|
Baru-baru
ini, saya menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Masalah yang dibahas adalah soal kartelisasi politik dan kaitan
bisnis dengan politik. Di hadapan saya ada dua pimpinan KPK: Bambang Widjojanto
dan Busyro Muqoddas. Presentasi saya memuat fase-fase transisi demokrasi di
Indonesia, dimulai lewat amandemen UUD 1945, pendirian partai-partai politik,
hingga Pemilu 1999.
Sistem politik Indonesia hari ini tentu berbeda dengan
kondisi 15 tahun lalu. Di kala Presiden Soeharto mengundurkan diri, hampir
tidak ada pikiran tentang siapa calon presiden yang pantas. Presiden Soeharto
terlalu kuat sebagai sebuah sistem. UUD 1945 (asli) memang menempatkan lembaga
kepresidenan sebagai lembaga yang (ter)-kuat. Presiden bisa dipilih
berkali-kali karena frase tidak terbatas. Sistem yang ada dalam UUD 1945 (asli)
memang melahirkan dua orang presiden yang kuat, yakni Soekarno dan Soeharto.
Sikap mayoritas intelektual, politikus, dan masyarakat
sipil kala melakukan amandemen adalah membatasi kekuasaan lembaga kepresidenan.
Amputansi terjadi yakni dengan cara membatasi jabatan presiden hanya untuk dua
kali masa jabatan. Sementara proses pemilihan presiden tidak lagi melalui MPR,
tetapi via pemilihan langsung. Di luar itu, pendulum diayun ke lembaga
legislatif (terutama DPR) yang diberi kekuasaan besar.
Bergesernya kekuasaan dari lembaga kepresidenan ke lembaga
legislatif telah menggeser juga kekuatan politik ke dalam tubuh partai-partai
politik. Parpol mendapatkan banyak hak dan kewenangan, mulai dari pencalonan
presiden dan wakil presiden, pembuatan undang-undang sesuai fungsi legislasi
DPR, sampai fungsi anggaran. Birokrasi di bawah lembaga kepresidenan, dalam
bentuk kabinet, pun ikut berpaling ke parlemen.
Masalahnya, parpol belum memiliki kemampuan yang
benar-benar prima sebagai organisasi yang kredibel. Parpol masih merupakan
lembaga peserta pemilu dan pilpres saja, termasuk pilkada. Sistem kaderisasi
kepartaian belum berkembang. Fungsi penelitian dan pengembangan jauh dari
harapan. Ideologisasi berjalan tertatih. Sementara makin banyak lembaga negara
yang ikut lahir, termasuk komisi-komisi negara yang diisi oleh kalangan
nonparpol.
Di luar itu, cadangan SDM yang dimiliki bangsa masih
terbatas. Larangan bagi PNS, polisi, dan tentara untuk masuk parpol juga
memperlemah SDM dalam tubuh parpol. Itulah sebabnya, parpol masih mayoritas
dikendalikan oleh politikus lama. Kalaupun kemudian beberapa kalangan muda
masuk ke tubuh parpol, sisi ketokohan belum terbangun. Dari sinilah kritisisme
terbangun justru di kalangan kaum intelektual dan masyarakat sipil yang sejak
awal justru memberikan kekuasaan maksimal kepada partai politik dalam
amandemen.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Sepertinya perlu jeda
intelektual sejenak. Saatnya ada evaluasi total dalam bingkai diskusi dan
makalah, guna melihat apa yang terjadi selama 15 tahun lewat. Lalu, proyeksi
apa yang penting bagi masa depan Indonesia? Jangan sampai kesibukan dengan
pekerjaan-pekerjaan temporer menyebabkan kita sebagai bangsa kehilangan
perspektif. Perlu ada keluasan pengetahuan atas apa yang terjadi selama ini,
serta visi besar atas apa yang hendak dituju oleh bangsa kita.
Kalangan politikus tentu juga perlu mengambil tempat
sebagai sparring partner dalam jeda ini. Beban yang ada di pundak politikus
begitu besar, sementara perhatian masih sangat minimal: hanya mengandalkan
kapasitas pribadi. Jangan sampai di tengah situasi yang kurang menguntungkan
bagi politikus ini, justru sinisme menjadi kuat dan tekanan juga mengalir. Kita
tentu tidak berharap, betapa politikus yang terpilih nanti adalah jenis
politikus yang kebal terhadap segala kritik dan imun dalam perspektif
kebangsaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar