
pengamatan konsentrasi GRK ambien di Koto Tabang di bawah hasil pengamatan GRK
di Mauna Loa, Hawaii, sejak 2004 hingga 2013. Itu menunjukkan bahwa Indonesia
memang bukan negara pemboros emisi. Namun, tidak berarti Indonesia tidak
mengalami pengaruh perubahan iklim karena perubahan iklim merupakan fenomena
global.
Peran aktif Indonesia dalam proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
diperlukan. Hal itu juga disadari bahwa Indonesia termasuk wilayah terdampak
negatif dan menderita akibat perubahan iklim.
Presiden Yudhoyono pada 2009 saat
berpidato di COP di Kopenhagen mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara
terdepan dalam menginisiasi aksi penurunan konsentrasi GRK dan menargetkan turun
26% hingga 2020 dalam kondisi business as
usual. Niat itu didukung Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim. Jika saat ini Presiden menanyakan sudah seberapa jauh niat
penurunan emisi GRK tersebut kita capai, data dari Koto Tabang dapat
menjawabnya secara faktual, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Insya Allah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar