|
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian, yang diinisiasi 29 tahun lalu, kini dirasakan sudah tak
relevan untuk menciptakan industri nasional kita yang lebih berdaya saing ke
depan.
Walau pertumbuhan industri cukup
menggembirakan selama pemerintahan SBY-Boediono, ada sejumlah isu global yang
potensial menekan daya saing jika tak diantisipasi melalui dukungan kebijakan
nasional yang reformatif. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA 2015), industri
hijau, standardisasi produk industri, serta implementasi sejumlah perjanjian
perdagangan bebas adalah contoh-contoh penekan dimaksud.
Sadar akan fakta di atas,
Kementerian Perindustrian mulai menginisiasi pembahasan RUU Perindustrian
dengan Komisi VI DPR sebagai pengganti UU No 5/1984 via rapat kerja pada akhir
Mei lalu. Apa sebenarnya yang mendasari urgensi kelahiran RUU ini dan apa yang
ingin dicapai dari pemberlakuannya?
Negara industri tangguh
Kita bermimpi menjadi negara
industri baru yang tangguh pada 2025, menyaingi negara-negara tetangga di Asia,
seperti Jepang dan Korea Selatan. Keinginan ini tidaklah mustahil dicapai jika
melihat realitas yang ada sekarang. Keragaman dan kuantitas sumber daya alam,
kecenderungan investasi di Indonesia oleh investor internasional, pertumbuhan
ekonomi yang konsisten sesuai dengan target, serta pertumbuhan industri di atas
pertumbuhan ekonomi nasional adalah ukuran-ukuran yang saling berpengaruh untuk
mewujudkan mimpi kita jika dikelola dengan baik.
Ada empat alasan RUU ini diusulkan.
Pertama, pasca-reformasi (utamanya otonomi daerah), sebagian urusan diserahkan
ke daerah, termasuk urusan di bidang industri. Akibatnya, banyak peraturan
daerah yang ditetapkan, tetapi bermasalah bagi pengembangan industri.
Kedua, era globalisasi dan
liberalisasi berdampak perubahan sangat cepat dan meluas bagi perekonomian
nasional ataupun internasional. Persaingan ketat merupakan dampak menonjol di
sektor industri seiring dengan tuntutan pelestarian fungsi lingkungan, HAM,
perlindungan hak kekayaan intelektual, serta perlindungan konsumen via produk
yang aman, sehat, dan berstandar.
Ketiga, perlu pengoptimalan
pemanfaatan sumber daya alam berdaya saing oleh industri nasional guna penciptaan
nilai tambah sebesar-besarnya di dalam negeri. Keempat, perlu peningkatan peran
dan keterlibatan langsung pemerintah dalam pengembangan industri nasional.
Keempat alasan di atas memiliki
keterkaitan erat sehingga jika diatur akan berdampak positif terhadap industri
nasional. Dampak tersebut terutama pada penguatan struktur industri,
pengoptimalan pendayagunaan sumber daya, serta dorongan pembangunan industri ke
seluruh wilayah dengan mengutamakan kepentingan nasional, kemandirian, dan
berorientasi kerakyatan. Solusi terhadap existing problems terbagi
habis sebagai substansi RUU ini.
Isu baru
Substansi industri yang diatur
dalam RUU ini mencakup tujuh hal utama: pembangunan sumber daya, pembangunan
infrastruktur, pemberdayaan, perizinan, investasi dan fasilitas, rencana induk
industri nasional, serta pemerintahan di bidang industri dan peran masyarakat
beserta pengawasan dan pengendalian. Namun, karena keterbatasan ruang,
pembahasan dibatasi pada isu-isu tertentu saja.
Pengelolaan peluang dan realitas
kinerja ekonomi menjadi prasyarat pencapaian negara industri baru yang
diinginkan. Ada beberapa isu strategis yang menjadi ukuran pengelolaan dalam
konteks ini.
Pertama, perwilayahan industri. Isu
ini bertujuan mendorong percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan
industri ke seluruh wilayah NKRI yang memiliki posisi tawar pada sumber daya
alam tertentu sekaligus untuk penguatan struktur industri nasional.
Pelaksanaannya mencakup pengembangan wilayah pusat pertumbuhan industri,
pengembangan kawasan peruntukan industri, pembangunan kawasan industri, serta
pengembangan sentra industri kecil dan menengah. Semua dilakukan dengan
pendekatan kluster berbasis komoditas tertentu.
Kebijakan ini dilatarbelakangi
fakta bahwa 60 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia dikontribusikan
dari Pulau Jawa karena memang 70 persen industri nasional tersebar di Jawa, 20
persen di Sumatera, dan sisanya di wilayah lain. Sementara wilayah dengan usaha
industri minim juga jadi basis bahan baku tertentu. Contoh, pembangunan
industri petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat, patut mendapat dukungan
nasional karena pembangunan industri ini berdampak terhadap substitusi nilai
impor produk petrokimia sekitar 6,6 miliar dollar AS. Demikian halnya terhadap
usaha industri garam di Nusa Tenggara Timur yang berdampak terhadap pencapaian
swasembada garam.
Kedua, pengendalian sumber daya
alam untuk industri. Untuk memperkuat industri nasional, sumber daya alam
nasional, baik sebagai bahan baku, bahan penolong, energi, maupun air baku untuk
industri, harus dikendalikan. Ini berarti eksportasi sumber daya alam ke depan
tidak diperbolehkan, kecuali jika kebutuhan industri dalam negeri sudah
terpenuhi.
Kebijakan ini bermuara pada
penguatan program hilirisasi industri yang mengutamakan nilai tambah. Mengapa
kebijakan ini diadakan? Fakta menunjukkan, walaupun kita memiliki sumber daya
alam yang beragam dan berlimpah serta berkemampuan memperbarui dirinya dari
sisi jumlah dan biomassa dalam konteks sumber daya alam hayati, kualitas dan
kuantitas sumber daya tersebut menurun menurut waktu. Tentu sumber daya alam
nonhayati seharusnya lebih ketat pengelolaannya karena sifat yang melekat pada
dirinya sehingga kecepatan degradasi akibat eksploitasi relatif dapat
diprediksi dengan pasti. Di sinilah esesensi hilirisasi industri demi penguatan
pertumbuhan industri dan sekaligus pertumbuhan ekonomi ke depan.
Semoga kebijakan ini membawa
manfaat untuk mewujudkan mimpi kita secara nasional ke depan dan mendapat
dukungan positif dari anggota Dewan yang terhormat di Senayan dan diundangkan
dalam waktu yang cepat. Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar