|
Ketika Kasunanan
Solo"mengobral" gelar bangsawan kepada politikus atau siapa saja yang
mau "bayar", kita dihadapkan pada fenomena bahwa kebangsawanan adalah
pasar baru gelar. Bangsawan, sebagaimana gelar pendidikan modern, adalah fakta
kultural, betapa gelar (dianggap) segaris lurus dengan (harapan) kemapanan
ekonomi dan menaikkan digit status sosial dalam masyarakat.
Namun sudah lama,
sebetulnya, frasa "bangsawan" mengalami dilema dalam sejarah. Tidak
seperti frasa state-man yang dengan
mudah dialihbahasakan sebagai negarawan, yakni seorang yang bergelut di bidang
pemerintahan yang dengan segenap keluhuran sikapnya mengutamakan kepentingan
(warga) negaranya di atas kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri.
Negarawan adalah pelaksana mandat re-publik secara konsekuen.
Kata
"bangsa" dalam "bangsawan" tak serta-merta merujuk pada
kata nation. Bangsawan mengalami pemajalan makna dalam lingkup sosial yang
merujuk pada keistimewaan sebuah kaum. Bangsawan, dalam sejarah, adalah
sekelompok kecil kaum yang kehidupannya bersandar pada sistem feodalisme.
Sistem yang diproduksi oleh nilai-nilai pembayangan dewa-raja ini menempatkan garis darah di atas segala-galanya. Daging yang dialiri "darah biru" adalah daging utama yang kenyal dan mahal harganya. "Bangsawan" adalah tiket hidup "Very Very Important Person" yang diberi sistem feodalisme untuk meraih kemakmuran dan kemasyhuran tanpa kerja dan keringat.
Sistem yang diproduksi oleh nilai-nilai pembayangan dewa-raja ini menempatkan garis darah di atas segala-galanya. Daging yang dialiri "darah biru" adalah daging utama yang kenyal dan mahal harganya. "Bangsawan" adalah tiket hidup "Very Very Important Person" yang diberi sistem feodalisme untuk meraih kemakmuran dan kemasyhuran tanpa kerja dan keringat.
Di sinilah
ambivalensinya samudra pergerakan Indonesia. Terutama saat Malaka jatuh pada
abad ke-16 dalam sebuah serangan laut dan kapitalisme VOC berdiri di daratan
rawa-rawa Batavia. Feodalisme yang menjadi sistem nilai yang sangat kuat
seketika saja mengalami catastrophe (petaka). Gegar politik dan identitas
menghantam tembok-tembok sakral oleh kolonialisme-kapitalisme yang datang dari
negeri di atas angin.
Dilema terjadi.
"Bangsawan", yang kerja sehari-harinya hanya menumpuk lemak dan lupa
memelihara nyali, lebih memilih kompromi dan menjadi sekutu kolonial yang
memiliki serdadu kuat yang ditopang teknologi perang modern. Sementara
"bangsawan" kepala batu, yang tak menginginkan tanah dan sistem
leluhurnya diacak-acak oleh gelombang kekuatan baru yang merampas kemakmuran
wilayahnya, memilih melawan sehabis-habisnya.
Untuk mengobarkan
perlawanan semesta dengan merangkul si "darah merah", bangsawan keras
kepala ini menggeser bobot perlawanan. Spektrum kepalan tangan tak lagi
bertumpu pada semangat menyelamatkan privilese (keistimewaan) sebagai
masyarakat kelas satu, melainkan melindungi kawasan dari pendudukan asing.
Perlawanan inilah
yang kemudian memaksa pemerintah kolonial memperlunak "kebijakan"
politiknya dengan mengubah politik senjata yang bengis menjadi "politik
etis edukatif". Anak-anak lelaki bangsawan diberi hak istimewa untuk ikut
dalam "sistem pendidikan modern".
"Politik
etis" itu tak hanya memunculkan tradisi perlawanan baru dengan jalan
menulis di koran dan mobilisasi umum, tapi juga melahirkan spesies bangsawan
baru yang dengan cerdas diistilahkan Abdul Rivai sebagai "bangsawan
pemikir". Secara lahiriah, darah mereka masih "biru". Namun
pemikiran mereka "merah". Frasa "maju",
"bergerak", "bebas", "merdeka" menjadi sekian
frasa yang menggelisahkan dan menggebuk-gebuk dada.
Bangsawan pemikir
Sejarah resmi tak
mencatat bahwa kelahiran Boedi Oetomo di Yogyakarta adalah gesekan keras antara
"bangsawan oesoel" dan
"bangsawan fikiran". Kronik
yang disusun Warung Arsip menemukan bahwa dalam satu tahun pertama, yakni
Oktober 1908 hingga Oktober 1909, Boedi Oetomo disemangati ide yang mencoba
keluar dari domain sempit "Jawa untuk Jawa" semata, melainkan terbuka
untuk segala "kalangan" yang memajukan masyarakat Hindia.
Bahasa yang
disepakati BO adalah basa Melayu di antara pilihan basa Jawa, Madura, dan
Sunda, dengan pertimbangan basa inilah yang paling diterima untuk memajukan
boemipoetra. Bisa kita deretkan sejumlah "bangsawan fikiran" yang
berada di belakang "Boedi Oetomo", antara lain Tjipto Mangoenkoesoemo,
Soerjodipoetra, Soewardi Soerjodiningrat, dan Tirto Adhi Soerjo.
Namun catastrophe
terjadi pada Oktober 1909 dalam Kongres Besar 2 Yogyakarta, ketika mandat
kepemimpinan Boedi Oetomo diambil alih oleh barisan "bangsawan
oesoel" angkatan tua yang dipimpinmantan Bupati Karanganyar,Raden Adipati
Tirtokoesoemo.
Dalam Kongres BO
Yogyakarta inilah, "bangsawan fikiran" melakukan eksodus dan
membentuk barisan panjang yang kelak menjadi penghuni utama penjara-penjara
kolonial di Jawa. "Bangsawan fikiran" yang lahir dari "darah
biru" dan bertindak sebagai humanis "darah merah" (dokter-dokter
muda Stovia) ini mempropagandakan "paham baru" pada si jelata dengan
jalan jurnalistik dan mengenalkan bentuk perlawanan dengan jalan organisasi
(pergerakan).
Anomali
Anomali
"Bangsawan
fikiran" berkembang pesat di Yogyakarta, yang kemudian melahirkan sistem
pendidikan modern dan kultur pergerakan. Dari rahim Pakualaman, misalnya, si
"raja boikot" Soerjopranoto dan jurnalis radikal cum pendidik
nasional Soewardi menabalkan diri sebagai motor pergerakan radikal yang lahir
dari rahim bangsawan. Adapun figur HB IX adalah contoh paripurna bagaimana
meletakkan kebangsawanan dalam konteks negara-bangsa, dalam spektrum republik.
Sementara Solo adalah
anomali "bangsawan oesoel"
yang terlestarikan hingga kini. Berbeda dengan Yogya yang menyebut diri sebagai
"Kota Revolusi", Kasunanan
Solo-dan juga Kesultanan Deli-menjadi sasaran letusan "Revolusi
Sosial" 1946 di mana "revolusi" menyeret bangsawan-bangsawan
sekutu Belanda itu ke dalam "pengadilan Rakyat".
Sekira 27 tahun
sebelum Revolusi Sosial 1946, bangsawan-bangsawan Solo ini seperti sudah
"ditakdirkan" dimangsa "zaman baru" karena lambat
menempatkan pada posisi yang tepat. Pada 1919 di Volksraad, dr Tjipto dengan keras menyerukan agar Sunan Pakubuwana
dan Pangeran Mangkunegara di Surakarta dipensiunkan saja.
Dari Solo, kita
mengaca bagaimana mental politik bangsawan bekerja. Selain menjadi pasar induk
pengobral gelar bagi mereka yang haus hormat dengan jalan instan, mental
politik kebangsawanan di Solo menjadi mental umum di masa kiwari ini bahwa
gelar lebih penting ketimbang kecakapan yang ditimba dari pengalaman panjang
menganyam kimiawi politik dalam pikiran dan tindakan.
Kita sebut saja mereka adalah daging-daging yang lahir salah zaman. Tapi yang lebih sial adalah ketika kita semua memberi pemakluman dan membangunkan panggung-pentas atas "bangsawan malaise" itu untuk berkuasa dan memerintah. ●
Kita sebut saja mereka adalah daging-daging yang lahir salah zaman. Tapi yang lebih sial adalah ketika kita semua memberi pemakluman dan membangunkan panggung-pentas atas "bangsawan malaise" itu untuk berkuasa dan memerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar