|
Yang sangat menyedihkan dari dunia yang telah
dikuasai oleh rezim entertainment alias
rezim hiburan adalah ketika tragedi dijadikan hiburan murahan. Mari kita sebut
ini sebagai ”entertainmenisasi tragedi”. Dengan mudah Anda mendapatkan contoh
dari apa yang saya maksud di televisi kita.
Ketika remaja ingusan mengendarai mobil, lepas
kontrol dan menyebabkan sejumlah orang tewas, beberapa hari setelah itu
presenter cantik mewawancarai istri korban. Adakah sebelumnya ibu punya firasat
tertentu? Apakah ada pesan-pesan khusus almarhum? Bagaimana perasaan ibu
sekarang?
Implikasi dari pertanyaan tersebut adalah sebuah
harapan akan adanya cerita yang dramatik sekaligus berbau metafisik. Itu
tuntutan khas hiburan murahan. Disertai atau tidak disertai firasat, Mbak,
kalau anak-anak bawah umur merdeka mengemudikan kendaraan bermotor, siapa saja
warga bangsa ini bisa tertimpa naas terseruduk kendaraan.
Pada kasus yang saya contohkan, wawancara
dilanjutkan dengan gambaran mengenai tanggung jawab ayah si remaja tadi, yang
dikenal sebagai pemusik. Penyiar menggarisbawahi bahwa iktikad baik telah
ditunjukkan si pesohor. Uang telah diberikan kepada keluarga korban.
Itulah contoh entertainmenisasi tragedi. Oleh
sejumlah pemikir kebudayaan, entertainment digolongkan
sebagai sesuatu yang memecah atau mengalihkan perhatian kita dari kehidupan
rutin sehari-hari. Ia menginterupsi kesadaran, membuat saraf serta pikiran
bersantai sejenak. Dalam perspektif dunia hiburan, sebutannya leisure
time—waktu senggang, waktu bersenang-senang.
Sesuai sifatnya, yakni sekadar membikin saraf
dan pikiran bersantai sejenak, entertainment cenderung
dangkal. Contoh sudah dipaparkan di atas: tragedi dikompensasi dengan uang.
Para nabi gadungan zaman ini merumuskannya sebagai ”win-win solution”.
Kalau mau sedikit dilanjutkan, di situ persis
letak perbedaan antara entertainment dan art. Art—secara
sederhana diterjemahkan sebagai seni—membuat orang menuju titik kesadaran.
Kesadaran tentang apa? Kesadaran tentang eksistensi. Sangkan paran.
Nah, kesadaran tentang sesuatu yang
eksistensial itulah yang hilang dalam dunia komunikasi sekarang. Sebagian besar
media massa menuju ke kedangkalan, terbawa arus media elektronik yang berasas
kesegeraan—serba segera, cepat, tergesa-gesa.
Di televisi, lazim dijumpai penyiar bertanya,
tetapi ketika narasumber menjawab, tiba-tiba dipotong. Atau jawaban belum
selesai diuraikan, penyiar sudah mengucapkan terima kasih dan berlalu, untuk
berceloteh hal lain lagi. Tinggallah si narasumber terbengong-bengong seperti
manusia bego.
Tak diperlukan jawaban atas suatu pertanyaan.
Pertanyaan dilemparkan iseng-iseng. Begitu situasi sekeliling kita sekarang:
segala hal yang kita kira penting, baik menyangkut pekerjaan atau lembaga,
sebenarnya isinya hanya orang-orang iseng. Atau jangan-jangan kurang waras.
Tidak mengherankan kalau kemudian kita
kesulitan menemukan jejak moral. Moral bukanlah sekadar apa yang ada pada otak
kita atau merupakan state of mind,
melainkan apa yang kita lakukan. Berakar pada kata Latin mos (bentuk jamaknya mores),
awalnya dia berarti membawa diri, atau juga secara fisik tegak. Pada kosakata
itu selalu terkandung pengertian tanggung jawab seseorang atas apa yang
diperbuatnya.
Komunikasi yang kacau tadi adalah cerminan,
bukan saja kekacauan berpikir, tetapi juga kekacauan moral. Dalam komunitas
yang mencoba menegakkan moral seperti di lingkungan Persatuan Gerak Badan
Bangau Putih, Guru Besar Gunawan Rahardja selalu menekankan tiga karakter
dasar, yakni tubuh, ucapan, dan pikiran. Dengan mengolah tubuh, ucapan,
pikiran, diharapkan orang mengerti dan memahami diri sendiri.
Bagaimana praktik mengolah tubuh, ucapan, dan
pikiran? Atau pada tingkat lebih lanjut, bahkan juga mengolah spirit?
Jawabannya, Anda harus berlatih. Kita perlu
mematikan televisi, meninggalkan sejenak dunia hiburan, dunia main-main, dunia
iseng-iseng yang kian menjauhkan orang dari kesadaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar