|
DITANGKAPNYA
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKK Migas) Rudi Rubiandini (14/8) oleh KPK atas tuduhan menerima suap US$700
ribu dari Kernel Oil sangat mengejutkan masyarakat Indonesia. Begitu besar
pengorbanan rakyat sebagai dampak kebijakan migas yang amburadul. Yang didapatkan
adalah kenyataan bahwa kekayaan perut bumi ini ternyata dibuat bancakan
segelintir kelompok untuk keuntungan sendiri.
Penaikan harga BBM (22/6) sebesar
22,22%-44,44%, misalnya, merupakan konsekuensi karena kegagalan target lifting
yang sudah direncanakan. Dampaknya ialah melesetnya penerimaan negara dari
sektor migas.
Negara akhirnya tidak mampu
mengimpor kekurangannya dari kocek APBN, pintu terakhir penaikan harga BBM
akhirnya tidak terelakkan lagi.
Fakta kongkalikong petinggi SKK
Migas tentu membuat miris negeri ini. Sudah jamak apabila perilaku pucuk
pimpinan selalu diikuti bawahannya.
Tidak terbayangkan lagi bagaimana
karut-marut kebijakan migas jika sudah seperti ini. Kasus Rudi amat mungkin
hanya fenomena gunung es.
Selama ini rakyat sudah curiga dengan
salah satu mekanisme trade-off lifting yang
dilaporkan tiap-tiap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Logikanya, jika
nilai cost recovery semakin besar
diklaimkan untuk mendapatkan reimburse,
seharusnya volume lifting juga
bertambah. Di Indonesia terjadi anomali, nilai cost recovery semakin besar, tetapi produksi minyak makin merosot.
Produksi minyak mentah pada
1980-an yang mencapai 1,6 juta barel per hari (bph) dan masih bertahan di atas
1 juta bph sampai 2002, belum terpecahkan sampai kini. Malah ketika BP Migas
sudah dibentuk, tingkat lifting minyak kian merosot. Pada 2003, lifting masih
di kisaran 1,1 juta bph, berikutnya menjadi 1,09 juta bph (2004). Pada 2005,
lifting malah di bawah titik psikologis 1 juta, yakni hanya 999 ribu bph.
Padahal, target APBN ialah 1,075 juta bph. Tahun berikutnya (2006) lifting kian
jatuh 959 ribu bph atau di bawah target 1 juta bph.
Target lifting pada 2007
diturunkan menjadi 950 ribu bph, betapa pun realisasi lifting 899 ribu bph.
Pada 2008 realisasi 978 ribu bph (target APBN 1,034 juta bph), 2009 dihasilkan
945 ribu bph (target 960 ribu bph), 2011 hanya mampu 898 ribu (target 975 ribu
bph). Pada 2012, realisasi lifting ternyata 861 ribu bph, padahal target APBN
930 ribu bph.
Pada tahun ini realisasi lifting sementara
masih 830 ribu bph dengan target 840 ribu bph yang sudah diturunkan, tetapi
untuk mencapainya juga sangat susah payah.
Terus meningkat
Ironisnya ketika lifting yang
menjadi andalan untuk mencegah defisit APBN itu tidak pernah tercapai, BP Migas
malah menjadi pelopor kenaikan cost
recovery yang harus dibayarkan negara kepada kontraktor migas sebagai
kompensasi saat eksplorasi dan produksi. Pada 2003 nilai cost recovery masih US$5,1 miliar, kemudian menjadi US$7,126 miliar
(2004), bertambah menjadi US$7,4 miliar (2005), terus naik menjadi US$7,8
miliar (2006) dan US$8,34 miliar (2007). Pada 2012, nilai cost recovery sudah
double digit US$13,34 miliar dengan lifting hanya 860 ribu bph, dan kini akan
bengkak menjadi US$17,5 miliar.
Jika dihitung per satuan unit,
nilai cost recovery per barel adalah US$11,1 pada 2004, naik menjadi US$11,54
(2005), kemudian eskalasi US$12,13 (2006) dan menjadi US$14 (2007). Ini tentu
ironis karena lifting minyak rata-rata turun 3,3 % per tahun, sementara cost
recovery mengalami eskalasi dengan kenaikan rata-rata 6% per tahun. Pada 2012,
nilai cost recovery per barel sudah sangat luar biasa, yaitu US$42,62 per barel
dan tahun ini akan menjadi US$58,57 per barel.
Bau rekayasa cost recovery sudah tidak tertahankan lagi. Berkembang dugaan di
masyarakat bahwa sebetulnya lifting memang besar, tetapi terjadi deal
tersendiri antara penambang KKKS dan oknum SKK Migas dengan motif untuk
keuntungan sekelompok orang.
Siapakah yang mampu memonitor
volume produksi KKKS yang mengebor minyak di lepas pantai di tengah laut? Dalam
jangka pendek mungkin petugas SKK Migas teguh bertahan dengan prinsip. Namun,
siapakah yang mampu menahan godaan gemerencing jutaan dolar dalam jangka
panjang? Inilah saat ketika moral hazard
terjadi, antara petugas pemeriksa dari SKK Migas dan KKKS.
Dalam berbagai wawancara
elektronik, kredibilitas Rudi Rubiandini pada awalnya cukup meyakinkan. Namun,
pascapenangkapan dirinya dalam operasi tangkap tangan (OTT), figur yang seolah
putih bersih ternyata tidak bisa dipercaya. Jika Prof Dr Ing Rudi Rubiandini
bersikap seperti ini, bagaimana portofolio pejabat SKK Migas di bawah Rudi?
Bagaimana pula kredibilitas petugas SKK Migas yang tersebar di daerah terpencil
sampai yang bertugas di tengah-tengah laut?
Beberapa waktu lalu juga terjadi
kasus bioremediasi yang menggegerkan. Kasus yang membelit eksekutif PT Chevron
Pacific Indonesia (CPI) kemungkinan kongkalikong lain dari oknum SKK Migas
sendiri. Modusnya mark-up dana proyek
bioremediasi US$9,9 juta di Riau pada 2006-2011 untuk diakui sebagai bagian
dari cost recovery. Inilah rekayasa financial engineering itu, jadi sama
sekali tidak berkorelasi dengan mekanisme over/under
lifting settlement dalam production sharing contract (PSC).
Jeratan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo perubahannya UU No
20/2001 Pasal 55 jo KUHP Pasal 64 oleh Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat. Perbuatan
ini memenuhi unsur kriminal dan merupakan tindakan moral hazard pelaku bisnis kategori serius.
Kerugian kepada negara cukup besar yang pada saat ini seharusnya menghitung
dengan cermat setiap sen yang disebabkan anggaran negara demikian bleeding.
Moratorium
Inilah politik salah kaprah dalam
menyambut investor. Kampanye karpet merah untuk investor migas dan untuk
menyenangkan investor asing tidak perlu disikapi dengan cara berlebihan, karena
malah tidak menguntungkan bagi Indonesia. Secara psikologis Indonesia inferior,
sementara investor asing tersebut superior.
Dampak supremasi ini akan
diwujudkan dengan cara-cara seperti terjadi dalam transaksi cost recovery atau proyek bioremediasi
tersebut. CPI atau KKKS tentu saja sudah berhitung bahwa keberaniannya
disebabkan oknum pejabat Indonesia yang menjadi pengawasnya juga bertindak
mendapatkan keuntungan pribadi, sama biadabnya.
Inilah
fakta yang terang benderang bahwa ada moral
hazard pada bisnis migas Indonesia. Jika sudah demikian sebaiknya migas
Indonesia dimoratoriumkan dan SKK Migas dibubarkan saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar