|
Pendidikan sebagai fondasi utama mencerdaskan kehidupan
bangsa semakin mendapat tantangan, tidak hanya dari luar negeri tetapi
ironisnya tantangan besar berasal dari dalam negeri sendiri. Bahkan, andai
dianalisa dengan seksama pendidikan tidak lagi menjadi kebutuhan sekunder,
melainkan kebutuhan primer bagi setiap individu. Namun, negara seperti semakin
jauh dari tanggungjawab pendidikan jika mengacu pada konstitusi meskipun
sebenarnya tidak seperti itu.
Negara kita telah menjanjikan bahwa pendidikan merupakan
hak dasar setiap warga. Kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan rakyat
diatur dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pemerintah tidak punya alasan
untuk mengabaikan hak setiap warga negara mendapatkan layanan pendidikan.
Namun yang terjadi sekarang adalah, masih banyak masyarakat
yang termarjinalkan dengan pendidikan. Bagi masyarakat tertentu sangat asing
baginya arti pendidikan bagi kehidupannya. Padahal, sekarang ini sudah saatnya
pendidikan menjadi kebutuhan pokok sebagai pelengkap hidup.
Ironis memang. Siapa yang disalahkan dalam hal ini tentunya
menjadi hipotesa besar. Tujuan dibentuknya UUD 1945 tidak lain untuk melindungi
semua warga Indonesia serta menjadikannya adil, makmur dan sentosa. Terlebih
akan mencerdaskan seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang gender, suku
dan strata.
Sekarang 68 tahun Indonesia telah merdeka. Dan, UUD
tersebut jutaan kali dipelajari. Tetapi, pemerataan kecerdasan masih terasa
sangat lambat. Bahkan, tidak ada peningkatan untuk menjadikan masyarakat
Indonesia bisa jauh dari kebodohan. Karena kurang adanya perhatian serius dan
kesadaran penuh terhadap pendidikan masyarakat.
Meskipun ada, pendidikan malah rentan disalahgunakan. Tidak
sedikit formalitas pendidikan dijadikan sarana sebagai lahan bisnis semata.
Mereka yang memiliki modal dengan berani mendirikan lembaga pendidikan sebagai
ladang meraup profit atau keuntungan yang besar. Sehingga hak masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan masih terkotakkan. Mereka yang tidak mampu membayar
mahal tidak bisa duduk di bangku sekolah. Karena, sekolah yang harus ditebus
dengan biaya tinggi (high cost). Hal
itu bisa dikonsepsikan bahwa lembaga sekolah sekarang bagaikan komoditi.
Semakin mahalnya pendidikan di negeri ini membuat orang
sangat gampang berpikir pragmatis untuk jauh dari pendidikan. Maka peran bijak
pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan. Untuk itu, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan harus lebih selektif memberikan penilaian terhadap lembaga pendidikan
yang bertebaran di tengah masyarakat. Terlebih dalam urusan biaya yang menjadi
problem besar bagi siapa yang ingin menempuh pendidikan.
Inilah salah satu tugas nasional kita, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sampai sekarang, negara kita belum sanggup mewujudkannya.
Sekitar 9 juta rakyat Indonesia masih buta huruf. Di daerah pedalaman, seperti
diakui Kementerian Pembangunan Daerah tertinggal (PDT), angka melek huruf masih
rata-rata 26 persen.
Begitu pula sangat rendahnya kemampuan rakyat Indonesia mengakses
pendidikan. Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70 persen. Sedangkan
APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60 persen. Mengacu pada data Kemendiknas,
dari 3,7 juta lulusan SMP, yang melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta.
Artinya, ada 1,5 juta lulusan SMP yang sudah tidak mampu lagi menikmati
pendidikan.
Dengan mengacu pada fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa
negara masih gagal menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ironisnya, negara gagal bukan karena keterbatasan sumber daya, melainkan karena
negara sendiri mengadopsi berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan
nasional.
Pertama, cara pandang negara, dalam hal ini pemerintahan
berkuasa, dalam soal pendidikan sudah bergeser dari cita-cita proklamasi.
Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa,
melainkan sebagai mediun untuk akumulasi keuntungan (profit).
Ini sudah menjadi realitas dalam pendidikan nasional kita
saat ini. Para pengusaha berlomba-lomba menanamkan modalnya dalam "bisnis
pendidikan". Biaya pendidikan pun melambung tinggi, khususnya di perguruan
tinggi. Akibatnya, banyak rakyat Indonesia tidak bisa mengakses pendidikan.
Oleh karena itu, semakin kentara tidak
adanya peran serius dari pemerintah dalam meningkatkan SDM masyarakat
Indonesia. Jika demikian yang terjadi, Indonesia akan abadi menjadi negara yang
terbelakang meskipun hanya disandingkan dengan negara-negara ASEAN. Artinya,
Indonesia tidak akan pernah mampu melawan SDM negara tetangga, seperti
Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Hal ini seharusnya menjadi bola panas
bagi pemerintah untuk mempertegas peran pendidikan yang menjadi pantauannya.
Selangkah lebih maju adalah slogan untuk membuktikan bahwa falsafah UUD 45 yang
diwariskan pada kita adalah benar. Dan, merealisasikannya bahwa Indonesia
sangat mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk itu, kunci utama adalah
memberikan sinergi pada masyarakat bahwa pendidikan itu sangat penting.
Kemudian, menghapus adanya komersialisasi pendidikan.
Langkah seperti ini semestinya menjadi perhatian serius oleh pemerintah demi
mewujudkan kesetiaannya dalam mengakomodasi pendidikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar