|
Markas Besar Kepolisian
Negara Republik Indonesia masih menemukan 588 potensi konflik agraria di
sepanjang tahun 2012.
Memasuki awal 2013, konflik
serupa kembali terjadi dan berbuntut kriminalisasi terhadap 26 orang petani dan
aktivis lingkungan di Sumatera Selatan dan 23 nelayan tradisional di Sumatera
Utara.
Buruknya kualitas kebijakan nasional
dan lemahnya komitmen instrumen negara, kerap disebut-sebut sebagai pangkal
soal konflik agraria.
Padahal, pada era
globalisasi, pemicunya telah bergeser ke sejumlah perjanjian perdagangan bebas
dan investasi yang mengikat Indonesia. Tanpa memastikan terlindunginya
kepentingan rakyat dalam pelbagai perjanjian internasional, konflik agraria
dipastikan tidak akan pernah terselesaikan.
Theirs (2002) menyebut ada empat
tahapan proses integrasi dalam (deep integration)
dari sebuah rezim investasi dan perdagangan internasional ke dalam wilayah
domestik suatu negara. Pertama, negara setuju untuk bergabung dalam rezim dan
mengharmoniskan kebijakan domestiknya sesuai ketentuan rezim. Kedua,
harmonisasi formal yang berupa peraturan tertulis harus dilakukan.
Ketiga, standar yang sudah
diharmoniskan harus diimplementasikan. Keempat, sistem monitoring dan
implementasi ketentuan harus sesuai dengan perjanjian. Nah, kesemuanya telah
berlaku di Indonesia.
Sejak era 1960-an, Bank Dunia dan IMF
(International Monetary Fund) telah
mulai mendorong reformasi sistem ekonomi dan politik Indonesia agar selaras
dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam perjanjian internasional.
Dalam hal pengaturan
perdagangan internasional, misalnya, UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO telah mewajibkan Indonesia membuka pasar
seluas-luasnya bagi perdagangan internasional melalui penghapusan berbagai
hambatan perdagangan. Selanjutnya, diikuti dengan perombakan sejumlah kebijakan
nasional.
Sebut saja perubahan UU
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dimaksudkan untuk memudahkan
masuknya investasi asing dalam pengusahaan sumber daya alam Indonesia. Hal ini
sejalan dengan aturan WTO terkait Most
Favored Nation (MFN) dan National
Treatment. Melalui keduanya, pemerintah tidak boleh lagi memberi perlakukan
berbeda terhadap pemodal asing dan dalam negeri.
Contoh lain, kesepakatan
tentang pertanian atau Agreement on
Agriculture (AoA) dalam WTO. Kesepakatan ini memaksa Indonesia membuka
pintu impor, menghapuskan tarif masuk, bahkan memaksa Pemerintah Indonesia
untuk terus mengurangi subsidi bagi petani.
Tak pelak, impor produk
pangan Indonesia di 2012 telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun.
Uang sebesar itu justru digunakan untuk impor produk pangan seperti daging
sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, serta komoditas
pangan lain yang mudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pada tahap inilah
ratifikasi pembentukan WTO telah menyebabkan hilangnya kedaulatan pangan dan
meningkatkan konflik agraria di Indonesia.
Kedaulatan Ekonomi
Adalah H Agus Salim
(1884-1954) mengatakan “hendaklah Bumiputera itu menunjukkan kekuatannya
menghidupi perhimpunan kita sendiri. Jika sekolah-sekolah kepunyaan orang Belanda
menolak anak-anak kita karena mendengarkan hasutan kaum asmodee itu, hendaklah
kita ikhtiar mendirikan sekolah sendiri. Dalam negeri kita janganlah kita yang
menumpang.”
Pada konteks ini, bertepatan
pula dengan momentum Peringatan Hari Pangan 24 September 2013, gerakan petani,
nelayan, buruh maupun konsumen di Indonesia patut menaruh perhatian lebih
terhadap berbagai perjanjian perdagangan bebas dan WTO. Ini karena keduanya
telah sengaja melemahkan peran negara dalam melindungi akses dan kontrol rakyat
terhadap tanah dan airnya.
Jelang berakhirnya masa tugas
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014, Presiden SBY perlu mengambil
langkah moratorium terhadap perjanjian baru, sambil mengevaluasi berbagai
perjanjian yang telah ditandatangani sebelumnya. Termasuk dengan segera membatalkan
perjanjian yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional dan konstitusi UUD
1945.
Terkait penyusunan Rancangan
Undang-undang (RUU) Perdagangan, Dewan Perwakilan Rakyat tidak perlu kejar
tayang untuk menuntaskannya. Sangatlah pantas DPR merombak total draf RUU versi
pemerintah tersebut karena telah sengaja menghilangkan kedaulatan ekonomi
Indonesia dengan mengadopsi penuh prinsip-prinsip di dalam WTO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar