|
Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta, sudah resmi beroperasi
sejak awal September lalu. Diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo (Jokowi), Blok G menandai era baru Pasar Tanah Abang. Rentetan konflik
yang terjadi sejak konflik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Haji Lulung, hingga
penolakan pedagang kaki lima (PKL) untuk pindah ke Blok G, semuanya berakhir
dengan indah. Para PKL bersedia berpindah ke Blok G dan akan menempati 900
lebih kios yang sudah disediakan. Lantas, apa hikmah yang dapat kita petik dari
kasus Blok G Pasar Tanah Abang? Dari sudut pandang kebijakan maupun pelayanan
publik, ada pelajaran berarti yang dapat kita petik sebagai bekal untuk
perbaikan ke depannya. Ini dapat dilihat dari dua sisi baik Pemerintah Provinsi
DKI maupun para pemangku kepentingan (stakeholder)
terkait.
Pelajaran pertama yang sangat berharga adalah kesiapan
seorang pejabat untuk tidak populis dan menjadi musuh sebagian rakyat.
Keputusan merelokasi PKL pasti akan menimbulkan resistansi. Keberhasilan
relokasi PKL di Jakarta akan menjadi barometer bagi daerah lain. Terbukti
setelah itu, beberapa pemda gencar melakukan relokasi PKL. Kesiapan untuk
menjadi tidak populis tentunya sudah dipertimbangkan secara matang oleh duet
Jokowi-Ahok.
Acungan jempol juga mesti kita berikan kepada sang wakil,
yakni Ahok. Sederhana saja, di era sekarang ini kita butuh figur birokrat tahan
banting seperti Ahok. Dicaci, dimaki, dan didemo sudah menjadi santapan Ahok.
Terlepas dari sisi negatif Ahok yang berapi-api dan terkadang lepas kontrol, sebuah
kebijakan publik harus siap menuai badai ketika dianggap tidak populis.
Kebijakan Pemprov DKI untuk menggusur para PKL ke Blok G pasti dianggap tidak
populis oleh para pedagang. Tetapi, di sisi lain, oleh masyarakat umum pengguna
jalan, kebijakan itu sangatlah populis.
Menjadi seorang birokrat tahan banting tentulah butuh nyali
besar. Apalagi bagi seorang Ahok yang notabene bukan orang asli Jakarta. Justru
di situlah keuntungan Ahok. Dia tidak punya rasa sungkan, karena tidak punya
banyak sanak saudara di Jakarta. Untuk punya mentalitas seperti Ahok, memang
butuh proses. Sebelumnya, dia sudah teruji ketika menjabat Bupati Belitung
Timur di Provinsi Babel. Karakter masyarakat Pulau Belitung yang keras membuat
dia tidak kaget lagi menghadapi reaksi masyarakat Jakarta yang menentang
berbagai kebijakan Pemprov DKI.
Di sinilah keuntungan duet Jokowi-Ahok. Sifat Jokowi yang
kalem dan dulu terkenal dengan kisah suksesnya merelokasi para PKL di
Banjarsari, Solo, ke tempat lain, dipadukan dengan sifat keras Ahok. Banyak
pihak sempat berharap Jokowi-lah yang maju melakukan pendekatan terhadap para
PKL Tanah Abang seperti ketika di Solo. Konon waktu memindahkan PKL di
Banjarsari Solo, Jokowi melakukan cara persuasif dengan mengajak para ketua
paguyuban PKL makan sebanyak 40 kali lebih selama hampir 6 bulan. Barulah
kemudian Jokowi mengutarakan niatnya merelokasi PKL. Hal ini tidak terlihat
dalam kasus Tanah Abang. Jokowi lebih banyak berada di belakang layar, meskipun
sempat tiga kali datang ke Tanah Abang. Sedangkan Ahok, meskipun bersuara lebih
kencang, malah tidak berani datang ke Tanah Abang. Apakah itu karena Ahok
pengecut? Pastinya tidak, karena seorang pejabat publik harus berani menghadapi
semua konsekuensi dari kebijakan yang dikeluarkannya. Dye (1995) mengatakan
bahwa, dalam sebuah kebijakan publik, salah satu aspeknya adalah adanya hasil
yang membuat sebuah kehidupan bersama menjadi tampil berbeda.
Dalam kasus Tanah Abang, masalah proses tidak lagi menjadi
penting, apakah bintangnya Jokowi atau Ahok. Yang lebih penting adalah output
di mana kawasan Pasar Tanah Abang menjadi berbeda dibanding sebelumnya. Nyaman,
rapi, dan bebas macet. Tinggal nantinya promosi terhadap Blok G harus terus
dilakukan seperti janji pemprov. Jika tidak, para PKL akan kembali lagi
berdagang di jalan, karena lebih menjanjikan dari segi omzet.
Di era otonomi daerah saat ini, semua pemerintah daerah harus
berani membuat terobosan kebijakan. Inovasi kebijakan yang dibuat sebisa
mungkin populis dan tidak menyengsarakan rakyat. Dalam kasus Tanah Abang, tidak
semua kebijakan akan terasa adil bagi semua pihak. Tapi yang namanya kebijakan
tetap harus diambil oleh Pemprov DKI. Kalau tidak ada keberanian mengambil
kebijakan yang tidak populis, Jakarta tidak akan berubah ke arah lebih baik.
Stagnasi pasti terjadi. Didemo dan dihujat rakyat adalah risiko yang memang
harus ditanggung para penyelenggara negara, termasuk Ahok maupun Jokowi. Itu
adalah konsekuensi jabatan. Yang perlu dilakukan adalah sikap konsisten para
pejabat publik terhadap sebuah kebijakan. Konsistensi diperlukan agar kebijakan
tidak setengah-setengah dan tidak terlalu sering dievaluasi. Dengan sendirinya,
profesionalisme birokrasi juga akan tercipta.
Satu hal yang menjadi pelajaran ke depan bagi duet Jokowi-Ahok
adalah masalah sosialisasi kebijakan, dan persiapan infrastruktur. Pada kasus
Blok G, seharusnya sosialisasi dilakukan jauh-jauh hari, dan diiringi persiapan
tempat relokasi. Ketika sosialisasi kebijakan dilaksanakan, Blok G sendiri
belum dibenahi. Kios-kios belum siap ditempati ketika kebijakan relokasi sudah
telanjur diumumkan. Seharusnya dibalik, tempat baru sudah siap 100 persen,
barulah perlahan-lahan sosialisasi kebijakan dilaksanakan. Bahkan jika nantinya
setelah masa sewa gratis 6 bulan berakhir dan Blok G masih belum ramai
dikunjungi pembeli, perlu dibuat evaluasi. Apakah promosi yang kurang atau ada
faktor lain. Bila perlu, masa sewa gratis diperpanjang lagi.
Meminjam strategi learning process approach dari Korten,
terdapat pemberian batas toleransi yang cukup besar bagi birokrasi untuk
berbuat kesalahan dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme.
Kesalahan yang diperbuat para birokrat, misalnya dalam menelurkan dan
mengimplementasikan sebuah kebijakan publik, menjadi sebuah input untuk
memperbaiki diri. Melalui kesalahan tersebut, birokrat akan belajar untuk
bekerja lebih efektif, kemudian melangkah menuju bekerja efisien, dan pada
akhirnya belajar untuk berkembang. Berkaca dari hal tersebut, prinsip trial and
error tampaknya bukan hal yang tabu bagi pelaksanaan sebuah kebijakan. Begitu
juga nantinya dalam kasus PKL Tanah Abang. Jika nanti ada yang perlu
dievaluasi, Jokowi dan Ahok tak usah sungkan dan malu memperbaikinya. Waktu
akan melihat apakah Ahok masih akan menjadi sosok yang tahan banting di DKI,
dan apakah Jokowi tetap kalem menangani segudang permasalahan di Ibu Kota. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar