|
JIKA kita melihat orang-orang yang tengah berupaya begitu getol agar
dapat menjadi presiden dalam Pemilu 2014, kita pun akan menyadari betapa mereka
adalah orang-orang lama. Artinya mereka akan membawa keseluruhan pengalaman
masa lalunya apabila terpilih memimpin negara.
Kecuali
Megawati Soekarnoputri, semua tokoh yang masih berminat menjadi presiden adalah
orang-orang yang terkait dengan Orde Baru. Adapun Megawati adalah tokoh lama
yang pernah menjabat presiden tanpa prestasi menonjol. Maka ketika membayangkan
kepemimpinan tokoh-tokoh lama itu yang muncul adalah kepemimpinan tanpa
komitmen yang jelas dan teguh untuk perwujudan Indonesia yang sejahtera
berkeadilan. Pemilihan umum 2014 pun hanya akan menjadi hajatan mahal tanpa
keuntungan bagi rakyat jelata.
Mengapa dua
masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak membawa perubahan
signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan berkeadilan? Itu karena sesungguhnya
pemerintahan sang presiden hampir sepenuhnya diisi oleh orang-orang lama yang
terkait Orde Baru. Tidak terkecuali, orang-orang yang oleh rakyat didudukkan
secara sah sebagai anggota legislatif dan yudikatif adalah terusan dari
Indonesia lama.
Mereka
memerintah dengan mental Orde Baru yang berakar kuat dalam diri. Akan tetapi,
mau bagaimana lagi. Mereka itulah yang secara sah dipilih oleh rakyat dalam dua
pemilu terakhir. Rupa-rupanya rakyat Indonesia tidak dapat diandalkan untuk
membuat pilihan yang memaslahatkan diri mereka.
Salah pilih
Ketika kecewa,
kita cenderung menyalahkan para pemimpin yang sedang berkuasa. Kita lupa bahwa
yang mendudukkan mereka di singgasana kekuasaan adalah kita sendiri. Diperlukan
sebuah pengakuan jujur bahwa sesungguhnya yang paling bersalah rakyat sendiri,
rakyat yang salah memilih pemimpin, rakyat yang keliru menyerahkan kekuasaan ke
tangan orang-orang lama yang menjadikan Indonesia tetap seperti dulu: Indonesia
yang menguntungkan kelompok elite dan terlalu banyak merugikan rakyat jelata.
Apakah dulu,
sewaktu membuat pilihan, rakyat tidak menggunakan kebebasan dan kemerdekaan
jiwa mereka? Demokrasi yang dielu-elukan sebagai pembawa dan penjamin kebebasan
dan kemerdekaan individu telah menciptakan kenyataan yang tidak gampang
dimengerti, kenyataan bahwa rakyat yang katanya dijamin kemerdekaannya justru
tidak berdaya mengejawantahkan itu dalam pilihan-pilihan rasional.
Sebenarnya ada
yang lebih kuat dari sekadar demokrasi. Ia adalah kekuatan khazanah mental yang
rentan, tetapi terus bekerja dalam diri, tanpa sang diri menyadarinya. Kekuatan
itu tanpa disengaja, tanpa disadari, menggerakkan seluruh diri untuk mewujudkan
sebuah pilihan. Kekuatan ini tetap memberangus kebebasan dan kemerdekaan
individu kendati si individu hidup di dunia demokratis.
Manusia
memiliki keberhargaan yang tinggi karena ia dapat menggunakan kebebasan dan
kemerdekaannya untuk memilih sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi diri dan
sesama. Karena itu, individu perlu menjadi jujur terhadap diri sendiri untuk
mengakui betapa sulitnya menjadi berharga dan tetap berharga. Setelah menjadi
jujur pun tidak ada jaminan bahwa individu akan bebas dan merdeka dan berharga.
Namun, tanpa jujur, individu akan makin sulit belajar untuk menjadi bebas,
merdeka, dan berharga.
Di tengah usaha
seadanya untuk jujur, bertumbuh imajinasi tentang sumber-sumber kerentanan.
Salah satunya adalah daya digdaya yang selama ini telah dan sekarang pun masih
terus bekerja memanipulasi khazanah mental yang rentan.
Daya itu adalah
teknologi komunikasi dan media. Semua orang lama itu lalu dapat menjadi patut
disebut ”pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia” hanya karena kuasa
teknologi komunikasi dan media, bukan karena hal-hal bernilai seperti dedikasi,
kejujuran, altruisme, dan kasih. Ini sesungguhnya mengerikan. Dan, kita seperti
dipaksa untuk tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengerikan.
Mental yang
rentan
Khazanah mental
itu pun rentan pada dirinya. Di dalamnya ada kerentanan rangkap tiga: suka
suap, mudah lupa, dan malas berpikir. Sangat dapat terjadi, pilihan-pilihan
yang keliru di masa lalu, kesalahan dalam memilih pemimpin, terkait erat dengan
kerentanan rangkap tiga itu, bahkan bersumber padanya. Kerentanan tripel itu
bersarang tidak saja dalam khazanah mental individu. Ia juga bercokol kuat
dalam ruang luas kolektif.
Yang terakhir,
realitas kekuatan rakyat kecil yang relatif amat lemah dibandingkan dengan
elite. Kendati tahun 1998 kekuatan rakyat begitu hebat sampai Soeharto pun
terguling, anehnya zaman kemudian kembali menelikung rakyat kecil sehingga
hasil akhirnya menjadi kemenangan elite.
Khazanah mental
begitu kompleks dan tidak terduga. Bisa saja tokoh yang sungguh bernilailah
yang nanti didudukkan oleh rakyat sebagai pemimpin baru. Orang-orang lama yang
bertahun-tahun terus mematut-matut diri agar dipilih menjadi pemimpin justru
pada saatnya tidak dipilih oleh rakyat. Namun, kerumitan dan ketidakterdugaan
khazanah mental tidak meniadakan keperluan setiap orang yang ingin tetap
berharga, untuk mengurangi kerentanan-kerentanannya sendiri.
Yang pasti
rakyat perlu menolak suap, mengingat catatan perjalanan setiap calon pemimpin,
dan bertahan dalam berpikir kritis rasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar