|
"Fakta menunjukkan bahwa kemampuan
negara kita dalam mengelola devisa masih sangat buruk"
HAMPIR
sebulan ini nilai tukar rupiah terus saja melemah. Fluktuasi nilai berkisar Rp
11.500 hingga 11.800 per dolar AS. Rupiah kembali melemah akibat hot money yang
selama ini ”memegang” rupiah, beralih ke portofolio dolar AS. Situasi bertambah
runyam manakala banyak korporasi besar juga terus memburu dolar guna memenuhi
kewajibannya pada September ini.
Fakta
itu lama-kelamaan bisa memengaruhi rapor dan kinerja perekonomian Indonesia.
Kita tidak bisa terus berbangga bahwa ekonomi Indonesia, khususnya cadangan
devisa, cukup tangguh untuk membendung ulah spekulan. Pembiaran
keberlanjutan depresiasi rupiah berdampak cukup riskan bagi ekonomi
keseluruhan.
Masih
tingginya ketergantungan industri domestik akan bahan baku impor misalnya,
sehingga tiap kenaikan kurs dolar AS akan selalu diikuti oleh kenaikan ongkos
produksi, pasti akan berdampak pada kenaikan harga komoditas yang dihasilkan.
Ini berarti harga jual barang produksi domestik pun meroket dan terkatrol
sebagai dampak depresiasi rupiah.
Padahal
kenaikan harga itu akan berpengaruh langsung terhadap daya beli (purchasing power) masyarakat. Mereka
yang tidak tahu-menahu masalah moneter dan gejolak valas pun, harus ikut
terkena getahnya. Selama ini, awam hanya tahu, apabila kurs dollar menguat maka
harga barang dan jasa dipastikan ikut naik. Jelas, pengeluaran rumah tangga
ikut membengkak, sementara pendapatan tidak naik, sehingga jumlah orang miskin
makin bertambah. Dengan kondisi ini terlihat jelas bahwa abnormalitas nilai
tukar rupiah akan berdampak langsung terhadap perekonomian domestik.
Causa Prima
Dari
hasil kajian belakangan ini, minimal ada dua penyebab kemelemahan rupiah.
Pertama; masyarakat sudah jenuh memegang rupiah akibat makin tidak menariknya
imbal hasil rupiah yang dipicu oleh tingginya angka inflasi tahunan yang
mencapai 8,2%. Investor akhirnya beralih memegang dolar AS hingga pasokan mata
uang itu langka.
Nilai
dolar pun meroket tajam karena mampu memberikan yield cukup besar ketimbang
rupiah. Selain itu, banyaknya korporasi swasta dan BUMN membutuhkan pasokan
dolar AS dalam jumlah besar pada waktu bersamaan. Realitas itu mengakibatkan
tidak berimbangnya pasokan dan kebutuhan, yang berdampak pada kemelemahan nilai
tukar rupiah.
Kedua;
membaiknya perekonomian AS belakangan ini, mengakibatkan nilai tukar dolar kian
menguat dibanding mata uang regional, termasuk rupiah. Pelemahan nilai tukar
rupiah cukup besar jika dibanding mata uang negara lain. Kemelemahan rupiah
juga disebabkan ekses likuiditas yang sangat berlebihan di perbankan. Kondisi
itu sangat mudah dimanfaatkan banyak pihak bertransaksi valas untuk tujuan spekulatif.
Inilah asal-muasal dan penyebab kemelemahan rupiah yang harus diperangi
bersama.
Langkah pertama untuk melawan kemelemahan rupiah adalah dengan menarik
sebesar mungkin likuiditas pasar yang berlebihan. Kelebihan likuiditas
inilah yang kemudian digunakan oleh spekulan untuk membeli valas, khususnya
dolar AS.
Akibatnya,
kurs dolar terhadap rupiah terus naik dan rupiah makin melemah. Bank Indonesia
sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menyerap likuiditas pasar.
Kebijakan moneter BI ditambah kebijakan fiskal pemerintah diharapkan bisa
meredam gejolak rupiah. Kebijakan kedua yang perlu terus dilakukan adalah upaya
untuk memperbesar cadangan devisa, dengan cara mengundang devisa untuk masuk ke
domestik. Caranya adalah melalui pasar modal (portfolio investment) dan investasi langsung melalui foreign direct
investment (FDI).
Pemerintah
juga perlu terus menciptakan iklim kondusif agar devisa hasil ekspor bisa masuk
ke Indonesia (repatriasi), tidak sekadar diparkir terus di luar negeri.
Dengan pasokan dolar AS domestik yang besar, niscaya rupiah makin kuat. Fakta
menunjukkan bahwa kemampuan negara kita dalam mengelola devisa masih sangat
buruk. Dana-dana yang berasal dari Indonesia bisa melayang begitu saja ke
negeri orang. Semua ini merupakan konsekuensi dari UU Lalu Lintas Devisa,
yang menganut kebebasan sebebas-bebas (sistem devisa bebas). Dana asing bisa
keluar dan masuk tanpa ada batasan, baik dari segi jumlah maupun jangka waktu.
Hal ini harus mendapatkan pengaturan yang baru, yang bisa mengatur devisa ini.
Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa cadangan devisa RI akan naik kalau pemerintah
mencairkan pinjaman luar negeri, bukan karena devisa hasil ekspor. Hal ini
terjadi karena tidak ada kewajiban bagi para eksportir untuk membawa kembali
devisa hasil ekspor ke dalam negeri setelah ekspor. Semestinya, mereka
diwajibkan membawa devisa hasil espor masuk ke Indonesia, sehingga bisa
memperkuat cadangan devisa kita, yang sekarang nilainya terus tergerus
mendekati angka 90 miliar dolar AS.
Pemerintah
sebaiknya mewajibkan eksportir (pengusaha lokal) untuk membawa pulang devisa
hasil ekspor. Dibutuhkan nasionalisme dari para eksportir untuk membantu
kestabilan nilai tukar rupiah. Selama ini mereka memarkir devisa hasil ekspor
di luar negeri. Kalau itu dilakukan, cadangan devisa kita akan melesat
naik, dan nilai tukar rupiah bisa lebih stabil menguat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar