|
Oh dikau
beringin
Rindang
batangmu membentang
Tempat yang
teduh bagi kelana dahaga
Pohon
beringin
Dikau
lambang pengayoman
damai
tenteram dan bahagia
berkat kau
perkasa
(”Pohon Beringin” ciptaan Suwandi)
Pohon beringin
dikenal dengan ”pohon berjalan” atau ”pohon berkaki banyak”. Ia dijuluki ”pohon
berjalan” karena suka merambah ke mana-mana seperti politisi yang gemar
berbisnis atau pebisnis yang suka berpolitik. Ia disebut ”pohon berkaki banyak”
karena kaki kekuasaannya di mana-mana, membuat jorok dan sumpek wilayah
sekitarnya.
Barisan
beringin sebenarnya jadi hiasan yang menyejukkan mata. Kalau akar-akarnya
menggelantung panjang ke bawah, politisi yang kekanak- kanakan senang karena
bisa main ayunan sembari teriak-teriak bak Tarzan.
Di India,
beringin sangat dihormati sebagai makhluk pelindung manusia. Di Jakarta,
beringin bertumbangan dari tahun ke tahun.
Kedutaan Besar
Inggris tak menghargai beringin yang ditebang habis meski belum mati. Rupanya
partai politik berlambang beringin sudah tak punya teman dan tidak dihargai
lagi.
Beringin itu
indah dan spesial seperti martabak. Ia tumbuh dari benih-benih yang disemai
burung-burung di pohon-pohon palem yang cepat tumbuh tinggi. Namun, begitu jadi
besar, palem-palem itu disingkirkan persis seperti benih-benih Orde Baru
menendang Bung Karno.
Cabang-cabang
kekuasaan beringin cepat turun dan menancap di tanah membuat anakan- anakan di
sekitar induk pohon. Oleh sebab itu, dulu ada anakan-anakan ABRI, birokrasi,
wartawan, dan dari 1.001 anakan lainnya.
Berkat jasa
anakan itu beringin mengambil wilayah kekuasaan yang luasnya lebih dari
lapangan sepak bola. Di Sri Lanka, ada beringin dengan jumlah anakan yang
mencapai 350 anakan besar dan 3.000 anakan kecil.
Di Indonesia,
anakan-anakan Orde Baru yang nemplok di beringin tak kalah banyak. Di
beringin bukan cuma ada dewan pinisepuh, melainkan dewan eyang kakung, dewan
eyang putri, dewan ndoro putri, dewan den bagus, dan dewan cucu.
Kalau beringin
berbuah, banyak burung berbagai jenis, seperti bulbul dan kakaktua, mampir
mencicipi kelezatannya. Suasana jadi meriah dan berisik seperti musyawarah Orde
Baru. Semua burung mampir pakai batik keren, wangi, menganggukkan kepala tanda
setuju soal apa saja.
Anda jangan
coba-coba dekat-dekat ke beringin dan memakan buahnya karena bisa mati!
Manusia-manusia yang aktif menentang beringin dikategorikan ekstrem kanan atau
ekstrem kiri, seperti Petisi 50 atau mahasiswa angkatan Malari.
Paling enak
berteduh di bawah beringin. Anakan-anakan bertebaran ke mana-mana membentuk
lubang-lubang menganga yang adem dan sejuk. Makanya, di lubang-lubang itu ada
koruptor, ketua yayasan, kelompencapir, fungsionaris, pebisnis, Pancasilais,
burung hantu, manusia Indonesia seutuhnya, dan lain-lain.
Di India, beringin
pasti ditanam di tiap desa karena dipercaya sebagai pohon suci. Pedagang,
pengacara, calo, terdakwa, tukang cukur, jenderal, tukang ramal, sampai aktivis
biasanya buka praktik di bawah pohon. Semua merasa layak terpilih jadi presiden
di bawah pohon.
Di berbagai
tempat di Indonesia, beringin dianggap angker sehingga pengendara mesti
menyalakan klakson. Waktu kecil saya takut main di bawah beringin halaman
Istana Paku Alam di Yogyakarta karena menyebarkan aura seram lengkap dengan
aroma asap rokok kelobot.
Sayang,
pohon-pohon beringin tak ditebang habis sampai ke akar-akarnya. Perlahan-lahan,
tahap demi tahap, dan sembunyi-sembunyi, banyak warga tak kapok karena tetap
menanam pohon beringin di halaman.
Kita kalah sama
pemerintahan China. Pada masa Revolusi Kebudayaan, Mao Zedong menghancurkan
beringin di semua kebun raya milik negara karena dianggap ”feodal dan borjuis”.
Akibat tak
ditebang habis, beringin itu kembali tumbuh jadi besar. Tiba-tiba banyak orang
yang merasa punya tempat berteduh lagi.
Jangan marah,
beringin itu maksudnya ya Partai Golkar. Suka atau tidak, Golkar masih dan
tetap akan kuat sampai Pilpres-Pemilu 2014.
Sejak memangku
jabatan Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie (ARB) telah bertekad mengikuti
Pilpres 2014. Untuk itu ia tak bergabung lagi sebagai menteri kabinet
SBY-Boediono.
ARB melanjutkan
warisan Jusuf Kalla (JK), ketua umum yang nyapres. Seperti JK, salah satu
tugas berat ARB membasmi faksionalisasi internal yang tidak akan pernah sehat.
Golkar masih
belum menempatkan politik yang menempatkan keutamaan/kebajikan (virtues)
sebagai prinsip. Padahal, Golkar partai modern terbesar dengan pemilih
rasional.
Kekalahan
Golkar dan Jusuf Kalla bukan gambaran sesungguhnya karena pelaksanaan
Pemilu/Pilpres 2009 amburadul karena daftar pemilih tetap.
ARB bertipe solidarity
maker, sosok yang dibutuhkan yang tak banyak beda dengan Jusuf Kalla atau
Akbar Tandjung. Ia pragmatis karena berlatar belakang saudagar yang tak mau
lelah memahami nuansa politik canggih dan njelimet.
Jangan lupa,
ARB salah satu dari segelintir orang yang ditawari jabatan wakil presiden oleh
SBY tahun 2009. Bahkan, tawaran untuk ARB datang sebelum kepada Boediono.
Golkar tetap
beringin yang mengayomi berbagai kepentingan. Sejarah memperlihatkan, Golkar
mampu mengelola konflik untuk menjadi konsensus baru.
Politik selalu
cari dan 2 x 2 belum tentu sama dengan 4. Konsensus baru itu bisa saja
menampung aspirasi penetapan cawapres, bukan mengubah capres ARB yang pasti
akan membuat guncangan besar yang tidak perlu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar