|
Jalan
politik menuju Pemilu 2014 semakin ramai dijejali berbagai aktivitas politik
yang merisaukan. Di tengah situasi politik yang kian dekat dengan Pemilu 2014,
akustik ruang publik (public sphere)
nasional kian terasa kurang nyaman, terutama media massa; mulai dari perang
opini, adu prestise alias unjuk kebolehan, yang bermuara pada kontestasi citra
untuk menunjukkan kepantasan sebagai figur, serta parpol yang layak
dipertimbangkan dan dipilih pada Pemilu 2014.
Memang sebenarnya pemilu masih cukup lama, tetapi publisitas dan kampanye politik terselubung serta terang-terangan terasa semakin menyesaki lembaran media cetak dan layar kaca atau media elektronik. Mulai terlihat jelas terjadi hegemoni pemberitaan di media massa oleh sejumlah figur dan partai politik yang memiliki modal kuat.
Memang sebenarnya pemilu masih cukup lama, tetapi publisitas dan kampanye politik terselubung serta terang-terangan terasa semakin menyesaki lembaran media cetak dan layar kaca atau media elektronik. Mulai terlihat jelas terjadi hegemoni pemberitaan di media massa oleh sejumlah figur dan partai politik yang memiliki modal kuat.
Televisi
merupakan satu media yang menjadi target dominasi pemberitaan politik lantaran
jangkauan publisitasnya sangat luas hingga pelosok negeri dan menembus dinding
kamar pribadi warga. Karena itu, siaran televisi harus dikontrol agar hegemoni
pihak tertentu tidak semakin eksplosif dan menyingkirkan kepentingan publik.
Penguasaan media dalam politik modern sudah menjadi sebuah keniscayaan sebagai perangkat pemenangan pemilu yang tidak bisa dibantah, terutama dalam hal menggiring opini publik dan memengaruhi persepsi politik publik. Keyakinan ini bukan baru terjadi sekarang, tetapi sejak dekade awal abad ke-20.
Penguasaan media dalam politik modern sudah menjadi sebuah keniscayaan sebagai perangkat pemenangan pemilu yang tidak bisa dibantah, terutama dalam hal menggiring opini publik dan memengaruhi persepsi politik publik. Keyakinan ini bukan baru terjadi sekarang, tetapi sejak dekade awal abad ke-20.
Dalam
sejarahnya, penggunaan media sebagai alat atau senjata politik telah
dikembangkan oleh gerakan Fasisme di Jerman dan Italia sebagai media komunikasi
dalam pembunuhan karakter lawan politik dan pembangunan citra politik. Dalam
beberapa dasawarsa terakhir, dalam dunia politik, khususnya pemenangan pemilu
semakin memosisikan media sebagai ikon yang sangat menentukan.
Pemosisian media seperti itu disebabkan pertarungan politik dalam alam demokrasi kontemporer yang memutlakkan kompetensi memengaruhi sebanyak mungkin manusia dalam waktu yang relatif singkat dan amat kompetitif.
Pemosisian media seperti itu disebabkan pertarungan politik dalam alam demokrasi kontemporer yang memutlakkan kompetensi memengaruhi sebanyak mungkin manusia dalam waktu yang relatif singkat dan amat kompetitif.
Karena
hanya media massa, terutama televisi yang mampu menjangkau khalayak dengan
sangat intens, masif, dan privat. Lihat bagaimana kemampuan televisi menembus
kamar pribadi pemirsanya tanpa halangan apa pun.
Hegemoni Politik
Hegemoni Politik
Tatkala pencitraan menjadi sangat penting dalam membangun persepsi politik publik dalam kerangka politik pemenangan pemilu perebutan kekuasaan, maka tampil di media, terutama televisi menjadi sebuah kemutlakan atau karena media, khususnya televisi yang memiliki publisitasnya sangat luas. Karena itu televisi menjadi panggung perebutan bagi figur dan partai yang ingin membangun citra politik demi pemenangan pemilu.
Membangun citra lewat media massa, terutama televisi, dalam alam demokrasi tentu sah-sah saja. Semua orang memiliki hak politik yang tidak bisa diganggu atau dihalangi oleh siapa pun dalam mengartikulasikan pesan dan sekadar menampangkan wajah supaya dapat dikenal publik secara luas.
Lewat pesan
atau sekadar penampangan wajah, diharapkan, bahkan diyakini persepsi politik
publik sudah bisa terbangun dan dapat diarahkan. Karena tercipta dan
terbangunnya persepsi politik publik merupakan awal kemenangan politik.
Hal ini
mengingat di atas panggung politik dan dalam seni komunikasi politik meyakinkan
publik, berhasil membangun dan memengaruhi persepsi sudah setengah kemenangan
diraih. Tinggal bagaimana membangun keyakinan lainnya, seperti pematangan
program dan pemolesan kharisma sebagai faktor penunjang.
Perlu digarisbawahi, semua publisitas politik di media, hanya bisa berlangsung sejauh mampu menjaga dan mengatasi prinsip independensi, imparsial, dan netralitas.
Media massa
mesti menyadari bahwa ranah kekuasaan media, terutama media televisi, adalah
ranah publik. Sesuai dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran, frekuensi sebagai
ranah publik sesungguhnya merupakan milik negara dan harus dikuasai oleh
negara. Penggunaannya sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Namun dalam kehidupan nasional, dan birokrasi yang dibaluti korupsi serta berbagai skandal yang memalukan, setangguh apa pun media dan sekuat apa pun undang-undang, sulit untuk mencegah dan tergoda oleh rayuan maut dari para politikus pemilik modal kuat.
Namun dalam kehidupan nasional, dan birokrasi yang dibaluti korupsi serta berbagai skandal yang memalukan, setangguh apa pun media dan sekuat apa pun undang-undang, sulit untuk mencegah dan tergoda oleh rayuan maut dari para politikus pemilik modal kuat.
Apalagi
kepemilikan media sekarang ini sebagian oleh para politikus pemilik parpol yang
sedang bertarung di panggung politik perebutan kekuasaan 2014. Politikus yang
tidak memiliki media dan bermodal kuat pun diyakini berafiliasi dengan media
massa.
Maka tidak bisa dibantah dua realitas sosial pun semakin menegaskan adanya hegemoni penggunaan media untuk urusan politik. Lihat semakin banyaknya informasi, program dan berbagai acara televisi yang tidak luput dari upaya rekayasa politik dari para politikus penguasa media.
Maka tidak bisa dibantah dua realitas sosial pun semakin menegaskan adanya hegemoni penggunaan media untuk urusan politik. Lihat semakin banyaknya informasi, program dan berbagai acara televisi yang tidak luput dari upaya rekayasa politik dari para politikus penguasa media.
Bisa
dicermati terdapat begitu banyak rekayasa media atas informasi milik publik
yang bertendensi politis beroperasi dalam beragam modus yang penuh rekayasa.
Seperti dikatakan Haryatmoko, perekayasaan informasi ditunaikan melalui politik
culas yang bertujuan mengurangi kebebasan agar publik pemirsa tidak
mendiskusikan atau melawan apa yang diusulkan.
Mencerdaskan
Mencerdaskan
Karena ruang eksplorasi media adalah ranah publik maka kepentingan publik harus dinomorsatukan. Setidaknya, sajian media harus dapat dirasakan dan dalam mindset yang sama antara pemilik modal lembaga media dan pengelola media.
Namun
sayang, hak publik untuk mendapatkan berita atau hiburan yang mendidik dan
mencerdaskan sudah terlalu jauh direcoki oleh pemilik modal lembaga media lewat
iklan-iklan. Lalu, bagaimana jika itu disesaki lagi oleh berbagai informasi
yang bertendensi politis dari para politikus yang ingin membangun citra politik
untuk pembangunan pemilu?
Itulah pertanyaan yang perlu digarisbawahi oleh media, pengelola pers, dan para pemilik modal lembaga media. Jawabannya, tidak lain bahwa pada titik ini, mutlak mengedepankan sajian pers yang dilandasi semangat penuh kesadaran untuk membangun human dignity (kemuliaan manusia) –meminjam Novel Ali.
Itulah pertanyaan yang perlu digarisbawahi oleh media, pengelola pers, dan para pemilik modal lembaga media. Jawabannya, tidak lain bahwa pada titik ini, mutlak mengedepankan sajian pers yang dilandasi semangat penuh kesadaran untuk membangun human dignity (kemuliaan manusia) –meminjam Novel Ali.
Mengapa?
Karena media bukanlah produk mesin teknologi tanpa landasan hati nurani.
Pengelolaan media yang mengabaikan hati nurani dapat menyingkirkan hak publik
untuk memperoleh sajian media yang mencerdaskan kehidupannya, dan lebih tergoda
untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal.
Okelah, diakui bahwa tanpa kontribusi produsen informasi seperti para pemilik modal dan para pengelola media, sulit diharapkan akan dapat tersajikan hidangkan informasi di tengah diskursus publik.
Okelah, diakui bahwa tanpa kontribusi produsen informasi seperti para pemilik modal dan para pengelola media, sulit diharapkan akan dapat tersajikan hidangkan informasi di tengah diskursus publik.
Namun
karena media massa sesungguhnya adalah media publik, segala acara dan program
yang diproduksi media adalah milik publik (berbeda dengan apa yang diproduksi
oleh pabrik sepatu yang bukan milik publik, melainkan milik privat). Karena
itu, kepentingan publik harus menjadi pertimbangan utama, bukan kepentingan
pemilik modal atau para pengelola media.
Karena itu, apa pun alasannya, media harus berani dan sanggup keluar dari genggaman “tangan-tangan” kelompok berkuasa yang punya watak hegemonic–meminjam Antonio Gramsci. Karena siapa pun tidak mau jika media menjadi instrumen distorsi informasi. ●
Karena itu, apa pun alasannya, media harus berani dan sanggup keluar dari genggaman “tangan-tangan” kelompok berkuasa yang punya watak hegemonic–meminjam Antonio Gramsci. Karena siapa pun tidak mau jika media menjadi instrumen distorsi informasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar