|
Publik sepertinya sudah bosan dengan
model pemimpin yang pinter, cerdas, dan berwibawa. Ada kerinduan luar biasa
terhadap sosok pemimpin yang tidak hanya jujur, adil, dan tegas, tapi juga
mengayomi, bersahaja, dan dekat dengan rakyat.
Diakui atau tidak, berbagai hasil survei yang menempatkan
Joko Widodo dalam peringkat teratas ialah representasi kerinduan tersebut.
Kesediaan Jokowi menyapa rakyat hingga ke kampung kumuh betul-betul meruntuhkan
jarak yang selama ini memisahkan pemimpin dan rakyat. Kepemimpinan yang
merakyat bukan hanya diucapkan, melainkan dipraktikkan. Kerinduan terhadap
sosok pemimpin seperti ini akumulasi kekecewaan terhadap para pemimpin bangsa
yang tak membawa dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas hidup, khususnya
masyarakat kurang beruntung. Petani miskin, buruh pabrik, nelayan, pedagang
kecil, pemulung, tukang ojek, dan kelompok sosial lain yang kurang beruntung
nyaris tak berubah nasibnya meski pemimpin silih berganti.
Bencana
Kepemimpinan dewasa ini hanya mengandalkan akseptabilitas.
Segala cara ditempuh agar bisa dikenal, diterima, dan kemudian dipilih. Begitu
ia terpilih, ceritanya jadi berbeda. Tentu saja akseptabilitas penting. Dengan
akseptabilitas, kepemimpinan tak akan mudah digoyang karena punya legitimasi
kuat.
Namun, tanpa kapabilitas, pemerintahan hanya akan menghasilkan kinerja
amburadul. Ironisnya, pascareformasi, kepemimpinan bangsa ini tak hanya minim
kapabilitas, tetapi juga integritas. Padahal, akseptabilitas dan kapabilitas
hanya mampu menjawab pertanyaan bagaimana kekuasaan dikelola dan keabsahannya
dalam menjalankan kekuasaan. Pertanyaan ”untuk apa atau untuk kepentingan siapa
kepemimpinan dijalankan” hanya bisa dijawab oleh integritas. Tanpa integritas,
pemerintah terus terjebak pragmatisme yang hanya melanggengkan kekuasaan.
Seseorang yang memilih jadi pemimpin pada dasarnya sedang
mewakafkan hidupnya untuk orang lain. Pemimpin berpikir, bertindak, dan bekerja
bukan untuk dirinya, keluarganya, atau kerabatnya, melainkan untuk masyarakat,
untuk rakyat. Jika seorang pemimpin keluar dari prinsip ini, pada dasarnya dia
bukan pemimpin. Sayangnya, kepemimpinan nasional pascareformasi sepertinya
makin jauh dari prinsip ini.
Akibatnya, rakyat pun ikut menjauh. Inilah bencana
kepemimpinan nasional. Bencana ini bermula ketika pemimpin yang silih berganti
tak melalui proses pematangan. Parpol sebagai lembaga pengaderan pemimpin
berubah jadi lembaga pelanggengan kepemimpinan oligarki. Tak ada partai yang
melahirkan tokoh. Yang terjadi sebaliknya: tokoh melahirkan partai.
Konsekuensinya, rotasi kepemimpinan hanya melingkar di sekeliling sang tokoh.
Ada kontestasi yang tidak sehat dalam seleksi kepemimpinan.
Akibatnya, pemimpin lebih tunduk ke partai ketimbang rakyat.
Padahal, mandat mereka dari rakyat, bukan dari partai. Ini membuat seleksi
kepemimpinan tak bisa diakses calon pemimpin yang lebih menjanjikan.
Kepemimpinan oligarki diperkuat patrimonialisme politik yang merasuk sedemikian
rupa dalam mesin kekuasaan. Sebagaimana dikemukakan Ignas Kleden (1999),
patrimonialisme kekuasaan terutama ditandai penerapan norma- norma kekeluargaan
dalam kehidupan negara. Negara ibarat sebuah keluarga besar. Kepala negara dan
kepala pemerintahan tak ubahnya ”bapak” yang bertindak sebagai ”kepala
keluarga”. Hubungan kepentingan antarberbagai kelompok politik dipandang sama
dengan hubungan antarsaudara dalam sebuah rumah tangga.
Pelembagaan
Dalam budaya kekuasaan yang patri- monialistik, hubungan
antara pejabat negara dan rakyat tak didasarkan aturan- aturan birokrasi yang
rasional dan modern, tetapi lebih pada kedekatan hubungan personal di antara
orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagaimana layaknya dalam suatu
keluarga.
Karena itu, kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan figur
sentral, sebagaimana figur bapak dalam keluarga. Dengan watak kekuasaan yang
mengandalkan kebaikan pemimpin sebagai ”bapak”, rakyat dipersuasi sedemikian
rupa bahwa birokrasi pemerintah melayani dan memenuhi kebutuhan publik
dikarenakan kebaikan pemimpinnya. Pengandaian ini berbahaya karena seolah-olah
tanggung jawab negara terhadap rakyat didasarkan hanya pada kebaikan hati sang
pemimpin.
Untuk kepentingan jangka pendek, kepemimpinan patrimonial
seperti itu bisa menjawab kerinduan publik terhadap pemimpin yang, dalam bahasa
anak muda, ”baik hati dan tidak sombong”. Namun, untuk jangka panjang, model
kepemimpinan yang baik hati ini tak cukup. Problem bangsa ini terlalu kompleks
untuk ditangani hanya dengan model kepemimpinan yang baik hati. Ketergantungan
terhadap figur telah menjebak bangsa ini selalu jadi alat permainan
pemimpinnya. Bangsa ini percaya pemimpin yang baik membuat nasib rakyat menjadi
baik. Pemimpin buruk membuat rakyat terpuruk. Sungguh naif meletakkan nasib
jutaan rakyat hanya di pundak seorang pemimpin. Itulah nasib bangsa yang
membiarkan kepemimpinan berjalan secara alamiah.
Kepemimpinan terlalu penting untuk dibiarkan berjalan secara
alamiah. Pemim- pin berkarakter harus dilahirkan, bukan ditunggu kelahirannya.
Revitalisasi parpol sebagai pengaderan kepemimpinan mutlak diperlukan. Kelompok
masyarakat sipil berkewajiban membangun laboratorium kepemimpinan tempat
tunas-tunas pemimpin masa depan tumbuh dan berkembang. Harus ada rekayasa
sosial agar calon pemimpin yang baik hati tak layu sebelum berkembang. Dengan
demikian, ketika tiba saatnya jadi pemimpin, dia tahu apa yang akan dilakukan, bagaimana
melakukan, dan untuk apa melakukannya.
Dia bertanggung jawab tak hanya terhadap apa yang dilakukan,
tetapi juga terhadap apa yang tak dilakukan, padahal seharusnya dilakukan.
Seorang pemimpin berbuat baik kepada rakyat, memenuhi kebutuhan publik, bukan
karena dia baik hati, tetapi karena kepemimpinan yang dijalankannya memang
secara sistematik mengharuskannya berbuat begitu. Kepemimpinan seperti ini
hanya bisa dilakukan melalui proses pelembagaan sedemikian rupa, baik sebelum
maupun setelah menjadi pemimpin. Harus ada aturan perundangan yang memastikan
pemimpin bekerja untuk rakyat, bukan untuk lainnya. Aturan perundangan itu juga
mengatur mekanisme pengawasan sedemikian rupa sehingga pemimpin tak mudah
tergoda menyelewengkan kewenangannya. Kepemimpinan yang baik membuat pemimpin
menjadi baik, bukan sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar