|
Sejurus Timothy Geithner diangkat
menjadi Menteri Keuangan pada era Presiden Barack Obama (periode 2008-2012)
pada Januari 2009, isu yang mencuat ke permukaan adalah perang nilai tukar (currency war). Isu itu merupakan
lanjutan dari kekalahan industri manufaktur AS terhadap China. Kekalahan itu
berdampak neraca perdagangan AS terhadap China minus 261 miliar dolar AS dan
efek gandanya adalah dirumahkannya ribuan pekerja industri manufaktur AS.
Akibatnya, muncul krisis kredit
perumahan subprima menyusul gagal bayarnya FreddieMac dan FannieMae. Gagal
bayar itu memberi efek ganda lanjutan, yakni sejumlah lembaga keuangan ambruk,
termasuk Lehman Brothers dan Citibank harus ditalangi. Ratusan bank pun
ditutup.
Sebulan ini tetap sejak pidato
pengantar nota keuangan dan RAPBN 2014 disampaikan, nilai tukar rupiah
turun-naik. Bahkan dalam semester pertama 2013, setelah kenaikan harga BBM pada
18 Juni 2013, banyak kalangan menyadari bahwa tekanan inflasi sulit dihindari.
Lagi-lagi, hanya seorang diri saya menyatakan di salah satu media televisi
bahwa inflasi akan tembus di atas 8 persen. Kenaikan harga pangan yang
sebelumnya sudah terjadi bersamaan dengan inflasi karena barang-barang impor
membuat inflasi terus merangkak yang bisa jadi akan tembus dua digit untuk
akhir tahun ini.
Kini, semua itu menjadi
kenyataan yang tak terhindarkan. Pujian bahwa Indonesia adalah the rising star, atau pujian lainnya
hapus hanya dengan gebrakan larinya modal asing yang pada minggu keempat bulan
Agustus mencapai sekitar 215 juta dolar AS. Saya tak menyangka dampak dari
ambruknya nilai tukar menyadarkan banyak orang bahwa perekonomian Indonesia
rapuh.
Kesadaran ini sudah saya
semaikan sejak saya di DPR lalu saya sebarkan ke berbagai kampus di Indonesia
tanpa mengenal lelah. Walau saya dituding sebagai nasionalis sempit oleh sebuah
media besar di Jakarta dengan meminjam mulut ekonom neoliberal, saya
berkeyakinan bahwa menolong perekonomian diri sendiri (self help economic) jauh lebih bermartabat dari pada saya menjadi
kaki tangan dan pelaksana pemikiran asing di Indonesia.
Nah, situasi
ini akan berlanjut hingga 2017 bahkan lebih, sepanjang para pemikir bangsa,
kaum akademisi, para teknokrat dan birokrat serta politisi tanpa lebih dulu
menata dan memposisikan Indonesia dengan benar. Lihatlah kebijakan LCGC (low cost green car). Ini bukti betapa empuknya
pasar otomotif di Indonesia didikte. Padahal di balik kebijakan ini, terdapat
sejumlah persoalan strategis yang tidak selesai.
Kesimpulannya, selama Indonesia
mengekor kebijakan global, kagum pada pujian yang menyesatkan, rupiah pun
berstatus sebagai objek para pemodal, produksi dan distribusi domestik
dikendalikan pihak asing, struktur ekspor tetap berpijak pada berang mentah dan
komponen impor masih seperti sekarang, serta investasi asing dominan di
sektor-sektor strategis maka ekonomi Indonesia tetap terjajah.
Dampaknya,
rupiah akan selalu berfluktuasi walau jangka waktunya terkadang lebih lama.
Jangan menyesali, situasi ini adalah pilihan para petinggi negeri yang dapat
terpilih lagi pada Pemilu 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar