|
MAHKAMAH Konstitusi (MK) merupakan salah satu pilar utama
yang menopang sekaligus merupakan buah dari konstitusi hasil amendemen
pascareformasi 1998. Eksistensinya untuk menjaga konstitusionalitas produk
legislasi berupa undang-undang (UU) menjadi salah satu prasyarat utama tegaknya
sebuah negara hukum modern. Hal itu disebabkan konstitusi sebagai dokumen
kontrak politik tertinggi dalam suatu negara harus dilaksanakan sesuai dengan
roh kesepakatan politik di saat konstitusi itu dibentuk, sekaligus diaktualisasikan
sesuai dengan nilai-nilai dan preferensi-preferensi keadilan sosial yang
berkembang dalam masyarakat.
Oleh
karena itu, MK sebagai the highest and
the sole interpreter of the constitution tak lain adalah sebuah institusi
yang menjadi tulang punggung tegaknya konstitusi di sebuah negara. Hal ini
dimaksudkan agar konstitusi di suatu negara, meminjam terminologi Hermann
Heller, dapat difungsikan sebagai cermin kehidupan sosial politik yang nyata
dalam masyarakat atau cermin dari faktor-faktor kekuatan riil dalam masyarakat.
Dengan
posisinya sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution), MK harus tetap memastikan bahwa konstitusi
pascaamendemen tetap menjadi organisasi dan bangunan hukum (forma formarum) republik reformasi ini.
Di awal, pengisian jabatan unsur-unsur hakim MK dengan sederet persyaratan
personal harus dipenuhi dan pembentuk UU MK telah menentukan bahwa pintu masuk
dari para hakim MK tersebut adalah melalui tiga pilar kekuasaan negara, yaitu
ditunjuk oleh presiden, DPR dan MA.
Sehingga,
kesembilan hakim MK tersebut menjadi penyeimbang dari konstelasi checks and balances dari eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang tecermin dari jumlah sembilan hakim MK yang
merepresentasikan ketiga pilar kekuasaan negara tersebut secara proporsional,
dengan jaminan independensi baik secara struktural/institusional, personal
maupun fungsional dari para hakim MK tersebut.
Keraguan
publik yang kian menguat paling tidak disebabkan oleh dua hal, pertama, isu
netralitas hakim MK yang mencuat sesudah penunjukan Patrialis Akbar sebagai
hakim MK oleh Presiden. Kedua, problematik hukum seputar perpanjangan masa
jabatan ketua MK dikaitkan dengan mekanisme pemilihan Ketua MK yang dikonstruksi
oleh UU MK (UU No 24/2003 jo UU No 8/2011). Kedua isu publik tersebut
sebenarnya harus ditafsirkan secara semiotis sebagai keinginan publik agar MK
tetap menjaga independensi sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi.
Abaikan transparansi
Pertama,
isu netralitas hakim MK. Persoalan yang timbul dalam penetapan Patrialis
sebagai hakim MK yang dilakukan oleh Presiden sebagai pimpinan tertinggi
eksekutif (the chief of executive)
lebih terkait pada tata cara/ mekanismenya, bukan semata-mata terkait pada
persoalan personal yang ditunjuk. Meskipun UU MK memberikan ruang kepada
Presiden untuk menunjuk seseorang menjadi hakim MK, UU MK menghen daki agar
mekanisme penunjukan itu dilakukan secara partisipatif dan transparan. Selama
ini, kedua indikator itu terkesan tak digunakan selama proses penetapan
Patrialis yang sebelumnya sempat menjadi politikus PAN dan Menteri Hukum dan
HAM.
Koalisi
LSM menggugat bahwa kebijakan yang dibuat Patrialis saat menjabat Menteri Hukum
dan HAM sering dianggap kontroversial dan tak sejalan dengan semangat
pemberantasan korupsi. Pada masa jabatannya pula, grasi untuk Syaukani, mantan
Bupati Kutai Kartanegara yang terlibat korupsi, diberikan. Koalisi menilai
tidak partisipatif dan tidak transparannya penunjukan ini dinilai merupakan
`kompensasi politik' Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah mencopot
Patrialis dari kursi menteri.
Gugatan
tersebut sebenarnya menjadi sinyal kemungkinan adanya delegitimasi personal
terhadap posisi Patrialis sebagai hakim MK. Bukan tak mungkin juga akan
berdampak secara institusional berupa kian rendahnya kepercayaan publik, dan
delegitimasi institusional terhadap eksistensi MK yang selama ini menjadi
kebanggaan masyarakat.
Pada
saatnya, politisasi yang aromanya sangat kuat tercium selama proses penetapan
Patrialis sebagai hakim MK, di akhir masa jabatan SBY sebagai Presiden RI,
berpotensi menjadi `bom waktu' bagi MK sebagai institusi yang selama ini
dipercaya oleh publik. Joel G Verner pernah mengemukakan bahwa konsep
independensi peradilan mensyaratkan adanya imunitas dari fungsionaris peradilan
tersebut dari pengaruh substansial (substantial
inteference) para aktor politik maupun pemerintahan. Proses kompensasi
politik dalam mekanisme penetapan seorang calon hakim oleh eksekutif seperti
yang terlihat di atas akan menjadi kendala serius bagi MK untuk mempertahankan
independensinya.
Domain MK
Kedua, problematik hukum seputar
perpanjangan masa jabatan Ketua MK dikaitkan dengan mekanisme pemilihan Ketua
MK yang dikonstruksi oleh UU MK (UU No 24/2003 jo UU No 8/2011). Dalam Pasal 4
ayat (5) UU MK yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MK RI No 01/PMK/2003
yang kini diperbarui melalui Peraturan MK
RI No 03/PMK/2012 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, telah diatur
sangat jelas bahwa pemilihan ketua dan wakil ketua merupakan domain internal MK
untuk menjaga independensi dan netralitas struktural, personal dan fungsional MK.
Namun, jika mencermati proses
perpanjangan masa jabatan ketua MK yang baru saja dilaksanakan, ternyata menyisakan
permasalahan hukum. Mekanisme perpanjangan jabatan ketua MK yang sudah habis
masa jabatannya pada 16 Agustus 2013 dilakukan di Komisi III DPR RI dan ditetapkan
perpanjangannya oleh Presiden sebagai kepala negara (the head of state). Pemilihan itu seharusnya menjadi domain MK,
bukan DPR maupun presiden. Perpanjangan jabatan sebagai hakim MK memang
ditetapkan oleh presiden sebagai kepala negara, tetapi pemilihan jabatan ketua
dan wakil ketua MK seharusnya melewati mekanisme internal MK. Perpanjangan
seharusnya hanya dilakukan terhadap jabatan hakim MK, bukan jabatan struktural
di lingkungan MK oleh institusi di luar MK.
Kedua
isu hukum di atas menjadi catatan yang sangat penting untuk diperhatikan karena
bisa menyebabkan terjadinya delegitimasi publik terhadap institusi MK. Peran
sebagai the sole interpreter of the
constitution dengan putusan tanpa upaya paksa yang menjadi ciri dari MK
menghendaki kepercayaan dan dukungan rakyat terhadap kredibilitas (para hakim)
MK. Hal ini menjadi tantangan serius bagi MK untuk tetap menjaga kewibawaan
institusi dan sekaligus kepercayaan publik terhadap eksistensinya sebagai salah
satu pilar reformasi. Jangan sampai MK disubordinasi oleh kekuatan politik
ekstra yudisial yang di masa Orde Lama dan Orde Baru telah meruntuhkan wibawa
institusi peradilan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar