|
Kita tentu masih ingat Bung Karno,
pada awal kemerdekaan dulu pernah mengasosiasikan dalam frase puitis tentang
kemerdekaan kita sebagai "jembatan emas" yang penting menuju
kemerdekaan yang lebih hakiki. Bahwasanya, mengisi kemerdekaan itu jauh lebih
berat tantangannya ketimbang berjuang mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Keharusan inilah yang menjadi problem dan belum dapat kita penuhi sampai hari
ini.
Untuk memenuhi hal itu, kita perlu
memiliki kemerdekaan sebagai pribadi mandiri, yang merupakan kesadaran
inklusif. Dengan kemerdekaan ini, kita mampu berikhtiar dan membedakan secara
tegas mana yang baik dan buruk, serta mana yang benar dan salah. Orientasi kita
adalah mengedepankan sikap-sikap positif yang berguna bagi masyarakat, bangsa,
negara, dan umat manusia, serta alam lingkungan. Sikap penuh dedikatif,
patriotisme, altruisme, kompetitif, optimisme, dan seterusnya menjadi
sikap-sikap yang kita utamakan.
Tak adanya kemerdekaan, makin
menonjol dalam masa pascareformasi. Setelah jatuhnya Orde Baru dan berganti
masa reformasi, tanpa tersadari, kita justru terjebak dalam belenggu besar
korupsi dan suap yang sangat parah di negeri ini. Kondisi korup ini, selain
menurunkan citra bangsa di mata internasional, juga merugikan keuangan negara
yang berefek pada penghambatan penyejahteraan rakyat. Suatu realitas, korupsi
dan suap kini sudah merasuk ke segala lini, tak peduli lembaganya apa, merusak
sistem yang ada, termasuk para oknum pejabat mana pun.
Harapan pendahulu bangsa, kini
seperti berbanding terbalik. Kegilaan akan materi para koruptor seperti telah
menjadi aparatus dan telah sedemikian jauh mengoyak nilai kearifan yang
seharusnya menafasi gerak aktivitas dan kreativitas. Materi, yang secara
ontologis seharusnya kita posisikan sebagai instrumen hidup, justru telah
menjadi belenggu yang maha hebat yang mengontaminasi jiwa dan seperti
menggantikan kekejaman berlipat-lipat si penjajah dahulu. Dan, si terjajah
seperti lupa dan terlena serta begitu menikmati keterbelengguan itu, sehingga
rela mengorbankan apa saja demi pemerolehan materi: mengorbankan profesi,
moralitas, kejujuran, dedikasi, persaudaraan, dan segala macam nilai yang
seharusnya menjiwai sebagai penyemangat untuk melakukan yang terbaik bagi
masyarakat dan bangsa.
Korupsi dan suap di negeri kita
ini seolah-olah dianggap sebagai tren dan model saja yang dapat diikuti oleh
siapa saja. Dan, anehnya, sepertinya orang yang melakukan korupsi merasa
sah-sah saja, seperti sama sekali tak berdosa. Sudah berapa orang terhormat di
negeri ini melakukan korupsi. Hampir setiap hari di media massa pasti ada
pemberitakan tindakan korupsi oleh orang-orang yang seharusnya justru
memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya.
Korupsi malah seperti dijadikan
paduan suara. Orang beramai-ramai dan berjamaah melakukan korupsi. Semakin
bertambah banyak saja, orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk
kejahatan korupsi. Bukannya kepintaran digunakan untuk kebaikan. Tipe orang
seperti ini juga selalu mengintip celah bagaimana supaya bisa korupsi, dapat
uang banyak. Bukan melakukan yang sebaliknya.
Kondisi seperti itu tentu menjadi
kendala untuk mengisi kemerdekaan yang lebih hakiki. Apa yang didambakan Bung
Karno, benar-benar berjalan mundur, sebab yang tumbuh dan berkecambah justru
pengkhianatan atas apa yang menjadi amanat para pendahulu bangsa. Pengkhianatan
itu membuat penerusan nilai-nilai kemerdekaan RI kehilangan makna, karena apa
yang sekarang dilakukan ini seperti tak pernah menoleh sejarah masa lalu.
Sebuah bangsa yang melupakan sejarahnya membuat bangsa itu akan berjalan ke
arah yang tak jelas. Sebuah bangsa besar dan maju akan selalu menoleh sejarah
masa lalunya.
Peter L Berger, sosiolog
kontemporer, menyatakan betapa pentingnya kemajuan itu diraih dengan melakukan
pembiasaan atas nilai-nilai yang diharapkan dapat mendukungnya. Pembiasaan itu
sangat penting artinya untuk pembudayaan. Jika orang telah terbiasa
mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dalam kesehariannya, niscaya budaya yang
akan terbina adalah budaya yang baik. Dan, sebaliknya, jika yang terbiasakan
adalah nilai yang buruk, maka budaya yang tercipta adalah budaya yang buruk.
Dalam hal ini, tindakan korupsi
yang dilakukan secara terus-menerus dan secara sistemik serta dalam jangka
waktu yang sangat lama, tentu saja menjadi penyebab lahirkan budaya buruk,
yakni budaya koruptif. Dan, jika korupsi telah menjadi budaya - atau menurut
Berger disebut telah terobjektivasi atau terlembagakan - maka budaya itu akan
amat sulit untuk disembuhkan. Agar korupsi tak menjadi budaya, maka begitu ada
kasus korupsi harus segera ditumpas secara tegas, jangan ada pembiaran apalagi
dalam waktu lama. Namun, untuk melakukan semua ini perlu pemimpin yang tegas
dan adil.
Perang atas sikap korup dan
penyuap ini sebenarnya dapat diatasi dengan melepaskan diri dari belenggu materi.
Dan, belenggu ini terjadi justru karena belum adanya kemerdekaan pribadi yang
mandiri, sehingga tak ada kekuatan dari dalam diri untuk menangkal apa yang
buruk dan salah. Kemerdekaan dalam kedirian kita memang sangat penting untuk
kita bangun dengan penuh kesadaran. Hanya orang-orang yang memiliki pribadi
mandiri yang akan dapat melakukan tindakan terpuji. Nilai-nilai moralitas,
dedikasi, kejujuran, patriotisme, dan seterusnya itu akan bertuah kembali
manakala kita punya kemerdekaan spiritual.
Kemerdekaan sebagai pribadi
mandiri akan tercermin dalam sikap dan kepribadian. Ini sekaligus menjadi kunci
penting hingga kita memiliki arah jelas dalam mendukung kemajuan bangsa dan
umat manusia. Kemerdekaan inilah yang kita harapkan dapat mengatur sikap, perbuatan,
dan arah yang lebih baik ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar