|
Siapa
pun elemen bangsa di negeri ini pastilah mengakui bahwa hutan merupakan salah
satu kekayaan strategis. Negeri ini menjadi sangat populer sebagai negeri kaya
raya di mata dunia adalah berkat kekayaan hutan yang dimilikinya. Bangsa-bangsa
lain pun terus menerus berusaha masuk dan mencengkeram negara ini dengan jalan
menawarkan investasinya dengan cara menempatkan hutan sebagai instrumennya.
Pertanyaannya,
apakah hutan kita benar-benar sudah diperlakukan sebagai kekayaan istimewa
bangsa? Sudahkah perilaku kita berorientasi melindungi atau mengayomi hutan
Indonesia supaya tumbuh bekembang menjadi hutan progresif seperti menyehatkan,
menyelamatkan, dan menyejahterakan?
Memang,
secara lisan kita gampang berucap kalau negeri ini punya kekayaan hutan
istimewa, namun di sisi lain, perilaku kita belum mendukung terwujudnya hutan
progresif. Perilaku kita bukan menyelamatkan dan mengembangkan hutan, melainkan
berusaha menghancurkannya. Kita masih melakukan apa yang disebut Fauzi Wibowo
(2012) sebagai 'pelestarian dan pengeksploitasian kriminalisasi sumber daya
hutan'.
Terbukti,
banyak di antara kita masih setengah hati menginginkan terwujudnya hutan
progresif. Bahkan ironisnya, tidak sedikit yang memilih jalur memburu
keuntungan materialistik dari hutan tanpa memikirkan dampak makronya. Hutan
dijadikannya sebagai objek eksploitasi dan komoditas tiada henti, yang
mengakibatkan hutan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hidup masyarakat
dan bangsa. Kondisi ini sampai digambarkan dalam suatu adagium state without forest (negara tanpa
hutan) atau lambat laun, negeri ini potensial kehilangan sumber daya hutan.
Statemen
itu juga menunjukkan bahwa hutan di negeri ini sedang dalam kondisi
memprihatinkan dan mengenaskan akibat ulah liar manusia-manusa yang tidak
bertanggung jawab, yang mengeksploitasi, membakar, menggunduli, membalak, dan
menebanginya. Sejatinya, normal saja manusia mengambil manfaat dari hutan,
namun menjadi abnormal dan tidak berkemanusiaan, ketika eksploitasi lebih
diutamakan.
Kerusakan
hutan yang terus berlangsung itu bahkan akan potensial membawa negara ini
menuju tuyang-tuyang. Meski tidak ada yang menginginkan negara ini sampai
mengalami keadaan mengenaskan, tetapi jika perilaku manusianya kian serakah
terhadap hutan atau menjadikan hutan sebagai objek 'kolonialisme' kapitalistik
dan korporatistiknya, maka status sebagai negeri tanpa hutan niscaya terjadi.
Kelangsungan
hidup manusia dan planet bumi kini menjadi keprihatinan manusia sedunia.
Heriyanto, mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP)
menyebutkan, "Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia.
Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah tanpa batas." Pada setiap
detik, diperkirakan sekitar 200 ton karbon dioksida dilepas ke atmosfir dan 750
ton top soil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar hutan
dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati
setiap hari. Pada saat yang sama, secara absolut jumlah penduduk meningkat 1
milyar orang per dekade. Hal ini menambah beban bumi yang sudah renta.
Ulah
brutal dan barbar sebagian orang yang menggunduli hutan atau populer disebut illegal logging itu telah mengakibatkan
negeri ini kehilangan aset besarnya. Hutan menjadi gundul, gersang, dan tidak
lagi menghembuskan angin kesejukan dan keramahan akibat dibabat dan dibakar
oleh tangan-tangan kotor yang mengumbar keserakahannya.
WALHI
saja sudah berkali-kali, misalnya, mengingatkan tentang nasib hutan Indonesia
yang berada dalam kondisi krisis dan sangat mengkhawatirkan (kritis).
Pembalakan hutan baik yang legal maupun illegal,
tidak terkontrol dan telah mengakibatkan kerusakan hutan yang masif di hampir
seluruh kawasan hutan Indonesia.
Dampak
pembalakan hutan yang merusak tersebut tidak saja telah mengakibatkan hilangnya
keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin
merosotnya kualitas sumberdaya Indonesia, namun juga menghasilkan seri bencana
ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran
hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya.
Ironisnya lagi,
kehidupan lebih dari 40 juta masyarakat adat dan lokal yang hidupnya tergantung
langsung sumber daya hutan terus memburuk dan miskin akibat kehancuran hutan
tersebut.
Dalam
ajaran agama juga sudah digariskan, bahwa Tuhan tidak pernah melarang hambaNya
untuk memanfaatkan kekayaan hutan. Tuhan sudah menganugerahkan nikmat besarnya
ini demi mengantarkan masyarakat dalam kemakmuran. Tuhan menyuburkan hutan
dengan segala isinya supaya masyarakat bisa mengambil manfaatnya dengan
cara-cara yang berkeadaban. Rusanya hutan Indonesia lebih disebabkan oleh
ketidak-adaban yang dibiarkan terus berdaulat.
Tuhan
sudah demikian Pemurah dan Penyayang dengan menyediakan sumber daya yang
memadai untuk menopang kebutuhan hidup manusia. Kekayaan hutan telah
dipersembahkanNya selain sebagai bukti keagungan KekuasanNya kepada manusia dan
makhluk hidup lainnya di jagad raya, juga sebagai modal besar bagi
keberlanjutan dan pencerahan hidup manusia.
Kehancuran
sumber daya hutan merupakan reduksi dan bahkan modus pengeroposan kekuatan
penyangga. Gundulnya hutan akibat tangan-tangan para 'kolonialis' ini merupakan
bentuk kejahatan perampasan potensi kesejahteraan dan keselamatan, sehingga
layak dikategorikan sebagai wujud perilaku dehumanisasi yang berlangsung
sistemik.
Mahatma
Gandi pernah mengingatkan, "Dunia
ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi menjadi tidak cukup
jika untuk memenuhi kesekarahannya." Ketika hutan tidak diberikan
kesempatan menjadi progresif, maka jangan kaget jika pelan-pelan bangsa ini
menuju ranah kematian totalnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar