|
DI
tengah keterpurukan nilai tukar rupiah, World
Economic Forum (WEF) dalam laporan tahun 2013-2014 menempatkan daya saing
Indonesia pada urutan ke-38, naik dari urutan ke-50 tahun sebelumnya. Walau
masih jauh di bawah Singapura dengan urutan ke-2, Malaysia ke-24, dan Brunei
Darussalam ke-26, dan hampir sama dengan Thailand pada urutan ke-37, kita masih
mengungguli beberapa negara ASEAN.
Filipina
pada urutan ke-59, Vietnam ke-70, dan Laos, Kamboja, dan Myanmar masing-masing
pada urutan ke-80, ke-88 dan ke-139. Dibanding China dan India; dua raksasa
Asia yang sedang tumbuh, Indonesia berada di antaranya. China pada urutan
ke-29 dan India pada urutan ke-60.
Lompatan
kenaikan posisi itu tentu memberi harapan besar karena dunia
internasional akan melihat Indonesia dalam proses menuju ekonomi yang lebih
kompetitif untuk investor. Sekaligus menumbuhkan optimisme dan prospek yang
makin baik. Kenaikan itu juga menunjukkan pilar-pilar penyangga daya
saing Indonesia makin kokoh.
World
Economic Forum menggunakan tiga faktor untuk mengukur daya saing. Pertama;
faktor fundamental meliputi 4 pilar, yaitu kelembagaan, infrastruktur,
lingkungan makroekonomi, serta kesehatan dasar dan pendidikan dasar. Faktor
fundamental naik ke posisi ke-45 dari sebelumnya ke-58. Kedua; faktor pendorong
efisiensi meliputi 6 pilar, yaitu pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi
pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan,
kesiapan teknologi dan skala pasar. Faktor ini naik rangking dari ke-58 tahun
2012-2013 menjadi ke-52 tahun 2013-2014.
Ketiga;
faktor inovasi yang meliputi 2 pilar yakni sopistikasi bisinis dan inovasi.
Faktor ini juga mengalami kenaikan dari posisi ke-40 menjadi ke-33. Kenaikan
peringkat daya saing karena ada perbaikan dalam unsur-unsur pilar pada tiga
faktor tersebut. Di antara 12 pilar tersebut, yang tergolong bagus untuk
Indonesia adalah pilar skala pasar dan lingkungan makroekonomi.
Namun
sumbangan paling menonjol terhadap kenaikan tersebut justru dari pilar
infrastruktur, yang naik dari posisi ke-78 menjadi ke-61. Tampaknya upaya
pemerintah melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) untuk memacu pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan
infrastruktur sudah sedikit membuahkan hasil.
Di
samping menumbuhkan optimisme, laporan WEF juga memberi ”catatan hitam” untuk
Indonesia, khususnya terkait faktor fundamental pilar kelembagaan. Catatan ini
terungkap dari problem utama yang dihadapi dunia bisnis. Lima persoalan utama
yang dihadapi pelaku bisnis adalah korupsi (19,3%), birokrasi pemerintahan yang
tak efisien (15%), kurangnya infrastruktur (9,1%), akses mendapatkan modal
(6,9%), dan peraturan ketenagakerjaan yang restriktif (6,3%). Empat dari lima
masalah utama itu, kecuali infrastruktur, adalah masalah-masalah faktor
kelembagaan.
Tidak Efisien
Kualitas
kelembagaan yang buruk, khususnya birokrasi yang tidak efisien dan korup
menjadi hambatan
terbesar peningkatan daya saing. Tidak mengherankan jika WEF
menempatkan Indonesia pada urutan ke-106 terkait unsur penyuapan dan
pungutan liar dalam perhitungan daya saing. Pengusaha pun menempatkan korupsi
sebagai problem utama mereka.
Hal
ini selaras dengan laporan Transparency
International 2013 yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
terkorup. Indonesia berada pada urutan ke-118 dari 175 negara dengan
nilai 32 dari total skor 100. WEF juga memberi catatan buruk pada unsur
ketidakpercayaan kepada politikus, penyimpangan penggunaan uang negara, dan
pemborosan uang negara, yang ketiganya bermuara pada perilaku birokrasi yang
tidak efisien.
Faktor
kelembagaan bukan hanya terkait dengan institusi, termasuk birokrasi,
melainkan juga rule atau peraturan.
Di sinilah sering muncul istilah ketidakpastian hukum.
Tentu
persoalannya bukan tiadanya aturan hukum melainkan ketaatan dan kepastian
terhadap pelaksanaan peraturan. Ketidaktaatan terhadap aturan itu pula yang
kemudian bermuara pada pungli dan penyuapan.
Dalam
hal memulai bisnis misalnya, sebagaimana laporan Bank Dunia 2013, dibutuhkan
waktu rata-rata 47 hari. Ketika hal itu kita tanyakan kepada para pelaku
bisnis, rata-rata mereka mengatakan lebih lama dari itu.
Kebijakan
pelayanan izin satu atap, yang dikenal dengan one stop service (OSS), masih banyak dikeluhkan pengusaha karena
berbagai izin masih ditangani SKPD teknis nonperizinan. Fakta tersebut
memperkuat anggapan bahwa betapa faktor kelembagaan begitu menempati posisi
sangat penting dalam memperbaiki daya saing Indonesia.
Sudah
banyak survei daya saing dilakukan, baik oleh lembaga international seperti WEF
maupun lembaga lain, termasuk Survei Daya Saing Daerah (SDSD) yang dilakukan
oleh BSF secara serial. Tentu survei-survei tersebut berguna, minimal sebagai
indikator dasar perumusan kebijakan peningkatan daya saing.
Pertanyaan
yang selalu muncul, sejauh mana politik kebijakan publik kita merespons
berbagai hasil survei itu? Termasuk bagaimana merealisasikannya dalam bentuk
kebijakan dan perbaikan sistem pengelolaan pemerintahan yang baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar