|
Pernah
berada dalam rapat keluarga mendiskusikan calon istri/suami seorang anggota
keluarga? Belum lama ini saya mengalaminya. Seorang adik saya ingin kawin.
Diskusi pun bergerak, mulai dari usianya berapa, lulusan dari mana,
pekerjaannya apa, siapa orang tuanya, kakak-adiknya, dan sebagainya.
Maklum,
di keluarga besar saya, perkara kawin bukan sekadar peristiwa perjanjian dua
insan dimabuk cinta. Ada banyak pertimbangan di sana-sini, meski tentulah
diputuskan subyek yang bersangkutan langsung. Saya menduga, rapat serupa juga
berlangsung di keluarga kekasih adik saya.
Rapat
begini bukan pertama kali keluarga saya lakukan. Karena saya dan adik-adik saya
empat bersaudara, setidaknya diskusi tema kawin terjadi empat kali (minimal).
Tentu saja saya tak hendak membocorkan keputusan rapat keluarga di tulisan ini.
Apalagi “perdebatan” di dalamnya, yang adalah lazim dalam memutus perkara
penting (terutama bagi yang hendak kawin).
Namun,
ada hal yang menarik dalam rapat keluarga kali ini. Heboh “vickynisasi” sehabis
pesta megah pertunangan seorang penyanyi dangdut terkenal negeri ini dengan
seorang laki-laki mengaku bernama Vicky, ikut terangkat. Terang saja sebagian
besar kami tertawa, bahkan ada yang terbahak-bahak.
Media
tengah menyajikan “vickynisasi” sebagai sosok laki-laki “berbungkus” polesan
sana sini, balutan jas mahal, gaya bahasa berlagak cendekiawan, celetukan
bahasa Inggris ngawur diselip asal-asalan, yang dahsyatnya terbukti berhasil
memukau sebagian orang. “Isi”nya bukan cuma ruwet, bahkan mungkin bisa
dikatakan tanpa ”isi”.
Ayah
saya yang adalah pensiunan pegawai negeri sipil, spontan menambahkan cerita
banyaknya “bungkus” yang menipu. Tersebutkanlah sederet nama politisi negeri
yang "berbungkus” ketampanan, kecantikan, tutur kata lembut, sikap nan
santun, hingga kemahiran berkilah dan berkelit dalam silang argumen membongkar
carut-marut masalah negeri.
Sampai-sampai
urusan angin segar “konvensi” salah satu partai politik untuk menentukan calon
presiden 2014 ikut dibawa-bawa. Ayah berseloroh, kalau dulu “membeli kucing
dalam karung”, sekarang kucing-kucingnya bukan cuma keluar karung, tetapi
berlenggak-lenggok di panggung catwalk dengan segala asesorinya. Wah, tantangan
sekarang jauh lebih besar.
Untunglah
keluarga saya bisa menikmati rapat kali ini tanpa merasa arah pembicaraan sudah
melenceng entah kemana. Sebab memang soal “bungkus” dan “isi” sangatlah penting
terutama di zaman yang konon segala hal serbamungkin.
Setelah
saya renungkan, diskusi “bungkus” dan “isi” tidak cuma mencuat dalam diskusi
internal keluarga saya.
Siapa
pun bisa bicara perkara “bungkus” dan “isi”. Kita tahu mereka yang duduk di
parlemen tak sedikit berbungkus ketenaran sebagai selebriti tanpa kualitas
mumpuni. Mereka yang diseret ke meja hijau terbukti berbungkus lulusan
perguruan tinggi ternama. Sikap santun, tutur sopan, jago bicara agama dan
moral (sempit), tidak jaminan “isi”nya berbanding lurus.
Jelang
2014, paras rupawan, status sosial, titel pendidikan, kerabat pejabat atau
penguasa, ketangkasan berorasi, kemampuan berbahasa Inggris, bahkan cara
berdiri dan berjalan di podium akan semakin menghiasi berbagai dimensi
kehidupan berbangsa.
Bersiaplah
bertemu “bungkus-bungkus” ini, tidak hanya di panggung bernama “politik”,
tetapi di semua lini, mulai dari menjenguk anak artis yang sakit, kuliah umum,
hadir di pemutaran perdana film, peresmian pabrik, doa bersama, hingga
pelantikan pejabat. Di mana titik kerumunan, di situlah “bungkus-bungkus” ini
akan hadir.
Bisa
jadi bangsa ini kini berada di mana kebanyakan dari kita lebih peduli “bungkus”
daripada “isi”, mementingkan kemasan daripada muatan, terpukau tampang luar
daripada isi kepala dan hati.
Para
ibu lebih suka memamerkan nilai yang tertera di rapor anaknya, tanpa
memedulikan bagaimana si anak meraih nilai tersebut. Para suami lebih menikmati
kesopanan basa-basi sang istri daripada kejujuran dan kemurnian hati. Jika ini
yang terjadi, kita benar-benar mesti waspada.
Mendasarkan
keputusan hanya pada “bungkus” -apalagi untuk sesuatu bukan sekadar “jual beli
produk”- bisa mengantar kita pada kesalahan fatal.
Berlarut-larut
pada kemasan akan menumpulkan akal sehat dan jernih nurani kita. Membiarkan
diri kita tenggelam di gemerlap “bungkus”, tanpa berupaya lebih mengupas “isi”
akan berakibat kesia-siaan. Itu mengapa, sesulit apa pun, tetap dan terus
menggali “isi” adalah hal yang teramat penting. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar