|
Ketika Indonesia sebagai
negara-bangsa terbentuk 68 tahun lalu, saya yakin para bapak bangsa sudah
memprediksi bahwa salah satu masalah krusial era Indonesia merdeka adalah
persoalan pangan.
Tak mengherankan jika Bung Karno
mengatakan, pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan
pangan rakyat tidak dipenuhi, makan malapetaka. Oleh karena itu, perlu usaha
secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner
Konstruksi berpikir fundamental
seperti itu bermakna: kelangsungan hidup bangsa sejatinya ditentukan bukan oleh
invasi militer, konflik ideologi, dan kontestasi politik, melainkan oleh
ketersediaan pangan. Pertumbuhan penduduk yang relatif besar, yaitu 1,3 persen
setahun, dan peningkatan signifikan kelas menengah, secara konsisten akan jadi
ancaman jika tidak diikuti jumlah produksi, kualitas, dan kulinerologi pangan
nasional.
Sejauh ini, ada lima komoditas yang
selalu memercikkan isu politik, utamanya menjelang Lebaran dan Tahun Baru,
yaitu padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Tanpa kemampuan swasembada
kelima komoditas tersebut, kemerdekaan pangan sebagai sinonim dari kedaulatan
pangan tidak akan pernah terjadi di Bumi Pertiwi.
Akurasi data
Sebagai pelaku usaha di bidang
pangan, saya merasa semua kebijakan pangan sebenarnya masih berkutat pada
urusan ”politisasi pangan”, belum bergerak menuju ketahanan pangan, apalagi
kemerdekaan pangan. Gerak bersama seluruh komponen bangsa kurang padu jika tak
boleh disebut tak acuh, dalam mewujudkan kemerdekaan pangan.
Hal itu bisa dilihat dari keraguan
banyak pihak terwujudnya target produksi kelima komoditas pangan yang memanggul
sensitivitas politik pada 2014. Produksi padi ditargetkan 76,57 juta ton,
jagung 20,82 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 3,1 juta ton, daging sapi
530.000 ton.
Keraguan dipicu persoalan akurasi
data mengenai produksi pertanian dan kebutuhan obyektif penduduk yang sejauh
ini belum jelas. Jangankan awam, pelaku usaha pun tidak tahu persis besarnya
hasil panen dan kebutuhan padi, jagung, singkong, kedelai, dan komoditas lain.
Juga tidak tahu persis biaya lahan, redistribusi lahan, biaya air yang dibayar
petani kepada penjaga di pintu irigasi, biaya keamanan agar tidak dijarah.
Semua itu tak ada datanya. Namun, bisa disimpulkan bahwa pangan melekat padanya
biaya ekonomi tinggi.
Selain itu, rasio lahan pertanian
pangan per kapita kita juga kecil, hanya 359 meter persegi. Sangat sempit bila
dibandingkan dengan Vietnam (959,9 meter persegi/kapita), Thailand (5.225,9
meter persegi), India (1.590,6 meter persegi), China (1.120,2 meter persegi),
Amerika Serikat (6.100 meter persegi).
Berangkat dari gambaran itu, tanpa
data yang akurat tidak ada titik pijak pemenuhan hak setiap warga negara untuk
mendapatkan kecukupan pangan (karbohidrat) dan nutrisi (asupan protein dan
mineral) sesuai pesan konstitusi. Selain itu, bisa dipastikan tidak ada sense
of crisis dari para pengambil keputusan, khususnya kalau sudah menyangkut
lintas departemen. Akibatnya, 52 persen dari total irigasi di Tanah Air rusak.
Dengan kondisi seperti itu,
ancangan swasembada padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi pada 2014
diperkirakan meleset. Terlebih lagi mitigasi iklim dan bencana tak sepenuhnya
jadi patokan untuk mengukuhkan kebijakan menuju kemerdekaan pangan. Lemahnya
akurasi data juga mengendurkan kesungguhan para pemangku kepentingan melakukan
diversifikasi pangan, perubahan budaya makan, dan pengembangan kulinerologi.
Apabila situasi ini berlangsung
terus, tak tertutup kemungkinan sebuah diktum akan berlaku: ”tanpa kemerdekaan
pangan tak ada kemerdekaan politik”. Maknanya, bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang mudah ”ditundukkan” oleh bangsa-bangsa lain jika tanpa kemerdekaan pangan.
Realitas tersebut seharusnya
memperkuat kesadaran agar tidak silap dengan fenomena kegiatan pertanian yang
tampaknya sangat dinamis di desa-desa. Karena bersamaan dengan itu, impor komoditas
pertanian terus berlangsung dan dalam volume yang kian besar. Ketidaksesuaian
antara output produksi dan konsumsi riil ini menjadi jurang menganga
bagi perwujudan kemerdekaan pangan nasional.
68 tahun ke depan
Bayangkan Indonesia 68 tahun ke
depan di mana ”sawah” dan ”perkebunan” modern, variasi jenis pangan, dan
kulinerologi memuliakan bangsa dengan asupan nutrisi dan mineral yang kaya.
Semua anak bangsa jadi sehat dan cerdas. Indonesia menjadi pemasok gizi dunia.
Semua itu bisa terwujud bila ada kedisiplinan
bersama dan ketegasan para pembuat keputusan untuk menegakkan manajemen
pertanian yang ketat. Selain itu, Indonesia sebagai negara maritim seharusnya
punya pilihan strategis yang spesifik menyangkut konsep pertanian, pangan, dan
sistem klusternya. Merdeka! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar