|
Beredarnya senjata secara luas di masyarakat, baik senjata
api, rakitan, maupun airsoft gun, sungguh memprihatinkan.
Selama Juli-Agustus, setidaknya terjadi 16 kasus penembakan
di sejumlah daerah: Cirendeu (Tangerang Selatan), Ogan Komering Ulu (Sumatera
Selatan), Ciputat (Tangerang Selatan), dan Yogyakarta. Tak ada lagi
penghormatan terhadap institusi dan aparatur negara. Penembakan terhadap
petugas Rutan Kelas IIA Baturaja, Sumsel, dan anggota Polri menunjukkan siapa
pun bisa jadi sasaran. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyebutkan,
motif penembakan dapat berupa balas dendam maupun ”peringatan” kepada Polri.
Penembakan terhadap Rutan dan Petugas LP Wirogunan Yogyakarta mengindikasikan
motif serupa.
Terlepas dari beragamnya motif, tindakan arogan dengan menembaki
fasilitas umum, petugas hukum, dan masyarakat umum adalah perilaku yang sangat
tidak dapat dicerna akal sehat. Penggunaan senjata jadi bagian dari tindakan
arogan ini. Peredaran senjata di Indonesia seharusnya sangat terbatas.
Sejatinya, senjata api merupakan sarana paksa yang dipakai negara untuk
menjalankan kekuasaan melalui instansi militer dan kepolisian. Penggunaan
senjata api pada prinsipnya merupakan monopoli negara.
Kendali negara
Austin T Turk menguraikan kendali negara terhadap
bidang-bidang yang menjadi bagian kehidupan publik, yakni mengendalikan
kekerasan fisik, perang, ataupun kekuatan polisi, serta mengendalikan produksi,
alokasi, serta penggunaan sumber daya dan kekuatan ekonomi.
Mengingat pentingnya senjata api sebagai bagian dari wibawa
negara, harus diperhatikan, pemberian izin penggunaan senjata api kepada siapa
pun, mengandung nilai pemberian atribut kekuasaan. Menyandang senjata identik
dengan bangkitnya kepercayaan diri dan ”status tersendiri” yang sewaktu-waktu
dapat berubah jadi arogansi. Perlu mekanisme kontrol yang dinamis terhadap
semua jenis senjata itu. Salah satu negara yang memiliki aturan ketat mengenai
senjata api adalah Jepang. Kebijakan tersebut dapat menekan kejahatan. Menurut
data 1988, dari 51.000 tindak pidana kekerasan, hanya 250 yang melibatkan
senjata api. Tahun 1991, korban pembunuhan dengan pistol 69 orang, tahun 1992
turun jadi 60 orang. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan AS yang
mengizinkan kepemilikan senjata api.
Seseorang yang memiliki senjata api cenderung berperilaku
arogan, agresif, karena memiliki atribut kekuasaan. Kenyataan itu makin parah
jika yang bersangkutan tak takut terhadap sanksi apa pun. Dalam masyarakat
memang terdapat sejumlah orang yang tak takut sanksi apa pun, baik sosial maupun
hukum. Tak jarang, penggunaan kekerasan dan perbuatan melanggar hukum justru
merupakan budaya dan nilai yang tertanam erat sehingga jadi jalan keluar dalam
menyelesaikan segala permasalahan.
Teori Freud menjelaskan, pada dasarnya manusia punya insting
agresif atau insting kematian (death
instinct). Insting agresif mendorong manusia menghancurkan manusia lain.
Insting itu terbagi jadi laku agresif yang mengandung kebencian (hostile) dan yang memberikan kepuasan
tertentu. Tingkah laku hostile ditandai kepuasan yang diperoleh
karena lawan menderita, luka, atau sakit. Tingkah laku yang memberi kepuasan
ditandai kepuasan akibat lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Pemicu perilaku
Selain adanya faktor pencetus berupa hak untuk memiliki dan
menggunakan senjata, terutama senjata api, perilaku agresif juga dapat
diakibatkan beberapa hal yang memiliki keterkaitan secara psikologis dan
emosional. Secara normal, sebagaimana halnya polisi dan tentara, masyarakat
umum yang punya senjata biasanya berani menggunakan karena alasan seperti
merasa dilukai kehormatannya, diancam keselamatan jiwanya, dan dirampas haknya.
Pada prinsipnya, orang berbeda-beda dalam melihat ancaman. Dalam hal ini
Abraham Maslow menyatakan perasaan terancam menjadi stimulus dinamis reaksi
lain (Maslow: 1970). Maka, insting
agresif yang timbul merupakan naluri alamiah yang terdapat pada semua manusia.
Pembedanya adalah reaksi tiap insan terhadap setiap tindakan negatif yang
ditujukan kepada dirinya. Inilah yang dapat memicu penyimpangan apabila
terdapat kesempatan dan kewenangan memiliki senjata api.
Sebenarnya, jika angka kejahatan begitu tinggi dan sulit
dikontrol, izin penggunaan senjata api patut dipertimbangkan. Akan tetapi,
apabila angka kejahatan relatif dalam ambang toleransi, izin penggunaan senjata
api belum diperlukan. Dengan demikian, becermin pada pendapat Maslow bahwa
reaksi individu terhadap tindakan negatif bersifat dinamis, apa pun alasan yang
melatarbelakangi penembakan, ia tetap harus dapat sanksi sesuai hukum berlaku.
Ke depan, pemberian izin senjata api sebaiknya diperketat dengan melarang
kepemilikan senjata oleh warga sipil seperti di Jepang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar