|
Memang, sejak merdeka, demokrasi
Indonesia boleh dikatakan tanpa nama. Penerapan demokrasi liberal bahkan tak
pernah disebut secara resmi. Baru setelah tahun 1959 kita memasuki demokrasi
dengan nama 'demokrasi terpimpin' di bawah Presiden Sukarno.
Kemudian, setelah Orde Lama jatuh,
maka runtuh pulalah Demokrasi Terpimpin. Demokrasi kita pun berganti nama
menjadi Demokrasi Pancasila, yang berlaku selama Orde Baru melangsungkan
kekuasaannya. Demokasi Pancasila memang nama resmi yang diperkenalkan oleh
Presiden Soeharto. Pancasila menjadi milik dan alat kekuasaan Orde Baru.
Sampai-sampai, siapa yang anti atau setidak-tidaknya kritis terhadap penguasa
Orde Baru, termasuk kritis kepada Presiden Soeharto, berarti juga kritis atau
bahkan anti Pancasila.
Nah, bila demokrasi dalam zaman
reformasi ini disebut demokrasi reformasi, misalnya, lalu kelak ternyata
reformasi gagal dan harus diganti dengan Orde Pasca-Reformasi, bukankah nama
itu hanya akan memberikan citra buruk terhadap 'reformasi' itu sendiri? Itulah
gambaran negatif bila demokrasi diberi label, seperti Demokrasi Pancasila pada
masa lalu, maka yang ikut tercemar adalah nama Pancasila itu sendiri. Maka,
untuk saat ini saya berpendapat sebaiknya demokrasi kita sekarang ini dibiarkan
saja tanpa nama. Demokrasi adalah demokrasi.
Dulu saya ikut kagum bila
mendengar ada pemimpin yang mengatakan bahwa negara kita adalah negara
demokrasi paling besar nomor tiga di dunia. Itu maksudnya ditinjau dari sudut
jumlah penduduk. Penduduk Indonesia sebagai negara demokrasi paling besar nomor
tiga di dunia setelah India dan AS.
Dalam pandangan umum, meskipun
China bependuduk paling banyak di muka bumi ini, lebih kurang 1,4 miloar, tapi
tidak disebut negara demokrasi. Tapi, kalangan pemimpin China tidak terlalu
merisaukan masalah julukan tersebut. Yang penting, China terus membangun
ekonomi sosialisme untuk kesejahteraan rakyatnya. China toh, secara interen,
merasa dirinya juga demokratis, meskipun dengan sistem demokrasi di bawah
payung Partai Komunis.
Tanpa Korupsi
Demokrasi di Indonesia telah
mengalami kemajuan signifikan. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, pemilu
yang lancar pada tahun-tahun 1999, 2004 dan 2009. Namun, hal itu baru sebatas
formalitas di permukaan. Kita juga perlu sekali-kali memakai teropong pandangan
pihak luar tentang demokrasi kita ini. Tidak seyogianya kita terus menerus
berbangga diri, apalagi berlebihan, sedangkan tanpa disadari, masih banyak
cacat yang kita temui meskipun sebelumnya tidak kita rasakan, sehingga
demokrasi kita masih tampak buram bila dilihat dengan kacamata secara objektif.
Termasuk, pengamatan dari luar negeri yang sangat senang dan serius memantau
perkembangan demokrasi Indonesia.
Suatu lembaga asing, Economist Intelligence Unit memetakan Indeks Demokrasi Global tahun 2011.
Lembaga itu menempatkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasinya (flawed democracy). Indonesia menduduki
peringkat ke-60 dari 167 negara. Bisa dibandingkan dengan beberapa negara
berkembang lainnya, seperti Afsel (30), Timor Leste (42), Thailand (57), dan
Papua Nugini (59). Lembaga itu mencatat kepincangan demokrasi di Indonesia
antara lain pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup, ingkar
janji-janji pemilu serta keterancaman pluralisme.
Beberapa pandangan dalam negeri
mengenai pelaksanaan demokrasi memang masih perlu banyak dikoreksi. Pemilu
disebut sukses bila penyelenggaraannya lancar dan tepat waktu. Padahal itu saja
tidak cukup. Sorotan terhadap ketidakuratan baik oleh penyelenggara pemilu
maupun para kontestan yang bekerja sama untuk memanipulsi suara, itu baru satu
contoh saja. Pemilu di Indonesia, entah pemilu nasional atau pilkada, terkenal
amat mahal dengan harga fantastis.
Sebagai gambaran, biaya pemilihan
gubernur putaran kedua di salah satu provinsi di Jawa menghabiskan dana hampir
satu triliun rupiah. Anggaran yang spektakuler itu bisa dimaklumi untuk
merangsang parpol-parpol ikut duduk dalam penyelenggara pemilu alias KPU, baik
di pusat maupun di daerah. Saya merasa iri pada negara-negara maju yang sudah
mapan demokrasinya. Negara-negara itu bisa melaksanakan pemilu sewaktu-waktu
dengan lancar, tenang, damai karena mekanismenya sudah berjalan normal.
Bandingkan dengan di Indonesia
setiap pemilu baru selalu diriuhkan untuk pengadaan seluruh logistik baru,
padahal logistik lama masih bisa dipakai. Dan, satu hal lagi, Indonesia masih
mendapat sorotan utama terkait masalah korupsi. Bahkan ada anggapan bahwa baik
demokrasi maupun korupsinya sama-sama jalan terus, bahkan seiring. Kita kurang
menyadari bahwa korupsi merupakan penyakit yang dapat mengurangi kualitas
demokrasi itu sendiri. Mengapa kita mengabaikan hal ini? Karena, kita sering
lupa tujuan demokrasi.
Demokrasi sebenarnya tidak lebih
dari alat sekaligus sistem yang kita anut, dan tujuan akhirnya tak lain adalah
kemashalatan bersama, kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat,
sebagaimana tersirat dalam Pembukaan Konstitusi kita. Karena itu, korupsi
merupakan salah satu tolok ukur yang dipakai untuk mengukur sejauh mana
kedewasaan demokrasi suatu negara.
Meskipun ada orang gila yang
berpandangan bahwa lebih baik ada korupsi tapi ada demokrasi, daripada ada
korupsi tapi tidak ada demokrasi. Pikiran 'gila' itu harus dibuang jauh-jauh.
Itu racun yang banyak menjangkiti sebagian pemimpin dan pejabat negara yang
tidak tahan untuk tidak korupsi. Maka yang ideal adalah: ada demokrasi tanpa
korupsi! Kita perlu mengutamakan untuk meningkatkan kualitas demokrasi sesuai
dengan ukuran yang bersifat universal. Demokrasi kita tanpa nama, tidak
apa-apa. Apalah artinya nama, kata orang Inggris. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar