|
“Rekonsiliasi dengan jalur kebudayaan lebih
memunculkan simpati dan mengobati luka daripada jalur politik”
SEPTEMBER
selalu mengingatkan kita tentang peristiwa sejarah yang menjadi tonggak
perjalanan bangsa pascakemerdekaan. Peristiwa September 1965 merupakan memori
yang sampai saat ini masih gelap: hitam pekat, berkabut, dan tak pernah jelas.
Catatan sejarah tentang peristiwa itu menjadi catatan sumir yang selalu
mengundang perdebatan, menjadi tabir sejarah politik Indonesia. Peristiwa itu
menjadi perkara sensitif tentang kejahatan kemanusiaan, yang selalu mengusik
pro-kontra dalam forum ilmiah, buku, maupun debat politik (Mortimer, 2006; Mc Vey, 2006).
Ingatan
tentang peristiwa September 65 menjadi momok bagi masa depan Indonesia. Untuk
mencari terang atas tragedi ini, diupayakan strategi rekonsiliasi untuk
menggandeng kembali pihak ahli waris, keturunan, dan pengikut pihak-pihak yang
menjadi ìkorbanî ataupun yang dianggap sebagai pelaku.
Meski
silang pendapat subjektif antara pelaku dan korban demikian kabur, yang pasti
peristiwa ini melihatkan agresi politik, pertaruhan militer, ideologi massa
hingga kepentingan ormas. Pewaris pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI)
sampai saat ini memiliki beban politik berat, bahkan ketika rezim Orde Baru
sudah tumbang.
Lalu,
bagaimana merefleksikan peristiwa September 1965 pada masa kini? Gagasan
rekonsiliasi memang menjadi bagian penting dalam diskursus Indonesia masa kini
dan masa depan. Subjek pelaku-korban antara: militer, pengurus PKI, NU dan
ormas-ormas lain, serta orang-orang Tionghoa seolah-olah berada dalam pusaran
kebisuan politik.
Mengungkit
peristiwa kelam September 1965 adalah membuka luka sejarah. Tetapi jika tanpa
membuka luka ini, bangsa ini terus saja mengalami kegelapan sejarah tanpa
akhir. Untuk itu, gagasan rekonsiliasi menjadi diskursus penting dalam sejarah
Indonesia masa kini dan masa depan.
Gagasan
rekonsiliasi menjadi strategi politik yang bergema setelah 1998. Tumbangnya
rezim Soeharto membuka pikiran beberapa pihak tentang pentingnya menjabat
tangan antarkelompok: lintas etnis, ideologi, agama hingga hasrat politik.
Gagasan rekonsiliasi muncul kembali pada upaya Panitia 17 untuk mengganti nama Jalan
Merdeka (Utara, Selatan, Barat dan Timur) di Jakarta menjadi nama-nama tokoh
politik yang berjasa dalam pertumbuhan Ibu Kota: Soekarno, Hatta, Soeharto, dan
Ali Sadikin.
Perdebatan
pun muncul menanggapi upaya Panitia 17 mengganti nama Jalan Merdeka, dengan
kemunculan sosok Soeharto sebagai salah satu simbol politik. Pihak yang
menentang keras pergantian nama Jalan, mendasarkan argumentasi pada pentingnya
nama ”Merdeka” sebagai simbol perjuangan bangsa, sebab merdeka hanya sekali
dalam sejarah negeri ini. Adapun nama Soeharto hanya memunculkan sentimen
politik, yang dikhawatirkan menjadi pembajakan sejarah dan test case terhadap
citra Bapak Pembangunan dalam memori kolektif warga negeri ini.
Menyegarkan Sejarah
Sebaliknya,
pihak yang setuju dengan penetapan nama Soeharto memunculkan argumentasi bahwa
sudah saatnya rekonsiliasi nasional dilakukan, dengan menghapus mimpi buruk,
lalu menebar optimisme masa depan. Tulisan ini tidak sepenuhnya mengelaborasi
perdebatan tentang pergantian nama jalan, namun lebih menitikberatkan pada
diskursus rekonsilasi dalam sejarah kolektif serta pengaruhnya pada identitas
politik Indonesia.
Gagasan
rekonsiliasi perlu dilihat dalam dua hal: Pertama; sebagai peristiwa politik
dalam sejarah Indonesia. Melihat gagasan rekonsiliasi sebagai peristiwa
politik, perlu membaca motif dan pergerakan elite-elite yang berkepentingan
dengan ide ini. Jika mengupayakan rekonsiliasi hanya sebagai jembatan untuk
menghapus kesalahan politik-militer tokoh tertentu, dan upaya memuluskan
prasyarat sebagai pahlawan nasional, tentu hal ini mengandung kepentingan
politik yang perlu dikritisi.
Memang,
di kalangan arus bawah, telah terjadi upaya untuk mengingat kembali jasa-jasa
mantan presiden Soeharto, yang dianggap berhasil mewujudkan negara gemah ripah
loh jinawi dan mudah mendapat akses pekerjaan. Akan tetapi, pembungkaman
kebebasan politik dan penyumbatan gagasan lewat media massa juga perlu
dipertimbangkan.
Kedua;
rekonsiliasi kebudayaan. Gagasan rekonsiliasi kebudayaan ini menjadi jalan
alternatif yang masuk akal untuk merawat harmoni Indonesia masa kini dan
mendatang. Kerja rekonsiliasi kebudayaan dilakukan oleh aktivis muda NU yang
tergabung di LSM Syarikat, yang dikomando Imam Aziz. Selain itu, jejaring
silaturahmi anak bangsa yang digagas Guruh Soekarnoputra juga menjadi
rekonsiliasi budaya yang penting: mempertemukan anak-anak para tokoh
kemerdekaan lintas ideologi dan agama.
Rekonsiliasi
budaya menjadi bagian penting upaya mencipta harmoni dan mengukuhkan dialog
untuk mencari hikmah dalam sejarah politik Indonesia. Rekonsiliasi dengan jalur
kebudayaan lebih memunculkan simpati dan mengobati luka bangsa, daripada jalur
politik. Strategi rekonsiliasi politik, meski berdampak drastis dalam arus
politik Indonesia, rawan untuk dibajak sebagai kepentingan politik. Tentu,
rekonsiliasi sebagai modus kepentingan politik akan menjadi tragedi tersendiri.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar